Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo menilai, negara memang perlu mengantisipasi dampak gejolak ekonomi global yang tengah terjadi. Meski itu sulit diprediksi kapan berakhir, seperti konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina.
"Kalau kita lihat, yang jelas adalah seluruh lembaga baik IMF dan World Bank selalu membuat proyeksi turun terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, inflasi naik. Sehingga ini merupakan hal yang tidak bisa dihindari," kata Andreas dalam Kick Off Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan, Rabu (10/8/2022).
Baca Juga
Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebutnya telah menyampaikan, hampir ada 60 negara yang terancam menghadapi kesulitan.
Advertisement
Namun, ia mengaku optimistis, Indonesia sudah punya pengalaman kuat dalam penanganan krisis, seperti yang dilakukan saat wabah pandemi Covid-19 menggila beberapa waktu lalu.
"Karena kita punya dua senjata, yaitu modal sosial kita berupa kegotongroyongan, dan pemanfaatan teknologi digital atau digitalisasi. Ini adalah lesson to learns daripada Covid-19," sebutnya.
Lebih lanjut, Andreas pun tak mengelak jika imbas lonjakan inflasi kini telah dirasakan langsung masyarakat. Khususnya dalam konteks harga pangan yang relatif semakin terguncang.
Â
Subsidi
Oleh karenanya, pemerintah bersama DPR RI kemudian menyepakati untuk mengendalikan inflasi lewat pengendalian beberapa harga komoditas yang diatur pemerintah (administered price).
Salah satunya, dengan memberikan subsidi besar untuk harga BBM jenis Pertalite dan Solar agar tidak terkena imbas kenaikan harga minyak dunia.
"Tantangan ini tidak mudah, karena kita sepakati fungsi APBN dan fiskal sebagai fungsi shock absorber, menahan gejolak," ujar Andreas.
Advertisement
Waspada! Ekonomi Global Menuju Stagflasi
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menggambarkan seberapa buruknya kondisi perekonomian global di tahun ini. Perry menyebut, ekonomi global saat ini menuju fase stagflasi.
Stagflasi sendiri ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat, statis disertai dengan kenaikan harga (inflasi).
"Perlu saya sampaikan, ekonomi dunia sedang menurun menuju stagflasi, atau resesi di berbagai negara," kata Perry dalam Kick Off Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan melalui Youtube Bank Indonesia, Jakarta, (10/8).
Perry mengungkapkan, kondisi buruk tersebut diakibatkan oleh sejumlah faktor hebat. Pertama, pandemi Covid-19 yang tak kunjung selesai hingga menganggu supply chain atau rantai pasok.
Kedua, konflik Rusia dan Ukraina yang turut menyumbang kenaikan inflasi akibat tepangkasnya distribusi energi hingga pangan. Mengingat, kedua negara tersebut menyumbang 20 persen kebutuhan energi dan pangan global.
"Itulah kenapa harga pangan global naik tinggi. Harga energi naik tinggi. Sekarang minyak USD 101 per barel," ucapnya.
Â
Upaya Bank Indonesia
Menyikapi situasi tersebut, Bank Indonesia terus berupaya menahan laju inflasi di Indonesia yang sudah mencapai 4,94 persen secara tahunan (year on year/yoy) hingga Juli 2022.
Antara lain dengan meningkatkan kolaborasi bersama Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dalam upaya menekan laju inflasi pangan melalui operasi pasar hingga program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan.
"Itulah kenapa Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan sangat penting, agar Indonesia terus melaju mengembangkan ekonomi menunu Indonesia maju, dan harga-harga pangan terkendali dan rakyak sejahtera," tutupnya.
Advertisement