Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, potensi Indonesia jatuh ke jurang resesi ekonomi relatif kecil dibandingkan sejumlah negara. Yakni, hanya berkisar 3 persen dibandingkan Sri Lanka mencapai 85 persen.
Hal ini berdasarkan hasil survei Ekonom Bloomberg terkait proyeksi probalilitas resesi yang dipublikasikan pada 6 Juli 2022.
Baca Juga
"Ekonomi Indonesia diproyeksikan masih menguat dan resesi Indonesia sangat kecil dibandingkan negara lain," kata Menko Airlangga dalam webinar Bisnis Indonesia di Jakarta, Selasa (2/8).
Advertisement
Airlangga menjelaskan, berdasarkan leading indicator CEIC meliputi keuangan moneter, pasar tenaga kerja, dan industri. Menetapkan bahwa perekonomian Indonesia diperkirakan masih menguat. Per 22 Juni 2022, leading indikator menempatkan ekonomi Indonesia masih berada di atas tren jangka panjang (>100).
"Di mana angka 100 adalah tren jangka panjang. Dan garis dot itu Indonesia berada dalam indeks di atas 100, dan sesudah Indonesia adalah India," ujar Airlangga.
Berdasarkan capaian tersebut, lanjut Airlangga, ekonomi Indonesia dan India berpotensi terus mengalami penguatan. Sebaliknya, ekonomi Amerika Serikat, China, dan sejumlah negara Eropa lainnya berpotensi besar akan mengalami perlambatan akibat kenaikan inflasi dan lonjakan harga komoditas energi yang memukul kinerja industri.
"Ekonomi AS yang sudah dua kali negatif. Sehingga, secara teknikal sudah masuk ke dalam resesi dan menuju stagflasi," imbuhnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Ekonomi Nasional
Airlangga menambahkan, masih kuatnya perekonomian nasional juga tercermin dari peningkatan demand/konsumsi juga terus menunjukkan peningkatan seiring dengan membaiknya indikator utama konsumsi, investasi, dan sektor eksternal. Kemudian, peningkatan harga komoditas global (kelapa sawit dan batu bara) juga mendorong penerimaan negara.
Selain itu, cadangan devisa Indonesia juga cukup memadai mencapai USD 136,4 miliar hingga akhir Juni 2022. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan posisi pada akhir Mei 2022 sebesar USD 135,6 miliar.
Airlangga menyebut, posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Dalam bahan paparannya, proyeksi probabilitas resesi tertinggi di duduki Sri Lanka sebesar 85 persen, New Zealand 33 persen, Korea Selatan, Jepang 25 persen. Diikuti, China, Hongkong, Australia, Taiwan, dan Pakistan masing-masing mencapai 20 persen. Adapun probalilitas Indonesia berada di level 3 persen dan India 0 persen.
"Sehingga dari probabilitas resesi Indonesia bersama India termasuk persentasenya paling rendah," tutupnya.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Mantap, Ketahanan Ekonomi Indonesia Lebih Baik dari AS dan China
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara, mengatakan kondisi ketahanan fundamental ekonomi Indonesia lebih baik dibandingkan negara lain. Hal itu terlihat dari tingkat inflasi yang dialami negara lain yang tinggi.
“Kita lihat di Amerika Serikat pertumbuhan ekonomi sudah sempat negatif yang Q2 nya bahkan 2 kuarter berturut-turut mengalami penurunan dan yang terakhir itu di bawah nol," kata Suahasil dalam Mid Year Economic Outlook 2022, Selasa (2/8/2022).
"Tiongkok kalau dilihat di Q2 ini 0,4 persen, Tiongkok yang kita tahu Biasanya pertumbuhan yaitu ada di level atas sekarang tumbuhnya tipis sekali,” lanjut dia.
Begitupun dilihat dari sisi Consumer confidence index di Amerika Serikat menunjukkan tren yang menurun. Menurutnya, hal itu harus disikapi dengan sangat hati-hati dan Indonesia harus selalu memantau posisi ekonomi negara-negara lain untuk memperkuat ketahanan dan melakukan pengaturan terhadap kebijakan-kebijakan dalam negeri.
Wamenkeu pun membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain dalam konteks PDB. Produk Domestik Bruto (PDB) riil Indonesia pada 2021 sudah berada di level sebelum terjadi pandemi Covid-19.
“Kita termasuk yang sudah artinya sudah melewati kondisi 2019, kalau kita lihat level PDB riil Q1 2022 terhadap rata-rata 2019 kita juga sudah di zona yang positif. Lihat bahwa banyak negara peer grup kita yang masih dibawah belum kembali ke level 2019 kita termasuk negara yang sudah kembali,” katanya.
Inflasi
Dari sisi inflasi, Indonesia inflasinya masih rendah dibandingkan negara lain, yakni Australia diangka 5,1 persen, kemudian negara Argentina dan Turki inflasinya diatas 76 persen. Artinya, kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih kuat.
“Inflasi ini akan meningkat angka Indonesia ada di 4,44 persen bulan Juni dan kemarin Badan Pusat Statistik baru mengeluarkan angka 4,9 persen. Jadi, posisi kita belum terlalu berubah karena Australia yang lebih sedikit lebih tinggi dari kita ada di 5,1 persen. Negara-negara lain banyak sekali yang menghadapi inflasi yang lebih tinggi jauh lebih tinggi dari Indonesia,” ungkapnya.
Suahasil mengatakan, stabilitas ekternal Indonesia yakni current account defisit sebagai persentase terhadap PDB Indonesia masih positif.
“Jadi, kita current account surplus 0,3 persen dari PDB. Kalau kita lihat budget defisit budget deficit kita di sekitar 4,6 persen dan bisa dilihat negara-negara yang budget defisit yaitu pembiayaannya itu bahkan bisa ke arah double digit dari PDB nya,” ujarnya.
Menurutnya, Indonesia termasuk yang sangat moderat. Fundamental ekonominya masih terjaga meskipun defisit di atas 3 persen, tapi Pemerintah terus berusaha menjaga posisi tersebut.
Advertisement