Liputan6.com, Jakarta Keputusan pemerintah menetapkan batasan produksi baru dalam Sigaret Kelembak Kemenyan (KLM) dinilai sebagai langkah tepat untuk mengoptimalkan penerimaan negara sekaligus melindungi pabrikan rokok kecil.
Kebijakan sejenis semestinya bisa berlaku bagi rokok biasa, khususnya agar peran cukai hasil tembakau (CHT) sebagai instrumen pengendalian konsumsi bisa tercapai.
Baca Juga
Ahli Kebijakan dan Keuangan Publik Deddi Nordiawan mengatakan struktur tarif CHT saat ini memiliki celah yang bisa dimanfaatkan untuk pabrikan besar dan maupun asing membayar tarif yang lebih murah.
Advertisement
“Ini yang membuat penerimaan negara kurang optimal dan konsumsi rokok sulit terkendali karena banyaknya rokok murah. Padahal Indonesia sedang membutuhkan biaya yang besar untuk pemulihan ekonomi dan berjuang mengendalikan konsumsi,” katanya dikutip Minggu (31/7/2022).
Ia menilai, optimalisasi kebijakan cukai semestinya tidak hanya sebatas tarif dan harga, melainkan keseluruhan struktur cukai itu. Deddi menilai pemerintah telah mampu menetapkan perbedaan pabrikan besar dengan pabrikan kecil dalam produksi KLM secara jelas.
Apalagi, pemerintah berani menetapkan batasan produksi kelompok cukai KLM tertinggi hanya 4 juta batang per tahun. “Ini merupakan kebijakan yang realistis untuk pabrikan kecil KLM, hal yang sama seharusnya dapat diterapkan di kebijakan cukai rokok biasa,” ujarnya.
Deddi mengatakan kebijakan batasan produksi untuk rokok biasa cukup kontras dibandingkan dengan rokok KLM. “Batasan produksi tertinggi pada rokok hingga mencapai 3 miliar batang, masih mudah sekali untuk dimanfaatkan oleh perusahaan besar membayar cukai lebih murah, dengan cara beralih ke golongan 2 yang selisih cukainya sangat lebar,” ujarnya.
Inilah yang memicu perusahaan-perusahaan besar dan asing dapat menikmati tarif cukai murah asalkan produktivitas mereka kurang dari 3 miliar batang per tahun. “Tidak heran jika produksi rokok di golongan 2 meningkat,” tegas dia.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Batasan Produksi
Menurutnya, batasan produksi yang realistis untuk diterapkan kini adalah mengacu pada kebijakan yang berlaku pada sebelum 2017, yakni batasan produksi tertinggi untuk rokok biasa sebesar 2 miliar batang per tahun.
Sebagaimana diberitakan, Menteri Keuangan menerbitkan peraturan Nomor 109/2022 yang membagi cukai KLM menjadi dua kelompok tarif. Pabrikan Kelompok 1 yang memproduksi lebih dari 4 juta batang dipungut cukai dan harga jual eceran lebih tinggi.
Adapun Pabrikan Kelompok II yang memproduksi KLM di bawahnya diberikan tarif cukai dan HJE lebih rendah. Kebijakan ini terutama bertujuan untuk melindungi pabrikan rumahan.
Peneliti Center of Human and Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Roosita Meilani mengatakan ketetapan pemerintah yang membedakan secara tegas perusahaan dan produksi rokok KLM melalui batasan produksi merupakan bagian dari pengendalian konsumsi di masyarakat. Kebijakan batasan produksi yang sama semestinya berlaku di rokok biasa karena pengendalian konsumsi rokok di Indonesia masih rendah.
“Dengan produksi rokok 3 miliar batang menunjukkan penetrasi dan distribusi rokok cukup luas. Itulah sebabnya penyederhanaan golongan diperlukan agar mendorong penurunan prevalensi perokok khususnya perokok pemula dan anak-anak,” katanya lagi.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Kenaikan Cukai Rokok Tak Ampuh Redam Perokok Anak
Sebelumnya, Tarif cukai hasil tembakau yang terus naik setiap tahun ternyata belum bisa menekan menekan perokok anak secara signifikan. Hal ini diungkap oleh Chief Strategist Lembaga think tank kesehatan CISDI Yudhina Meillisa.
“Konsumsi rokok di Indonesia masih terus naik dan kebijakan yang dilakukan selama ini baik kebijakan yang berbasis harga belum mampu menekan laju kenaikan konsumsi rokok di Indonesia,” ucap Yudhina dalam Webinar, Jumat (29/7/2022).
Berdasarkan data, jumlah perokok anak tetap naik meskipun tarif cukai rokok juga sudah naik tinggi. Kenaikan jumlah perokok ini membuat makin jauh dari target RPJMN 2020-2024 sebesar 8,7 persen.
Menurut Yudhina, apabila kebijakan tarif cukai ini masih sama dan akan terus-menerus diterapkan hingga 2030 maka target dalam RPJM semakin jauh dicapai. “Di tahun 2030 bisa sampai 16 persen,” terangnya.
Sebanyak 15 persen kematian dini terjadi diakibatkan karena rokok. Pendapatan negara dari rokok untuk kesehatan hanya Rp 8,1 triliun. Kemudian dari sisi kerugian pembiayaan kesehatan hingga Rp 28,1 triliun.
“Menurut data dari CISDI, tahun 2019 sebesar 59 persen dari biaya perawatan rumah sakit yang ditanggung BPJS,” ujjar Yudhina.
Ia menjelaskan bagi perokok kemungkinan lebih besar akan membuat anak-anak mereka mengalami stunting dan ini juga menyebabkan kerugian program nasional.
Yudhina menilai dengan merek dan harga yang variatif. Apabila masyarakat tidak memiliki uang yang cukup banyak untuk membeli rokok mereka akan mencari merek rokok dengan harga yang terjangkau.
“Harga rokok yang bervariasi di masyarakat membuat ada pilihan yang bervariasi. Perokok yang kecanduan akan betul-betul mereka mempertahankan merokok dan tidak akan berkurang sama sekali,” tambahnya.
YLKI Sebut Pengaturan Batasan Produksi Rokok Masih Longgar
Fungsi cukai sebagai instrumen pengendalian tembakau guna menekan prevalensi perokok anak, dan penerimaan negara dinilai tidak akan efektif jika sistem dan struktur tarif cukai yang berlaku saat ini masih dipertahankan.
Pasalnya, sistem cukai di Indonesia masih kompleks dan batasan produksi yang menjadi dasar penggolongan tarif masih dapat disalahgunakan, sehingga harga rokok tetap terjangkau bagi anak-anak.
Akibatnya, target pemerintah menekan prevalensi anak dari menjadi 8,7 persen pada 2024 terancam tak tercapai.
Sekretaris Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno menilai struktur tarif cukai yang terdiri dari banyak layer masih terlalu kompleks, yang mengakibatkan harga rokok tetap murah.
“Di antara layer-layer itu, ada perbedaan tarif cukai dan perbedaan batas-batas produksi yang bisa diakali oleh industri,” katanya.
Menurutnya, perusahaan dapat turun kelas atau turun golongan dengan memproduksi rokok dengan jumlah produksi yang masuk pada strata yang lebih rendah tarif cukainya.
“Gap antara golongan 1 dan golongan 2 juga sangat tinggi sehingga industri dapat mengakali dengan turun kelas produksinya. Jadi yang produksi kelas 1 bisa turun ke kelas 2. Tarif cukai antara Golongan 1 dan 2 juga berbeda signifikan dan tentunya negara juga sebetulnya tidak diuntungkan,” katanya.
Dia menilai fenomena penurunan golongan ini yang makin memperparah downtrading, di mana perokok beralih ke rokok yang lebih murah. Kondisi ini menyebabkan target pemerintah menurunkan prevalensi perokok anak.
“Pengaturan batasan produksi ini longgar. Peraturannya masih memberi kesempatan pada industri untuk bisa turun ke golongan 2 dengan melakukan pembatasan produksi.” ujarnya.
Advertisement