Sukses

Pemerintah Diminta Lindungi IHT UMKM dari Hantaman Rokok Murah

Pabrik rokok tradisional yang dimiliki oleh UMKM (Usaha kecil menengah) ini telah menggerakkan perekonomian masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diminta melindungi produksi dan pasar rokok klembak menyan (KLM). Rokok tersebut merupakan produk otentik Indonesia yang selama ini diproduksi oleh pabrik rokok tradisional dengan segala keterbatasan modal dan Pemasaran.

Pabrik rokok tradisional yang dimiliki oleh UMKM (Usaha kecil menengah) ini telah menggerakkan perekonomian masyarakat. Hal tersebut disampaikan Ketua Koalisi Masyarakat Tembakau (KMT) Bambang Elf.

“Sudah seharusnya pemerintah mengawasi perusahaan rokok multinasional yang banyak mengeluarkan produk rokok murah untuk menghantam produsen rokok rakyat," papar Bambang Elf dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (27/7/2022).

Lebih lanjut Bambang Elf menjelaskan, organisasi yang dipimpinnya terus mengadakan pertemuan dan memonitor dari banyaknya keluhan para pelaku industri rokok rakyat yang merasa putus asa dengan serbuan produk Rokok dengan brand Internasional itu tapi dijual dengan harga yang sangat murah.

Menurut Bambang Elf, dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 109/PMK/010/2022 yang mengatur cukai produksi KLM diatas 4 juta batang per bulan akan masuk kategori I dengan cukai Rp 440 per batang merupakan bentuk perlindungan pemerintah terhadap produsen maupun perusahaan rokok kecil yang memproduksi rokok kemenyan.

Namun hal tersebut dirasa masih kurang. Sebab, bagi perusahaan besar berskala internasional yang dapat memproduksi rokok kemenyan dalam jumlah besar, besaran cukai tersebut dianggap tidak ada masalah. Namun hal itu belum cukup. Pemerintah perlu membuat program yang lebih nyata untuk melindungi perusahan dan produsen rokok skala UMKM.

Lebih lanjut Bambang Elf menjelaskan, PMK tersebut menunjukan keberpihakan Pemerintah kepada industri hasil tembakau (IHT). Pemerintah menyadari betul bahwa struktur dan golongan IHT di Indonesia ini memang unik, faktanya diperlukan adanya extensifikasi golongan untuk mengakomodir aspek skala industri, jenis produk, konsumen, hingga seluruh rantai pasok termasuk petani dan pekerja. Pelaku IHT sangat mengapresiasi diterbitkannya aturan ini, termasuk di antaranya Asosiasi Industri.

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Wacana Simplifikasi

Hal tersebut bertentangan dengan wacana simplifikasi yang sering didengungkan sebagian pihak dengan dalih pengendalian tembakau dan penerimaan negara.

Padahal hal tersebut hanya upaya untuk memberangus IHT nasionall agar ketika pelaku industri kecil mati, kapitalis siap mencaplok pangsa pasar yang ditinggalkan oleh industri kecil.

"PMK 109/2022 merupakan wujud kedaulatan Bangsa dan Negara Indonesia dari Pelaku Industri yang memanfaatkan celah aturan demi kepentingannya sendiri, tanpa mengindahkan aspek kepatutan, bahwa segmen yang dimasuki adalah segmen rokok wong cilik. Apresiasi setinggi-tingginga bagi segenap jajaran Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Anggota DPR yang senantiasa mendengarkan jeritan suara hati rakyat,” papar Bambang Elf

Menurut Bambang Elf, Ini merupakan momentum yang baik untuk terus mengawal Industri Hasil Tembakau atas wacana Simplifikasi golongan cukai IHT yang akan merusak tatanan Industri Hasil Tembakau, memicu peredaran rokok ilegal, serta merugikan pabrikan kecil.

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

Skema Batasan Jumlah Produksi Rokok Buka Celah Penghindaran Cukai

Skema batasan jumlah produksi yang menjadi dasar utama penetapan struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT) dinilai berpotensi membuka peluang penghindaran cukai yang membuat penerimaan negara tidak optimal.

Akademisi Hukum Oce Madril menjelaskan, penelitian yang dilakukannya sepanjang tahun 2021 menunjukkan ada beberapa potensi penghindaran yang bisa muncul dari skema struktur tarif cukai saat ini.

Hal tersebut disebabkan, antara lain, lebarnya selisih tarif cukai rokok antara golongan I yang paling tinggi dengan golongan II yang lebih murah.

“Dengan selisih tarif yang lebar antara golongan I dan II, maka pengusaha cenderung memilih masuk dalam golongan II, meskipun sebenarnya secara kemampuan produksi, mereka masuk dalam kategori golongan I. Pengusaha yang masuk dalam golongan II tersebut tentu akan membayar tarif cukai yang jauh lebih murah,” kata Oce dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (5/7/2022).

Saat ini, pabrikan dengan produksi lebih dari 3 miliar batang rokok per tahunnya akan masuk dalam golongan I, dan masuk ke dalam golongan II jika produksinya tidak lebih dari 3 miliar batang rokok.

Salah satu modus yang dapat terjadi untuk menghindari membayar cukai tinggi adalah tidak melaporkan produksi secara benar dan faktual. Apalagi jika pengawasan yang dilakukan lemah, maka pelanggaran jenis ini dapat terjadi.

Modus ini bisa terlihat ketika terjadi selisih antara jumlah pelekatan pita cukai dengan jumlah produksi yang dilakukan perusahaan. Oce menegaskan, praktik modus tidak melaporkan jumlah produksi rokok secara benar dapat merugikan penerimaan negara.

Praktik tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk menghindari tarif cukai tinggi, mengingat penetapan golongan tarif sangat berkaitan dengan jumlah produksi dalam satu tahun.

Kedua, perusahaan dapat menahan produksi rokok. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan agar produksi mereka tetap berada di bawah 3 miliar dan menikmati tarif cukai yang lebih murah.