Sukses

Jualan Starbucks di China Anjlok Gara-gara Lockdown Covid-19

Penjualan Starbucks di China menurun hingga 44 persen di kuartal kedua karena terkena dampak kebijakan nol-Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Penjualan Starbucks di China merosot karena pembatasan ketat dalam upaya meredam wabah baru Covid-19 di negara itu.

Dilansir dari CNN Business, Rabu (3/8/2022) penjualan Starbucks di China dalam 3 bulan terakhir hingga 3 Juli 2022 turun 44 persen.

"China menghadapi gangguan Covid-19 paling parah sejak awal pandemi hingga kuartal tersebut," ungkap Belinda Wong, pimpinan Starbucks China.

"Pembatasan mobilitas dan lockdown yang diterapkan lebih cepat sementara pelonggaran lebih lambat di bawah kebijakan nol-Covid-19 China," tambahnya. 

Belinda Wong menyebut, bahwa kota Shanghai, yang menjadi pasar terbesar Starbucks telah benar-benar ditutup selama sekitar dua pertiga kuartal tersebut.

Penjualan internasional Starbucks juga turun 18 persen pada kuartal dua, imbas hasil yang buruk di China.

Kebijakan nol-Covid-19 di China telah mempersulit perusahaan-perusahaan yang berbisnis di negara itu, tak terkecuali bagi Starbucks, yang menganggap China sebagai salah satu pasar terpentingnya.

Starbucks memiliki sekitar 5.760 cabang di China, dan negara tersebut tentu merupakan peluang pertumbuhan merek franchise kopi asal AS itu.

"Bahkan dengan kuartal yang sulit, posisi kami di pasar dan aspirasi kami untuk masa depan tidak pernah lebih besar dari China," kata CEO interim Starbucks Howard Schultz.

Tetapi saat ini, situasi bisnis di China mulai membaik ketika pembatasan Covid-19 dilonggarkan, kata Wong, mencatat bahwa pihaknya tengah bekerja keras menggenjot penjualan setelah pembukaan kembali di Shanghai pada awal Juni 2022.

"Kami melanjutkan fokus tanpa henti pada jangka panjang bahkan saat kami menavigasi gangguan jangka pendek," jelas Wong.

Starbucks mengungkapkan, pihaknya berencana menambahkan 6.000 cabang di China pada akhir tahun.

2 dari 4 halaman

Imbas Covid-19, China Beri Sinyal Pertumbuhan Ekonomi Negaranya Meleset dari Target

China mengisyaratkan kemungkinan pertumbuhan ekonomi negaranya tidak akan mencapai target 5,5 persen di 2022 ini.

Hal itu merupakan dampak pembatasan ketat untuk meredam wabah baru Covid-19 membebani ekonomi negara itu.

Dilansir dari BBC, Senin (1/8/2022) Politbiro, badan pembuat kebijakan utama Partai Komunis China mengatakan bahwa pihaknya tengah berupaya menjaga pertumbuhan ekonomi dalam kisaran yang wajar.

Namun, dalam pernyataan itu, tidak disebutkan target pertumbuhan ekonomi 5,5 persen seperti yang telah ditetapkan sebelumnya.

Politbiro yang beranggotakan 25 orang, yang diketuai oleh Presiden Xi Jinping, mengatakan para pemimpinnya akan "berusaha untuk mencapai hasil terbaik".

Badan itu juga menyerukan provinsi-provinsi di China untuk bekerja keras memenuhi masing-masing target pertumbuhan ekonomi mereka.

Menurut analis, kurangnya penyebutan PDB penting, meskipun para ekonom sebelumnya memperkirakan akan sulit bagi China untuk mencapai target 5,5 persen.

"Target pertumbuhan 5,5 persen tidak lagi menjadi keharusan bagi China," kata Iris Pang, kepala ekonom China di ING Bank, kepada kantor berita Wall Street Journal.

Mereka juga menambahkan bahwa China mendesak provinsi yang lebih besar untuk memulihkan ekonomi yang terdampak lockdown.

"Beijing meminta provinsi yang posisinya relatif baik harus berusaha untuk mencapai target ekonomi dan sosial untuk tahun ini," ujar analis Nomura Ting Lu, Jing Wang dan Harrington Zhang dalam sebuah catatan.

"Kami pikir Beijing menyarankan bahwa target pertumbuhan PDB untuk provinsi dengan kondisi yang kurang menguntungkan, terutama bagi mereka yang terpukul oleh varian Omicron dan lockdown, bisa lebih fleksibel,," tambah mereka.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

IMF Minta China Pikirkan Ulang Imbas Kebijakan Nol Covid-19 ke Ekonomi

China disebut perlu mempertimbangkan kembali dampak kebijakan nol Covid-19 untuk menghindari penurunan ekonomi, serta menghasilkan solusi jangka panjang untuk krisis di sektor real estat.

Hal itu disampaikan oleh direktur Departemen Asia dan Pasifik di IMF Krishna Srinivasan, dalam sebuah wawancara. 

"China telah membuat beberapa perubahan dalam membuatnya sedikit lebih fleksibel, tetapi kami merasa bahwa strategi ini dapat menjadi hambatan bagi perekonomian," kata Srinivasan, dikutip dari US News, Kamis (28/7/2022).

"Ini adalah masalah yang perlu ditangani," ujarnya.

Diketahui bahwa negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu telah memberlakukan serangkaian pembatasan ketat Covid-19, memicu ketidakpastian di antara penduduk dan bisnis atas kemungkinan lockdown lainnya di masa depan.

Kebijakan nol-Covid-19 di China juga menjadi salah satu faktor IMF memangkas perkiraan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negara itu tahun menjadi 3,3 persen, dari semula 4,4 persen dalam World Economic Outlook (WEO) terbaru yang diterbitkan pekan ini.

Laporan WEO menyebut, ini akan menjadi pertumbuhan ekonomi terendah China dalam lebih dari empat dekade, tidak termasuk selama krisis Covid-19 awal pada tahun 2020.

Namun, kebijakan nol-Covid-19 bukan satu-satunya faktor di balik kekhawatiran IMF atas perlambatan ekonomi China.

Naiknya harga rumah dan melonjaknya utang rumah tangga juga memicu krisis di sektor real estat.

"Niat pemerintah untuk mengurangi leverage di sektor real estat sepenuhnya benar, tetapi telah menghambat pertumbuhan," ucap Srinivasan.

"Sekarang banyak rumah tangga yang menolak membayar KPR karena banyak proyek perumahan yang belum selesai," ungkapnya.

4 dari 4 halaman

Ekonomi China Susut Imbas Lockdown, Terburuk Dibandingkan Awal Pandemi Covid-19

Ekonomi China mengalami kontraksi tajam pada kuartal kedua tahun ini karena lockdown Covid-19 yang meluas menghantam bisnis dan konsumen.

Dilansir dari BBC, Jumat (15/7/2022) Produk domestik bruto (PDB) China turun 2,6 persen dalam tiga bulan hingga akhir Juni 2022 dari kuartal sebelumnya.

Pada basis year-on-year, ekonomi China tumbuh hanya 0,4 persen di periode April-Juni 2022, kurang dari ekspektasi 1 persen.

"Pertumbuhan PDB kuartal kedua adalah hasil terburuk sejak awal pandemi, karena lockdown, terutama di Shanghai, sangat berdampak pada aktivitas pada awal kuartal," kata Tommy Wu, Ekonom Utama di Oxford Economics.

Angka resmi bulan lalu menunjukkan peningkatan kinerja ekonomi China menyusul dicabutnya pembatasan.

"Namun, data Juni lebih positif, dengan aktivitas meningkat setelah sebagian besar lockdown dicabut. Tetapi penurunan real estat terus menyeret pertumbuhan," tambah Tommy Wu.

Sementara itu, Jeff Halley, analis pasar senior untuk Asia Pasifik di platform perdagangan Oanda, mengatakanbahwa dia juga melihat beberapa titik terang dalam data ekonomi hari ini dari China.

"PDB lebih buruk dari yang diharapkan, namun pengangguran turun menjadi 3,5 persen dan penjualan ritel mengungguli secara mengesankan," ungkap Halley.

"Pasar keuangan cenderung berkonsentrasi pada angka ritel, yang tampaknya menunjukkan konsumen China dalam kondisi yang lebih baik dari yang diharapkan," jelasnya. 

Sebagai informasi, Kota Shanghai, yang menjadi pusat ekonomi di China memberlakukan lockdown selama dua bulan sejak akhir Maret 2022 ketika pihak berwenang berusaha menahan lonjakan kasus Covid-19.

Meski pemulihan pasca lockdown Covid-19 diperkirakan akan terjadi pada paruh kedua tahun ini, para ekonom meyakini target resmi pertumbuhan ekonomi China 5,5 persen tidak akan dapat dicapai di 2022.