Sukses

Kenaikan Bunga Acuan Tak Ampuh Redam Inflasi Global

Bank Sentral Amerika Serikat (AS) telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali di 2022. Namun kenaikan tersebut masih belum bisa meredam inflasi.

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah bank sentral di dunia melawan tekanan inflasi dengan menaikkan suku bunga acuan. Kebijakan moneter ini memang menjadi senjata melawan inflasi selama ini. Namun menurut Peneliti CORE Indonesia Fartya Nirmala Hanoum, senjata tersebut tidak empan saat ini.

Ia mencontohkan, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali di 2022. Namun kenaikan tersebut masih belum bisa meredam inflasi dan malah mengancam ekonomi Amerika ke tahap resesi.

“Jadi kalau kita lihat memang tadi bahwa faktor kenaikan harga terutama harga energi ini menyumbang besar inflasi global dan merembet kepada inflasi pangan dan juga bahan bakar di beberapa negara,” ujar Fartya Nirmala Hanoum, dalam Webinar “Menjaga Pemulihan Domestik di Tengah Potensi Resesi Global” Rabu (27/7/2022).

Fatya memaparkan beberapa negara seperti AS, Inggris, Jepang, Korea dan Jerman mengalami peningkatan inflasi di tingkat harga bahan baku, harga pangan dan harga transportasi.

“Bank sentral AS menaikan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin pada Juni 2022 untuk pertama kalinya setelah sekian lama mereka tidak menaikkan suku bunga acuannya,” terang.

Ia menilai inflasi yang direspons oleh kenaikan suku bunga acuan ini mengakibatkan indeks US Dollar itu meningkat. Bahkan sebelumnya yang menyebabkan adanya aliran modal masuk Amerika dan menyebabkan mata uang dari negara-negara yang mengalami pelemahan.

Untuk Indonesia, di tanggal 22 Juli Indonesia mengalami pelemahan secara year to date sebesar 54 persen nilai ini masing cukup moderat dibanding dengan mata uang lainya. Bahkan Jepang mengalami pelemahan hingga 20 persen.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Inflasi Pangan dan Energi Menggila, Indonesia Harus Apa?

Situasi global yang tidak menentu makin mendongkrak inflasi pangan dan energi, sebagai imbas dari konflik geopolitik Rusia-Ukraina yang belum berkesudahan.

Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Kasan, mensyukuri perang Rusia-Ukraina yang sempat mereda setelah melakukan penandatanganan bersama PBB dan Presiden Turki.

"Mungkin itu momen yang menurut saya bisa sedikit memberikan harapan atas situasi inflasi pangan yang kemudian inflasi dari harga-harga energi, yang dampaknya sudah kita rasakan di Indonesia," ujar Kasan dalam satu sesi webinar, Rabu (27/7/2022).

Namun, satu-dua hari setelah adanya penandatanganan itu, ia menyayangkan adanya kasus penembakan missil Rusia di salah satu pelabuhan di Laut Hitam milik Ukriana.

"Meskipun hari ini saya membaca juga, tetap pengiriman akan dilakukan dari Rusia maupun Ukraina. Mungkin sedikit memberi harapan tentang terjadinya ketersediaan pangan itu sendiri," imbuhnya.

Berikutnya, Kasan juga menyoroti imbas perang terhadap harga pangan nasional. Di satu sisi, ia menilai itu jadi sebuah berkah berkat adanya windfall. Tapi sebaliknya, itu juga memberikan dampak negatif ke tingkat inflasi.

"BPS mencatat, sampai Juni 2022 inflasi tahunan sudah lebih dari 4 persen. Di beberapa negar maju inflasinya sangat tinggi. Bahkan kalau kita catat di Eropa, Amerika, angkanya sudah lebih dari 8 persen," paparnya.

Kasan lantas berkesimpulan, Indonesia pada situasi ini tak bisa bergantung terhadap kondisi eksternal. Sehingga negara perlu mandiri untuk mengatasi kenaikan harga pangan hingga energi.

"Tentu ini bagian yang menjadi tantangan kita di dalam konteks bagaimana inflasi global kaitannya dengan posisi kita, kesiapan kita, dan bagaimana kita menyikapi baik saat ini maupun ke depan," tuturnya.

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

Krisis Pangan Menghadang, Ini Jaminan Bos Bulog Soal Stok Beras hingga Jagung

Dunia tengah menghadapi krisis pangan dampak dari kisruh global yang terjadi. Sejumlah pihak bahkan menilai, krisis pangan saat ini bahkan jadi yang terburuk, lebih parah dibanding 2018 silam.

Kendati begitu, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso situasi pangan di dalam negeri cenderung aman dari ancaman krisis. Terutama untuk berbagai komoditas bahan pokok seperti beras hingga jagung.

Enam+01:15VIDEO: Keuntungan Indonesia Jika Menjadi Anggota Penuh FATF Namun, pria yang akrab disapa Buwas tersebut tetap tak ingin lengah dengan situasi yang ada.

"Pangan harus diwaspadai, dan ini tidak main-main dengan Rusia-Ukraina berperang. Sehingga mempengaruhi secara keseluruhan. Dulu kita bisa impor gandum dari Rusia Ukraina, sekarang terhenti," ungkapnya saat berkunjung ke MRMP Kendal, Jawa Tengah, Kamis (21/7/2022).

Di satu sisi, Buwas memastikan kondisi pangan nasional aman. Terlebih setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) memprediksi, surplus produksi pertanian Indonesia terjaga dan mengalami peningkatan.

"Pak presiden ulangi lagi, kita 3 tahun sudah tidak impor (beras). Tapi bukan terus kita terlena. Maka kita harus tetap menjaga ketahanan pangan kita," tegas Buwas.

"Dengan apa, meningkatkan produksi, tingkatkan CBP yang ada di Bulog, yang sekarang ini sedang digodok keputusannya, berapa pemerintah akan menyadangkan beras pemerintah. Sesuai keputusan Rakortas (target produksi beras) 1-1,5 juta ton. Kita sudah lebih, 1,1 juta ton," terangnya.

Menghadapi krisis pangan yang kini terjadi, ia tak ingin negara berpangku tangan pada produksi beras semata. Dia juga ingin hasil produksi bahan pokok pengganti lain semisal jagung dan singkong bisa ikut terdongkrak.

"Ada singkong, jagung, kentang, bahkan sagu, mustinya itu jadi kekuatan pangan kita. Harus dikelola sebagai kekuatan pangan menyeluruh. Jadi jangan beras saja," seru Buwas.

Reporter: Siti Ayu Rachma

Sumber: Merdeka.com