Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengirim 9,5 juta surat yang ditujukan kepada 3,9 juta Wajib Pajak dalam kurun waktu tahun 2019 sampai dengan 2021. Surat ini sebagai salah satu cara menjalankan Compliance Risk Management (CRM) untuk memetakan profil Wajib Pajak berbasis risiko kepatuhan.
Namun cara yang dijalankan oleh DJP ini mendapat protes dari wajib pajak. Terdapat permintaan dari masyarakat agar DJP tidak terlalu sering mengirim surat elektronik secafa massal atau email blast kepada wajib pajak.
Baca Juga
Salah satu keluhan disampaikan oleh pengguna Twitter @pras616. Menurutnya, email blast DJP justu membuat takut wajib pajak.
Advertisement
Terlebih dia mengeklaim memiliki penghasilan yang tidak terlalu besar. Kemudian disiplin lapor SPT Tahunan.
"Heh, @DitjenPajakRI ! Kurang2in deh nyepam email pemberitahuan gini. Penghasilanku ga banyak, yg dilaporin juga dikit, dan rajin lapor juga, tapi tetep aja email perpajakan ini kayak teror bikin deg2an baru liat nama sendernya aja. Ga usah sering2 ngirim email kalo ga personal!," keluhnya dikutip dari Belasting, Jumat (29/7/2022).
Keluhan tersebut langsung ditanggapi oleh taxmin akun resmi @DitjenPajakRI. Otoritas pajak disebut terbuka dengan segala saran dan kritik dari wajib pajak.
Selanjutnya, keluhan wajib pajak seputar email blast dijanjikan akan segera ditindaklanjuti kepada bagian terkait pada proses bisnis DJP.
"Terima kasih atas kritik dan sarannya. Terkait email blast ini akan segera kami sampaikan ke bagian terkait," balas @DitjenPajakRI.
Seperti diketahui, upaya email blast menjadi bagian dari sosialiasi kebijakan perpajakan. Pengiriman mulai sering dilakukan DJP dengan banyaknya perubahan kebijakan pajak yang diatur dalam UU Cipta Kerja dan UU Harmonisasi Perpajakan (HPP).
Jutaan email blast juga sudah dikirim DJP kepada wajib pajak. Jenis surat cinta mulai dari imbauan hingga permintaan data atau penjelasan alias SP2DK.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Penerimaan Pajak Capai Rp 868 Triliun di Semester I 2022
Penerimaan pajak di semester I 2022 mencapai Rp 868,3 triliun. Angka ini sekitar 58,5 persen dari target. Penerimaan pajak mampu tumbuh positif karena ekonomi Indonesia mulai pulih.
"Hingga Semester I penerimaan pajak mencapai Rp 868,3 triliun atau 58,5 persen dari target," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Jakarta, Rabu (27/7/2022).
Penerimaan pajak tersebut berasal dari PPh nonmigas sebesar Rp 519,6 triliun atau 69,4 persen. Menurutnya ini pencapaian yang luar biasa hanya dalam waktu setengah tahun saja.
Kemudian dari posn PPN dan PPNBM sebesar Rp 300,9 triliun atau 47,1 persen. Lalu dari pos PBB dan pajak lainnya sebesar Rp 4,8 triliun atau 14,9 persen dari target. Sedangkan dari PPh migas mencapai Rp 43 triliun atau 66,6 persen.
Berdasarkan data-data tersebut, penerimaan pajak tumbuh 55,7 persen. Capai tersebut disebabkan harga komoditas yang mengalami kenaikan dan memberikan dampak positif ke penerimaan negara.
"Dan karena pertumbuhan ekonomi yang pulih dan membaik, sehingga memberikan dampak positif ke penerimaan pajak," kata dia.
Alasan lainnya, basis penerimaan pajak tahun ini masih belum tinggi sekali karena ekonomi baru mulai pulih. Sebagaimana diketahui, tahun lalu Indonesia masih terkena delta varian.
Â
Â
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
PPS
Selain itu kenaikan penerimaan pajak tahun ini juga tidak terlepas dari adanya Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang berakhir pada Juni lalu.
"Juni ini kami tutup program PPS dan ada kenaikan PPN dari program yang dilaksanakan," kata dia.
Dia menambahkan, penerimaan pajak semester II akan mengalami tantangan lantaran sudah tidak ada PPS dan basis pertumbuhan penerimaan pajak tahun lalu yang sudah membaik. Sehingga faktor-faktor tadi akan memberikan dampak penerimaan pajak semester depan.
"Jadi kami nanti akan lebih tergantung pada faktor pertumbuhan ekonomi yang kami harapkan pulih dan sehat. Memang ada alasan pemulihan eko sudah cukup kuat," kata Sri Mulyani mengakhiri.