Sukses

IMF Minta China Pikirkan Ulang Imbas Kebijakan Nol Covid-19 ke Ekonomi

Kebijakan nol-Covid-19 di China yang ketat memicu kekhawatiran bagi aktivitas ekonomi negara itu.

Liputan6.com, Jakarta - China disebut perlu mempertimbangkan kembali dampak kebijakan nol Covid-19 untuk menghindari penurunan ekonomi, serta menghasilkan solusi jangka panjang untuk krisis di sektor real estat.

Hal itu disampaikan oleh direktur Departemen Asia dan Pasifik di IMF Krishna Srinivasan, dalam sebuah wawancara. 

"China telah membuat beberapa perubahan dalam membuatnya sedikit lebih fleksibel, tetapi kami merasa bahwa strategi ini dapat menjadi hambatan bagi perekonomian," kata Srinivasan, dikutip dari US News, Kamis (28/7/2022).

"Ini adalah masalah yang perlu ditangani," ujarnya.

Diketahui bahwa negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu telah memberlakukan serangkaian pembatasan ketat Covid-19, memicu ketidakpastian di antara penduduk dan bisnis atas kemungkinan lockdown lainnya di masa depan.

Kebijakan nol-Covid-19 di China juga menjadi salah satu faktor IMF memangkas perkiraan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negara itu tahun menjadi 3,3 persen, dari semula 4,4 persen dalam World Economic Outlook (WEO) terbaru yang diterbitkan pekan ini.

Laporan WEO menyebut, ini akan menjadi pertumbuhan ekonomi terendah China dalam lebih dari empat dekade, tidak termasuk selama krisis Covid-19 awal pada tahun 2020.

Namun, kebijakan nol-Covid-19 bukan satu-satunya faktor di balik kekhawatiran IMF atas perlambatan ekonomi China.

Naiknya harga rumah dan melonjaknya utang rumah tangga juga memicu krisis di sektor real estat.

"Niat pemerintah untuk mengurangi leverage di sektor real estat sepenuhnya benar, tetapi telah menghambat pertumbuhan," ucap Srinivasan.

"Sekarang banyak rumah tangga yang menolak membayar KPR karena banyak proyek perumahan yang belum selesai," ungkapnya.

2 dari 3 halaman

China Dikabarkan Bakal Bantu Para Pengembang Properti Terdampak Covid-19

Sebuah sumber mengatakan bahwa China akan meluncurkan dana bantuan real estat untuk mendukung para pengembang properti menyelesaikan krisis utang mereka, senilai 300 miliar yuan (USD 44 miliar).

Ini akan menjadi langkah besar pertama China untuk menyelamatkan sektor properti sejak masalah utang menjadi publik tahun lalu.

Srinivasan meyebut hal itu sebagai langkah perbaikan, tetapi menambahkan jumlahnya mungkin tidak cukup dan menyarankan China untuk mencari solusi jangka panjang yang berkelanjutan.

"Anda perlu tahu pengembang mana yang menghadapi kendala, seperti apa, dan berapa banyak dari mereka yang layak," katanya.

"Strateginya perlu disempurnakan sepenuhnya, dan itulah yang masih kurang saat ini," sebutnya.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

Ekonomi China Susut Imbas Lockdown, Terburuk Dibandingkan Awal Pandemi Covid-19

Ekonomi China mengalami kontraksi tajam pada kuartal kedua tahun ini karena lockdown Covid-19 yang meluas menghantam bisnis dan konsumen.

Dilansir dari BBC, Jumat (15/7/2022) Produk domestik bruto (PDB) China turun 2,6 persen dalam tiga bulan hingga akhir Juni 2022 dari kuartal sebelumnya.

Pada basis year-on-year, ekonomi China tumbuh hanya 0,4 persen di periode April-Juni 2022, kurang dari ekspektasi 1 persen.

"Pertumbuhan PDB kuartal kedua adalah hasil terburuk sejak awal pandemi, karena lockdown, terutama di Shanghai, sangat berdampak pada aktivitas pada awal kuartal," kata Tommy Wu, Ekonom Utama di Oxford Economics.

Angka resmi bulan lalu menunjukkan peningkatan kinerja ekonomi China menyusul dicabutnya pembatasan.

"Namun, data Juni lebih positif, dengan aktivitas meningkat setelah sebagian besar lockdown dicabut. Tetapi penurunan real estat terus menyeret pertumbuhan," tambah Tommy Wu.

Sementara itu, Jeff Halley, analis pasar senior untuk Asia Pasifik di platform perdagangan Oanda, mengatakanbahwa dia juga melihat beberapa titik terang dalam data ekonomi hari ini dari China.

"PDB lebih buruk dari yang diharapkan, namun pengangguran turun menjadi 3,5 persen dan penjualan ritel mengungguli secara mengesankan," ungkap Halley.

"Pasar keuangan cenderung berkonsentrasi pada angka ritel, yang tampaknya menunjukkan konsumen China dalam kondisi yang lebih baik dari yang diharapkan," jelasnya.Â