Sukses

Siap-Siap, Harga Barang Tambah Mahal Jika Rupiah Terus Melemah

Untuk melindungi kelangsungan usaha, Apindo mendesak pemerintah bersama Bank Indonesia untuk terus memperluas penggunaan mata uang lokal atau local currency settlement (LCS) dengan menggunaan rupiah.

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami tekanan dari hari ke hari. Para pengusaha khawatir jika rupiah terus melemah akan berdampak kepada biaya operasional.  

Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Siddhi Widyaprathama menjelaskan, pelemahan nilai tukar rupiah akan mengerek biaya produksi. Mengingat, sebagian bahan baku masih didatangkan dari luar negeri.

"Pengusaha memiliki kekhawatiran apabila pelemahan (Rupiah) terus terjadi tentu akan mempunyai dampak. Terlebih untuk manufaktur atau produksi yang memiliki ketergantungan bahan baku impor untuk produksinya, tentu akan berpengaruh," kata Ketua Komite Perpajakan Apindo Siddhi Widyaprathama dalam Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) di Jakarta, Senin (25/7/2022).

Dengan begitu, mau tidak mau maka harga barang akan menjadi makim mahal jika memang ternyata pengusaha tidak bisa mengurangi menekan lebih dalam ongkos produksi. 

Untuk melindungi kelangsungan usaha, Apindo mendesak pemerintah bersama Bank Indonesia untuk terus memperluas penggunaan mata uang lokal atau local currency settlement (LCS) dalam transaksi perdagangan maupun investasi guna mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.

Indonesia sendiri telah menyepakati kerangka kerja LCS dengan empat negara yaitu China, Jepang, Malaysia, dan Thailand.

"Kita harapkan ke depan bisa terus berkembang menambah jumlah partisipasi. Terutama, Indonesia harus memanfaatkan momentum sebagai Presidensi G20 dengan mendorong promosi lebih lanjut LCS untuk mengurangi ketergantungan," bebernya.

Selain itu, Apindo juga mendesak para pelaku usaha yang memiliki ketergantungan bahan baku impor untuk mencari alternatif barang produksi dalam negeri. Hal ini bertujuan untuk efisiensi keuangan perusahaan ditengah pelemahan nilai tukar Rupiah.

"Di sisi lain pelemahan nilai tukar Rupiah ini menjadi peluang dunia usaha untuk mencari alternatif komponen yang bsia diproduksi dlama negeri untuk mengurangi ketergantungan impor tadi," tutupnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Kurs Rupiah Amblas 4,9 Persen, Bank Indonesia Masih Tenang

Bank Indonesia (BI) mencatat hingga 20 Juli 2022 nilai tukar rupiah terDepresiasi atau melemah 4,9 persen dibandingkan posisi akhir 2021.

Kendati begitu, Kepala Grup Dept. Ekonomi & Kebijakan Moneter Bank Indonesia Wira Kusuma, mengatakan, depresiasi rupiah tersebut relatif lebih rendah dibandingkan mata uang negara-negara berkembang lainnya.

“Namun kalau kita bandingkan tingkat depresiasi negara-negara tetangga, kita relatif lebih baik dibanding negara lain. Contoh, sampai 20 Juli secara point to point kita terdepresiasi 4,9 persen, namun negara seperti Malaysia 6,42 persen, India 7,05 persen, Thailand 8,93 persen, jadi relatif kita lebih baik dari hal itu,” kata Wira dalam Forum Merdeka Barat 9 (FMB9), Senin (25/7/2022).

Hal itu disebabkan karena ketidakpastian di pasar keuangan yang masih tinggi, sehingga menyebabkan aliran modal ke emerging market termasuk Indonesia menjadi tertahan.

“Tapi secara umum sektor eksternal kita yang digambarkan oleh neraca pembayaran Indonesia itu masih solid. Namun karena portofolio terjadi capital outflow itu menyebabkan tekanan terhadap nilai tukar,” ujarnya.

Meski demikian, yang perlu diwaspadai Indonesia adalah inflasi. Sebab hingga kini inflasi terus meningkat, tercatat pada Juli mencapai 4,53 persen.

“Tapi kita lihat sumber inflasinya itu disebabkan oleh imported inflation dengan harga komoditas global yang meningkat,” katanya.

 

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

Inflasi

Imported inflation adalah salah satu jenis inflasi yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar sehingga berdampak pada naiknya harga impor dari luar negeri.

Disisi lain, Wira menegaskan, untuk komponen inflasi yang lain, seperti core inflasi atau inflasi inti masih pada sasarannya. Kemudian, adanya exchange rate pass-through membuat nilai tukar yang semakin terdepresiasi.

“Hal ini juga menyebabkan menambah tekanan inflasi. Hal-hal inilah yang harus menjadi pertimbangan kita,” ujarnya.

Sebagai informasi, Exchange rate pass-through (ERPT) adalah persentase perubahan harga (domestik, impor maupun ekspor) sebagai akibat dari perubahan satu persen dalam kurs. 

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com