Tim Peneliti LPEM Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia mengaku masyarakat berpenghasilan rendah merupakan konsumen yang akan terkena dampak signifikan dari kebijakan kenaikan harga minuman bersoda sekitar Rp 1.000-Rp 5.000. Pasalnya, golongan ini paling banyak mengkonsumsi minuman bersoda.
Ketua Tim Peneliti LPEM FE UI Eugenia Mardanugraha yang mengutip data dari Susenas Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, mengatakan konsumsi minuman berkarbonasi lebih banyak dikontribusi dari masyarakat berpenghasilan rendah terhadap total pengeluaran.
"Minuman bersoda memang dikonsumsi oleh seluruh rumah tangga berbagai golongan. Tapi prosentase konsumsi masyarakat yang berpenghasilan kurang dari Rp 1 juta lebih tinggi sebesar 1,66% atau sekitar Rp 16.600 per bulan," ujar dia, Senin (4/2/2013).
Sedangkan penghasilan Rp 1 juta- Rp 2 juta, konsumsi minuman soda tercatat 1,26%. Disusul 1% dari masyarakat yang bergaji Rp 2 juta- Rp 3 juta, dan berpenghasilan di atas Rp 3 juta hanya sebesar 0,62%.
"Semakin rendah penghasilan, maka rumah tangga tersebut lebih banyak mengeluarkan uang untuk beli minuman soda," terangnya.
Alhasil, dengan kenaikan cukai atau harga minuman bersoda, tentu akan membuat masyarakat golongan ini menderita. "Kalau orang kaya biarpun harga naik, tetap saja bisa beli. Tapi yang miskin, mereka akan sangat menderita, mengingat mereka paling sulit berhenti untuk minum soda," ucap Eugenia.
Dia menghimbau kepada pemerintah agar mempertimbangkan kembali rencana penetapan kenaikan cukai pada minuman bersoda.
"Kalau mau netapin cukai harus lihat faktor elastisitas dan inelastisitasnya. Karena soda merupakan barang elastisitas, di mana ketika harga dinaikkan, maka permintaan akan langsung turun. Sehingga target pendapatan pemerintah tidak akan tercapai," tegasnya. (Fik/Ndw)
Ketua Tim Peneliti LPEM FE UI Eugenia Mardanugraha yang mengutip data dari Susenas Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, mengatakan konsumsi minuman berkarbonasi lebih banyak dikontribusi dari masyarakat berpenghasilan rendah terhadap total pengeluaran.
"Minuman bersoda memang dikonsumsi oleh seluruh rumah tangga berbagai golongan. Tapi prosentase konsumsi masyarakat yang berpenghasilan kurang dari Rp 1 juta lebih tinggi sebesar 1,66% atau sekitar Rp 16.600 per bulan," ujar dia, Senin (4/2/2013).
Sedangkan penghasilan Rp 1 juta- Rp 2 juta, konsumsi minuman soda tercatat 1,26%. Disusul 1% dari masyarakat yang bergaji Rp 2 juta- Rp 3 juta, dan berpenghasilan di atas Rp 3 juta hanya sebesar 0,62%.
"Semakin rendah penghasilan, maka rumah tangga tersebut lebih banyak mengeluarkan uang untuk beli minuman soda," terangnya.
Alhasil, dengan kenaikan cukai atau harga minuman bersoda, tentu akan membuat masyarakat golongan ini menderita. "Kalau orang kaya biarpun harga naik, tetap saja bisa beli. Tapi yang miskin, mereka akan sangat menderita, mengingat mereka paling sulit berhenti untuk minum soda," ucap Eugenia.
Dia menghimbau kepada pemerintah agar mempertimbangkan kembali rencana penetapan kenaikan cukai pada minuman bersoda.
"Kalau mau netapin cukai harus lihat faktor elastisitas dan inelastisitasnya. Karena soda merupakan barang elastisitas, di mana ketika harga dinaikkan, maka permintaan akan langsung turun. Sehingga target pendapatan pemerintah tidak akan tercapai," tegasnya. (Fik/Ndw)