Liputan6.com, Jakarta Dalam rangka menurunkan emisi karbon, pemerintah telah membuat instrumen pengenaan pajak bagi kegiatan usaha yang menghasilkan emisi. Sayangnya, instrumen pajak karbon yang seharusnya diterapkan per 1 April 2022 lalu masih belum diimplementasikan.
Alasannya karena ketidakpastian global yang membuat ekonomi belum stabil. Sehingga pemerintah masih menunggu momen yang pas untuk bisa merealisasikan amanat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
"Karena ketidakpastian ekonomi global, penerapan pajak karbon telah ditunda," kata Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Adi Budiarso dalam Webinar CGS-CIMB: Balancing Between Economics Development and Green Policy, Jakarta, Selasa (9/8).
Advertisement
Adi menuturkan saat ini pemerintah masih akan terus memantau kondisi ekonomi dalam negeri. Pemerintah ingin penerapan pajak karbon tidak menjadi beban baru sektor yang menjadi sasaran utama, yakni pembangkit listrik berbasis batubara.
"Kita terus memantau kondisi ekonomi dalam negeri untuk melihat momen yang tepat untuk penerapan pajak karbon nanti," katanya.
Sambil menunggu, pemerintah terus merumuskan peraturan yang diterapkan jika pajak karbon telah berlaku. Sehingga akan makin menyempurnakan pemberlakuannya nanti.
"Pemerintah terus merumuskan peraturan yang diperlukan untuk diterapkan pada pajak karbon di masa depan," kata dia.
Lebih lanjut Adi menjelaskan pajak karbon merupakan instrumen penetapan harga karbon yang menjadi bagian dari paket kebijakan komprehensif untuk mitigasi perubahan iklim. Adapun tiga tujuan pajak karbon untuk mengubah perilaku untuk mendukung pengurangan dan dorongan emisi, inovasi dan investasi.
Prinsip-prinsip pajak karbon bukan hanya terjangkau tetapi diterapkan secara bertahap untuk mendukung transisi energi yang adil dan berkelanjutan. Sehingga peta jalan pajak karbon juga telah disiapkan pemerintah.
"Kami telah merancang peta jalan pajak karbon hingga 2045," kata dia mengakhiri.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
2 Alasan Utama Sri Mulyani Tunda 2 Kali Penerapan Pajak Karbon
Pemerintah kembali menunda penerapan pajak karbon. Rencana awal, pajak karbon akan diterapkan pada 1 Juli 2022. Ini penundaan kedua setelah sebelumnya juga pernah ditunda penerapannya pada April 2022.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pemerintah tak ingin tergesa-gesa menerapkan pajak karbon. Ada 2 alasan besar yang membuat penerapan pajak karbon ini terus ditunda.
Alasan pertama adalah pemulihan ekonomi Indonesia masih rentan sehingga masih diperlukan beberapa relaksasi. Alasan kedua adalah situasi geopolitik seperti perang Rusia dengan Ukraina yang membuat harga energi melonjak tajam.
“Jadi kami ingin memastikan penerapan pajak karbon nantinya tidak menimbulkan gangguan serius bagi pemulihan ekonomi kita sendiri maupun ketahanan energi nasional,” ujarnya dikutip dari Belasting.id, Kamis (28/7/2022).
Pajak karbon sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Sri Mulyani mengaku Kementerian Keuangan tengah menyiapkan aturan teknis untuk penerapan pajak karbon.
Rancangan peraturan menteri itu akan memuat tarif pajak karbon, serta prosedur dan mekanisme penerapan pajak karbon. Setelah dibahas, sambung Sri Mulyani, nantinya akan dikenalkan ke publik.
Dia juga menerangkan regulasi itu dirancang untuk mendorong pengembangan pasar karbon, inovasi teknologi, serta iklim investasi yang efisien untuk sektor rendah karbon dan ramah lingkungan.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Roadmap Pajak Karbon
Sri Mulyani menjelaskan roadmap pajak karbon yang sedang dirancang ini, bertujuan untuk mencapai transisi energi yang adil dan berkelanjutan. Adil berarti terjangkau, tidak merugikan, dan tidak menimbulkan gangguan sosial.
Oleh karena itu, dibutuhkan perhitungan yang tepat untuk menerapkan kebijakan yang tepat sekaligus kredibel. Menurut Menkeu, perlu juga mempertimbangkan aspek ekonomi, finansial, ataupun sosial.
“Kita akan mengimplementasikan kebijakan yang tepat, akan terus dibahas dan dirancang, sehingga kita dapat memperkenalkan pada waktu yang tepat dan mekanisme yang tepat,” tutur Sri Mulyani.