Sukses

Susul Sawit, Kementan Uji Coba Kemiri untuk Gantikan Energi Fosil

Produk turunan dari pengolahan minyak nabati kemiri sunan akan menghasilkan gliserol, asam lemak bebas, terpentin, dan bahan oleokimia lainnya yang bernilai ekonomi tinggi.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) terus mengembangkan bahan nabati menjadi energi untuk mengganti energi fosil. Setelah berhasil dengan uji coba kelapa sawit, saat ini Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian mencoba mengembangkan energi dari bahan kemiri.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian Fadjry Djufry menjelaskan, unit pelaksana teknis Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri) tengah melakukan pengembangan pemanfaatan kemiri sunan.

"Di samping produktivitas yang tinggi, rendemen minyak kasar kernel kemiri sunan dapat mencapai lebih dari 50 persen dengan rata-rata angka asam lemak bebas cukup rendah," jelas dia dikutip dari Antara, Minggu (7/8/2022).

Kemiri Sunan memiliki perakaran yang dalam dengan tajuk yang lebar, dan dapat tumbuh di lahan marjinal dan beriklim kering seperti Nusa Tenggara Timur, sehingga bisa difungsikan sebagai tanaman rehabilitasi dan konservasi, serta mampu menyerap karbon dalam jumlah yang cukup tinggi.

Tak hanya itu, kemiri sunan juga mampu mereklamasi lahan-lahan bekas tambang. Produk turunan dari pengolahan minyak nabati kemiri sunan akan menghasilkan gliserol, asam lemak bebas, terpentin, dan bahan oleokimia lainnya yang bernilai ekonomi tinggi.

Kemiri sunan juga termasuk non-edible dan mengandung racun yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pestisida nabati. Sebagai contoh, biotris, merupakan pestisida nabati berbahan dasar kemiri sunan hasil temuan peneliti Balittri yang dapat digunakan sebagai pengendali hama penggerek buah kakao.

Reaktor Biodiesel

"Tak hanya itu, inovasi Balittri dalam pengembangan bahan bakar nabati adalah alat reaktor biodiesel multifungsi. Kelebihan reaktor itu mampu memproses minyak nabati dengan kadar asam lemak bebas yang cukup tinggi," jelasnya.

Penggunaan mesin prosesing biodiesel itu dapat menghasilkan kualitas biodiesel yang memenuhi standar SNI. Kapasitas produksinya 3.000 liter per enam jam dan mampu menurunkan bahan baku dengan asam lemak bebas baku tinggi menjadi rendah (di bawah 3) dan dapat mengolah berbagai jenis minyak nabati yang sudah dilengkapi methanol recovery dan monitor display untuk melihat pemisahan biodiesel dari gliserol dari tabung pemisah bawah reaktor.

"Inovasi B-100 dari Balittri ini merupakan harapan energi baru dunia. Presidensi Indonesia dalam pertemuan G-20 tahun ini merupakan momentum untuk menggaungkan pengembangan energi ramah lingkungan dan mempercepat transisi energi hijau," pungkas Fadjry.

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Uji Jalan B100

Upaya sebelumnya yang sudah dijalankan Kementan untuk mereduksi energi fosil adalah dengan memanfaatkan tanaman jenis sawit untuk menghasilkan energi berkelanjutan yang sejalan dengan kerangka konvensi perubahan iklim.

"Kementerian Pertanian melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian terus melakukan riset dan inovasi dalam pengembangan bahan bakar nabati," kata Fadjry.

Fadjry mengatakan kelapa sawit adalah sumber energi yang paling siap dan potensial. Indonesia merupakan penghasil minyak sawit mentah terbesar dan memiliki perkebunan kelapa sawit terluas di dunia.

Pemerintah melalui unit pelaksana teknis Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri) Kementerian Pertanian telah berhasil mengembangkan bahan bakar nabati berbahan dasar kelapa sawit, yaitu B-100 dengan tahapan pengujian sebanyak tiga kali.

Pada uji jalan B100, Balittri melakukan perbandingan uji coba dengan pertadex. Hasilnya menunjukkan bahwa emisi yang dihasilkan lebih baik dari pertadex dengan hasil efisiensi serta tenaga yang dihasilkan setara dengan Pertadex.

Selain itu, satu liter B100 mampu menempuh jarak 13,1 kilometer atau setara dengan 26,7 persen lebih efisien dibandingkan penggunaan bahan bakar berbasis fosil dalam jumlah yang sama.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

EBT Melimpah, Kenapa RI Sulit Lepas dari Jerat Bahan Bakar Fosil?

Sebelumnya, Peneliti Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal, Yuventus Effendi mengatakan ketahanan energi indonesia masih memerlukan perbaikan terus-menerus. Menurutnya hal ini disebabkan karena tingginya konsumsi energi dari sumber energi yang belum sustainable.

“Dalam beberapa tahun terakhir ini untuk konsumsi energi lebih dominan dari sektor industri dan transportasi,” ujar Peneliti Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal, Yuventus Effendi, dalam webinar, Kamis (28/7/2022).

Dia mengungkapkan bahwa suplai energi Indonesia sebagian besar didominasi oleh bahan bakar fosil. Baik total suplai energi maupun sumber energi untuk membangkitkan listrik yang berasal dari batubara, gas dan minyak.

Hal tersebut, membuat Indonesia menjadi ketergantungan pada bahan bakar fosil sebagai sumber energi sangat rentan terhadap suplai minyak dan gas serta perubahan harga.

“Misalnya sejak 2004 indonesia merupakan negara net importir minyak dan harga batubara dan gas yang meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Kemudian beberapa bulan terakhir harga komoditas termasuk energi itu cenderung naik” terangnya.

Disisi lain, sumber energi dan produksi listrik berasal dari energi baru terbarukan (EBT) mengalami peningkatan produksi. Akan tetapi EBT terhadap total suplai energi dan total produksi listrik cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun.

“Kita juga sudah punya energi baru terbarukan seperti solar panel, atau dari angin, air. Tapi sayangnya dalam beberapa tahun terakhir ini proporsinya malah cenderung menurun,” jelas Yuventus.