Sukses

Curhat Petani, Selalu Dirugikan dari Kebijakan Tembakau

Kenaikan cukai yang sangat tinggi dan tidak terprediksi, yang dapat melemahkan seluruh segmen dalam ekosistem IHT termasuk petani tembakau.

Liputan6.com, Jakarta Campur tangan dan desakan kepentingan antitembakau asing dalam penyusunan kebijakan pertembakauan nasional membuat ekosistem industri hasil tembakau (IHT) terus terpuruk.

Petani tembakau dan legislator meminta pemerintah mengedepankan kepentingan nasional guna melindungi ekosistem pertembakauan.

Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno mengatakan, kebijakan-kebijakan pertembakauan yang terbit karena tekanan kelompok antitembakau seringkali bersifat sangat eksesif.

Antara lain kenaikan cukai yang sangat tinggi dan tidak terprediksi, yang dapat melemahkan seluruh segmen dalam ekosistem IHT. Berbagai kebijakan tersebut berdampak juga ke hulu mata rantai, serapan panen berkurang, serta penurunan produktivitas.

“Regulasi pertembakauan yang ditetapkan sangat eksesif, dan petani menjadi sasaran yang selalu dirugikan. Oleh karenanya, kami akan terus menolak FCTC dan segala bentuk kepentingan-kepentingan dari luar yang ingin mengendalikan IHT di dalam negeri,” ungkapnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (25/7/2022).

Saat ini, pengaruh dan tekanan kelompok antitembakau asing juga mulai merembet ke sejumlah LSM lokal yang menjadi perpanjangan tangan kepentingan-kepentingan tersebut.

Dalam kesempatan serupa, anggota Komisi IX DPR RI Yahya Zaini menjelaskan, jejaring kelompok antitembakau ini tak hanya mengintervensi kebijakan makro, melainkan juga melakukan kampanye-kampanye hitam terhadap ekosistem IHT untuk mendorong kebijakan antitembakau di tingkat daerah.

“LSM-LSM di lokal ini juga misalnya mendorong penerapan Perda KTR (Kawasan Tanpa Rokok). Saat ini yang paling berat ada pada dorongan penerapan Perda KTR DKI Jakarta. Kita harus bersatu dan kompak, karena dorongan Perda KTR ini tidak murni dari pemerintah daerah, ada desakan asing. Kami di DPR memiliki bukti bagaimana Bloomberg (Philanthropies) memengaruhi penerbitan perda-perda KTR,” jelas Yahya.

Yahya juga mendorong para pelaku dalam ekosistem IHT untuk aktif berjuang dan kritis, baik dari aspek politik, hukum, dan juga sosial. Ini dibutuhkan untuk menangkal tekanan-tekanan kelompok antitembakau asing dalam mendorong kebijakan pertembakauan yang tidak berpihak pada IHT nasional.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Rokok Ilegal Bakal Marak Dampak Simplifikasi Tarif Cukai Tembakau

Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar, merisaukan wacana simplifikasi tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau tarif cukai rokok.

Sulami menjelaskan, pada 2012 terdapat 15 lapis layer tarif cukai. Namun, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.010/2021 memangkas lapis tarif cukai itu menjadi 8 layer.

Menurut dia, efek simplifikasi tarif cukai itu ialah penurunan volume produksi rokok legal atau yang berpita cukai. Sebaliknya, simplifikasi dan kenaikan tarif cukai berbanding lurus dengan peningkatan peredaran rokok ilegal.

"Pada 2019 ketika tidak ada kenaikan tarif cukai, tidak ada simplifikasi, peredaran rokok ilegal mengalami penurunan signifikan," ujar Sulami dalam keterangan tertulis, Minggu (17/7/2022).

Terbaru, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kabarnya bakal melanjutkan kebijakan simplifikasi tarif cukai rokok hingga menjadi 5 layer.

Salah satu aspek yang ditekankan, yakni golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM) serta Sigaret Putih Mesin (SPM), penyatuan Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan 1A dan 1 B, dan penurunan batas kuota dari 3 juta batang ke 2 juta batang.

Wakil Wali Kota Pasuruan, Adi Wibowo, turut mengomentari gonjang-ganjing soal tarif cukai rokok. Dia pun berharap, dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCT) bisa diimplementasikan sesuai dengan tujuan yang sudah dicanangkan.

Adi menjelaskan, Kota Pasuruan memperoleh DBHCHT sebesar Rp 17 miliar pada 2021. Jumlah itu meningkat pada 2022 menjadi Rp 21 miliar.

"Ini menjadi tantangan kita juga di pemerintah daerah untuk mengipmplementasikan dan mengalokasikan DBHCHT sesuai dengan tujuan-tujuan yang sudah dicanangkan," tuturnya.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

YLKI Sebut Pengaturan Batasan Produksi Rokok Masih Longgar

Fungsi cukai sebagai instrumen pengendalian tembakau guna menekan prevalensi perokok anak, dan penerimaan negara dinilai tidak akan efektif jika sistem dan struktur tarif cukai yang berlaku saat ini masih dipertahankan.

Pasalnya, sistem cukai di Indonesia masih kompleks dan batasan produksi yang menjadi dasar penggolongan tarif masih dapat disalahgunakan, sehingga harga rokok tetap terjangkau bagi anak-anak.

Akibatnya, target pemerintah menekan prevalensi anak dari menjadi 8,7 persen pada 2024 terancam tak tercapai.

Sekretaris Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno menilai struktur tarif cukai yang terdiri dari banyak layer masih terlalu kompleks, yang mengakibatkan harga rokok tetap murah.

“Di antara layer-layer itu, ada perbedaan tarif cukai dan perbedaan batas-batas produksi yang bisa diakali oleh industri,” katanya.

Menurutnya, perusahaan dapat turun kelas atau turun golongan dengan memproduksi rokok dengan jumlah produksi yang masuk pada strata yang lebih rendah tarif cukainya.

“Gap antara golongan 1 dan golongan 2 juga sangat tinggi sehingga industri dapat mengakali dengan turun kelas produksinya. Jadi yang produksi kelas 1 bisa turun ke kelas 2. Tarif cukai antara Golongan 1 dan 2 juga berbeda signifikan dan tentunya negara juga sebetulnya tidak diuntungkan,” katanya.

Dia menilai fenomena penurunan golongan ini yang makin memperparah downtrading, di mana perokok beralih ke rokok yang lebih murah. Kondisi ini menyebabkan target pemerintah menurunkan prevalensi perokok anak.

“Pengaturan batasan produksi ini longgar. Peraturannya masih memberi kesempatan pada industri untuk bisa turun ke golongan 2 dengan melakukan pembatasan produksi.” ujarnya.