Sukses

Marak Tambang Ilegal Diduga Akibat Pengawasan Minim

Data Kementerian ESDM, menyebutkan hingga kuartal III 2022 terdapat lebih dari 2.700 lokasi Kegiatan pertambangan tanpa izin di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Kegiatan pertambangan tanpa izin (Peti) yang marak di sejumlah daerah di Indonesia diduga akibat ada pembiaran serta minimnya pengawasan dari pihak berwenang.

Di sisi lain, perizinan tambang rakyat saat ini masih sulit karena belum optimalnya komitmen dari pemerintah daerah dalam menetapkan Perda Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yaitu izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.

"Adanya pembiaran dari pihak berwenang, kurangnya pengawasan, dan kurangnya fasilitasi perizinan. Itu penyebabnya,” kata Pakar Hukum Pertambangan Ahmad Redi di Jakarta melansir Antara, Senin (25/7/2022). 

Ahmad Redi mengatakan maraknya aktivitas Peti atau pertambangan ilegal juga tidak bisa dilepaskan dari nilai ekonomi yang didapat oleh masyarakat setempat.

Banyak warga yang menggantungkan mata pencaharian dari aktivitas tambang ilegal tersebut. Apalagi, harga komoditas mineral dan batu bara terus menguat dalam setahun terakhir dan menjadi penarik kegiatan tidak sah ini.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dirilis beberapa waktu lalu, menyebutkan hingga kuartal III 2022 terdapat lebih dari 2.700 lokasi Kegiatan pertambangan tanpa izin di Indonesia.

Dari jumlah tersebut, sekitar 2.600 lokasi merupakan pertambangan mineral dan 96 lokasi merupakan tambang batu bara.

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Harus Ada Upaya Hukum

Menurut Redi, dalam praktiknya Peti bisa bermacam-macam. Pelaku ada yang memanfaatkan area hutan lindung dan hutan produksi, ada juga yang melakukannya di lahan yang termasuk wilayah izin usaha pertambangan milik perusahaan. Bahkan, ada juga Peti yang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kondisi tersebut merugikan banyak pihak. Selain potensi kerusakan wilayah karena praktiknya tidak mengindahkan kaidah lingkungan dan aspek kesehatan, keamanan, keselamatan, dan lingkungan (HSSE), Peti juga merugikan negara karena pelaku tidak menyetor royalti maupun pajak.

“Padahal, SDA yang ada di bawah permukaan tanah merupakan kekayaan yang dikuasai negara sehingga untuk dapat diusahakan perlu mendapat perizinan dari pihak yang berwenang,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Jakarta ini.

Dia menambahkan secara normatif, Pasal 158 UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengatur bahwa Peti merupakan kejahatan sehingga pelakunya dikenai pertanggungjawaban pidana.

Penegakan hukum pidana, baik penal maupun nonpenal dapat dilakukan dalam pencegahan dan penindakan Peti.

 

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA

3 dari 3 halaman

Perlu Supervisi

Redi mengungkapkan agar aktivitas Peti bisa diberantas, harus ada upaya hukum yang bersifat multi sektor disertai koordinasi antarinstansi terkait.

Selain itu, juga diperlukan penegakan hukum yang kuat serta supervisi antara kementerian dan lembaga agar pemberantasan praktik ilegal ini bisa berhasil.

“Perlu juga ada Satgas Penanggulangan Peti. Satgas ini tidak hanya bersifat penegakan hukum, tetapi juga melakukan pembinaan, fasilitasi, dan supervisi,” ujarnya.

Yang tak kalah penting, ucap Redi, adalah perlunya komitmen yang tinggi dari stakeholders terkait untuk mengatasi masalah Peti. Pembentukan Satgas Penanggulangan Peti menjadi salah satu cara agar ada kerja terorganisasi, lintas sektor, dan komprehensif dalam mengatasi persoalan Peti.