Liputan6.com, Jakarta - Penerimaan pajak di semester I 2022 mencapai Rp 868,3 triliun. Angka ini sekitar 58,5 persen dari target. Penerimaan pajak mampu tumbuh positif karena ekonomi Indonesia mulai pulih.
"Hingga Semester I penerimaan pajak mencapai Rp 868,3 triliun atau 58,5 persen dari target," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Jakarta, Rabu (27/7/2022).
Baca Juga
Penerimaan pajak tersebut berasal dari PPh nonmigas sebesar Rp 519,6 triliun atau 69,4 persen. Menurutnya ini pencapaian yang luar biasa hanya dalam waktu setengah tahun saja.
Advertisement
Kemudian dari posn PPN dan PPNBM sebesar Rp 300,9 triliun atau 47,1 persen. Lalu dari pos PBB dan pajak lainnya sebesar Rp 4,8 triliun atau 14,9 persen dari target. Sedangkan dari PPh migas mencapai Rp 43 triliun atau 66,6 persen.
Berdasarkan data-data tersebut, penerimaan pajak tumbuh 55,7 persen. Capai tersebut disebabkan harga komoditas yang mengalami kenaikan dan memberikan dampak positif ke penerimaan negara.
"Dan karena pertumbuhan ekonomi yang pulih dan membaik, sehingga memberikan dampak positif ke penerimaan pajak," kata dia.
Alasan lainnya, basis penerimaan pajak tahun ini masih belum tinggi sekali karena ekonomi baru mulai pulih. Sebagaimana diketahui, tahun lalu Indonesia masih terkena delta varian.
Selain itu kenaikan penerimaan pajak tahun ini juga tidak terlepas dari adanya Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang berakhir pada Juni lalu.
"Juni ini kami tutup program PPS dan ada kenaikan PPN dari program yang dilaksanakan," kata dia.
Dia menambahkan, penerimaan pajak semester II akan mengalami tantangan lantaran sudah tidak ada PPS dan basis pertumbuhan penerimaan pajak tahun lalu yang sudah membaik. Sehingga faktor-faktor tadi akan memberikan dampak penerimaan pajak semester depan.
"Jadi kami nanti akan lebih tergantung pada faktor pertumbuhan ekonomi yang kami harapkan pulih dan sehat. Memang ada alasan pemulihan eko sudah cukup kuat," kata Sri Mulyanimengakhiri.
Â
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tax Ratio Indonesia Terendah Ketiga di Asia Pasifik
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) atau Organisasi Kerja Sama Pembangunan dan Ekonomi mencatat bahwa tax ratio atau rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia cukup rendah jika dibandingkan dengan negara di Asia Pasifik.
Dalam laporan OECD berjudul Revenue Statistics in Asia and Pacific 2022 yang diterbitkan pada 25 Juli 2022, tax ratio Indonesia berada di urutan ketiga terbawah dari 28 negara Asia Pasifik pada 2020.
Dalam laporan itu, tax ratio Indonesia 2020 dicatat hanya 10,1 persen, di atas Bhutan dan Laos yang menempati posisi terakhir sebesar 8,9 persen.
Dikutip dari Belasting.di, Rabu (27/7/2022), tax ratio Indonesia 10,1 persen itu sangat rendah karena rata-rata tax ratio negara Asia Pasifik sudah mencapai 19 persen, sedangkakan negara-negara OECD sudah mencapai 33,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Namun Indonesia tidak sendiri dalam prestasi jeblok ini.
Hanya 12 negara Asia Pasifik yang memiliki tax ratio di atas rata-rata 19,1 persen. Sebanyak 16 negara lainnya juga belum bisa melampaui batas rata-rata tersebut.
Di kawasan ASEAN, ada empat negara yang berada di bawah rara-rata tax ratio Asia Pasifik, yaitu Thailand (16,3 persen), Singapura (12,8 persen), Malaysia (11,4 persen) dan Indonesia (10,1 persen).
Negara ASEAN dengan tax ratio tertinggi adalah Vietnam, yaitu sebesar 22,7 persen.
Â
Â
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Variabel Jaminan Sosial
Perhitungan tax ratio 2020 oleh OECD ini tidak memasukkan variabel iuran jaminan sosial atau Social Securuty Contribution (SSC).
SSC adalah pajak dari sektor perlindungan sosial seperti pajak dari pendapatan pensiun, pembayaran santunan kecelakaan, atau pajak dari tunjangan kesehatan yang dibayarkan perusahaan.
Namun bila SSC dihitung, maka tax ratio Indonesia justru akan lebih rendah lagi, hanya 9,5%.
Poin menarik lain dari laporan OECD ini adalah masih tingginya struktur pajak Indonesia ditopang oleh pajak korporasi (PPh Badan) dan pajak atas barang (PPN).
Sedangkan di negara Asia Pasifik lain, struktur pajak sudah bergeser, lebih banyak ditopang oleh pajak individu (PPh Orang Pribadi).
 Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com