Sukses

Lembaga Think-Tank Sebut Inggris Sudah Resesi

Inggris resesi akan membuat warganya terpaksa berutang atau menunggak karena tagihan energi yang melonjak menguras pendapatan.

Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi Inggris disebut sudah memasuki resesi karena krisis biaya hidup yang berdampak pada pendapatan rumah tangga.

Inggris resesi ini diungkapkan oleh lembaga think-tank National Institute of Economic and Social Research (NIESR). 

Dilansir dari The Straits Times, Rabu (3/8/2022) NIESR dalam penilaiannya mengatakan bahwa rata-rata pendapatan nyata di Inggris yang dapat dibelanjakan akan turun 2,5 persen tahun ini dan tetap 7 persen di bawah tingkat pra-Covid-19 hingga 2026.

"Ekonomi Inggris sedang menuju ke periode stagflasi dengan inflasi tinggi dan resesi memukul ekonomi secara bersamaan," kata wakil direktur makroekonomi NIESR, Stephen Millard.

Diperkirakan juga jumlah rumah tangga yang hidup bergantung dari penghasilan atau gaji mereka akan mencapai hampir dua kali lipat menjadi tujuh juta pada tahun 2024 mendeatang, termasuk 5,3 juta tanpa tabungan sama sekali.

NIESR mengungkapkan, resesi akan membuat banyak warga Inggris terpaksa berutang atau menunggak karena tagihan energi yang melonjak menguras pendapatan. 

Selain itu, kekhawatiran resesi, yang menurut NIESR dimulai pada kuartal ini juga diprediksi akan berlanjut hingga awal 2023, di tengah masa-masa penentuan pengganti Boris Johnson sebagai Perdana Menteri Inggris.

Lembaga think-tank itu menyarankan bahwa masyarakat rentan di Inggris sedang membutuhkan bantuan dalam menghadapi inflasi harga konsumen yang disebut akan naik hampir 11 persen tahun ini.

Sementara itu, inflasi harga eceran - ukuran yang lebih luas yang digunakan untuk menetapkan kenaikan tarif kereta api dan biaya bunga pemerintah, diperkirakan akan mencapai 17,7 persen, tertinggi sejak 1980.

"Sekarang tergantung pada Komite Kebijakan Moneter untuk memastikan inflasi turun tahun depan dan kanselir baru untuk mendukung rumah tangga yang paling terpengaruh oleh resesi dan tekanan biaya hidup," ujar Millard.

2 dari 3 halaman

Inggris Gelontorkan Subsidi Energi Rp 672,1 Triliun untuk Rumah Tangga

Tagihan energi domestik di Inggris diperkirakan bisa mencapai lebih dari 3.600 pound sterling atau setara Rp 65,4 juta per tahun menjelang musim dingin. 

Lonjakan ini terjadi menyusul inflasi Inggris yang mencatat kenaikan tertinggi dalam 40 tahun, 9,4 persen pada Juni 2022.

Dilansir dari BBC, Selasa (2/8/2022) konsultan pasar energi Cornwall Insight mengatakan, jumlah maksimum yang dapat dibebankan pemasok kepada pelanggan untuk penggunaan energi rata-rata di Inggris, Skotlandia, dan Wales diperkirakan akan kembali naik pada bulan Oktober.

Mereka menyebut, tagihan umum untuk gas dan listrik di Inggris, Wales dan Skotlandia bisa mencapai 3.615 pound sterling (Rp 65,7 juta) di tahun baru - lebih mahal ratusan pound dari prediksi sebelumnya.

Angka itu cukup tinggi dibandingkan pada Oktober 2021, ketika tagihan energi di Inggris secara rata-rata dipatok 1.400 pound sterling (Rp 25,4 juta) per tahun.

Kemudian pada April 2022, harga energi menunjukkan kenaikan menjadi di kisaran 2.000 pound sterling (Rp 36,3 juta).

Dengan melonjaknya biaya hidup, terutama biaya energi, Pemerintah Inggris mengumumkan paket bantuan untuk rumah tangga.

"Meskipun tidak ada pemerintah yang dapat mengendalikan harga gas global, kami mengeluarkan dana bantuan 37 miliar pound sterling (Rp 672,1 triliun) untuk rumah tangga termasuk diskon 400 pound sterling untuk tagihan energi, dan 1.200 pound sterling untuk dukungan langsung bagi rumah tangga yang paling rentan untuk membantu biaya hidup," kata seorang  juru bicara Departemen Bisnis, Energi dan Strategi Industri Inggris.

Pekan lalu, pemerintah Inggris juga mengumumkan bahwa rumah tangga di Inggris, Skotlandia dan Wales akan menerima dana bantuan masing-masing 400 pound sterling (Rp 7,2 juta) untuk meringankan kenaikan biaya BBM selama musim gugur.

Penyaluran dana tersebut, yang merupakan bagian dari Skema Dukungan Tagihan Energi, akan dibayarkan dalam enam kali angsuran.

Tetapi bagaimana dana bantuan itu diterima setiap individu akan tergantung pada bagaimana mereka membayar tagihan.

Rumah tangga akan melihat diskon hingga 66 pound sterling (Rp 1,1 juta) untuk tagihan energi mereka pada bulan Oktober dan November mendatang, berlanjut dengan diskon 67 pound sterling (Rp 1,2 juta) per bulan dari Desember hingga Maret 2023.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

Tertinggi dalam 40 Tahun, Inflasi Inggris Sentuh 9,4 Persen di Juni 2022

Inflasi Inggris secara tahunan melonjak ke level tertinggi dalam 40 tahun pada Juni 2022 karena kenaikan harga BBM dan pangan.

Dilansir dari Channel News Asia, Rabu (20/7/2022) Indeks Harga Konsumen (CPI) Inggris melonjak menjadi 9,4 persen pada Juni 2022 dari 9,1 persen pada Mei 2022, menurut Kantor Statistik Nasional negara itu. 

Menurut analis, angka inflasi terbaru memberikan tekanan pada bank sentral Inggris atau Bank of England (BoE) untuk menaikkan suku bunga sebanyak 50 basis poin, atau setengah poin persentase, pada pertemuan kebijakan berikutnya di bulan Agustus mendatang.

"Di Inggris, kami melihat pembacaan CPI yang mengejutkan dan tekanan ada pada Bank of England terkait langkah yang diperlukan sebelum terlambat untuk mengendalikan inflasi," kata Naeem Aslam, kepala analis pasar di Avatrade.

Sejauh ini, Bank of England telah menaikkan suku bunga utamanya sebanyak lima kali sejak Desember 2021, menaikannya menjadi 1,25 persen dari rekor terendah 0,1 persen.

Namun, Gubernur Bank of England Andrew Bailey pada Selasa (19/7) menyatakan bahwa "peningkatan 50 basis poin akan menjadi salah satu pilihan pada pertemuan berikutnya".

Selain inflasi, indeks harga eceran Inggris (RPI) juga naik menjadi 11,8 persen pada Juni 2022 dari 11,7 persen pada Mei 2022. 

Sebagai informasi, indeks harga eceran penting di negara itu karena mencakup pembayaran bunga hipotek yang digunakan oleh serikat pekerja dan pengusaha ketika menegosiasikan kenaikan upah.

"Ada banyak beban untuk anggaran rumah tangga karena tingkat inflasi yang tinggi terus melampaui pertumbuhan upah, menurunkan nilai pendapatan riil di seluruh Inggris," ungkap Yael Selfin, kepala ekonom di KPMG UK.