Sukses

Inflasi China Masuk Zona Tertinggi dalam 2 Tahun Gara-gara Harga Daging Babi

Melonjaknya harga daging babi yang menjadi bahan makanan pokok memicu inflasi tertinggi dalam dua tahun di China.

Liputan6.com, Jakarta - Indeks harga konsumen China mencapai level tertinggi dalam dua tahun pada Juli 2022. Lonjakan inflasi ini terjadi didorong oleh kenaikan harga daging babi, yang menjadi salah satu makanan pokok di China, menurut data resmi Wind Information.

Dilansir dari CNBC International, Rabu (10/8/2022) analis menunjukkan indeks harga konsumen utama China per Juli 2022 naik 2,7 persen, meleset dari perkiraan kenaikan 2,9 persen.

Harga daging babi di China naik 20,2 persen pada Juli 2022. Ini menandai peningkatan pertama sejak September 2020.

Faktanya, harga daging babi mencatat lonjakan month-on-month bulan terbesar dalam catatan - naik 25,6 persen.

Menurut analis produk pertanian di Nanhua Futures, yakni Bian Shuyang, melonjaknya harga daging babi di China didorong oleh keengganan peternak untuk menjual dengan harapan bisa mematok harga yang lebih tinggi di masa mendatang. 

Namun Bian memperkirakan, akan sulit harga daging babi untuk melampaui level di bulan Juli mengingat musim libur di bulan September dan Oktober mendatang akan membantu mendukung permintaan konsumen.

Menurut analis, produsen babi hidup sekarang beroperasi dengan keuntungan, indikasi lebih banyak pasokan yang akan datang.

Selain daging babi, harga buah dan sayuran di China juga melonjak di bulan yang sama, masing-masing naik 16,9 persen dan 12,9 persen dari tahun lalu, menurut Biro Statistik Nasional.

"Harga bahan pokok non-makanan sebenarnya turun di bulan Juli (sebesar 0,1 persen) dari level di bulan Juni, yang mencerminkan permintaan yang lemah," ungkap Zhiwei Zhang, presiden dan kepala ekonom Pinpoint Asset Management, dalam sebuah catatan.

"Wabah Covid-19 di banyak kota dan kurangnya stimulus kebijakan lebih lanjut mungkin telah menyebabkan pertumbuhan yang lebih lemah pada bulan Juli," bebernya.

2 dari 4 halaman

Ekspor China Tumbuh 18 Persen di Juli 2022

Sebelum melaporkan inflasi, China mencatat kemajuan ekspor untuk bulan Juli 2022, meski ekonomi negara itu masih menghadapi beberapa hambatan imbas kebijakan nol-Covid-19.

Dilansir dari CNN Business, Selasa (9/8/2022) ekspor China yang diukur dalam dolar AS naik 18 persen pada Juli 2022. 

Angka tersebut menandai laju pertumbuhan ekspor tercepat tahun ini, menurut statistik bea cukai China yang dirilis pada Minggu 7 Agustus 2022.

Sebelumnya, pada bulan Juni 2022, ekspor China pun sudah menunjukkan peningkatan hingga 17,9 persen.

Sementara itu, impor China tumbuh 2,3 persen dari tahun sebelumnya, sedikit meleset dari ekspektasi dan menunjukkan permintaan domestik masih lemah.

Kinerja ekspor yang kuat pada bulan Juli mendorong surplus perdagangan China ke rekor USD 101 miliar atau setara Rp 1,5 kuadriliun untuk bulan tersebut, pertama kalinya melampaui ambang batas USD 100 miliar.

Ini menandai kenaikan yang cukup signifikan, dengan surplus perdagangan China yang pada Juli 2021 hanya mencapai USD 56,6 miliar (Rp 841,7 triliun).

"Data perdagangan bulanan menunjukkan bahwa pabrik-pabrik China terus bergerak menuju kebangkitan yang kuat dari gelombang Covid-19 Omicron terbaru," kata David Chao, ahli strategi pasar global untuk Asia Pasifik di Invesco.

"Meskipun latar belakang permintaan global melemah, kemajuan ekspor sebagian besar didorong oleh normalisasi aktivitas produksi di tempat-tempat seperti Delta Sungai Yangtze ," bebernya. 

Wilayah Delta Sungai Yangtze, yang terdiri dari Shanghai dan sebagian provinsi Jiangsu dan Zhejiang, merupakan pusat perdagangan luar negeri utama China.

3 dari 4 halaman

China Beri Sinyal Pertumbuhan Ekonomi Negaranya Meleset dari Target

China mengisyaratkan kemungkinan pertumbuhan ekonomi negaranya tidak akan mencapai target 5,5 persen di 2022 ini.

Itu dampak pembatasan ketat untuk meredam wabah baru Covid-19 membebani ekonomi negara itu.

Dilansir dari BBC, Senin (1/8/2022) Politbiro, badan pembuat kebijakan utama Partai Komunis China mengatakan bahwa pihaknya tengah berupaya menjaga pertumbuhan ekonomi dalam kisaran yang wajar.

Namun, dalam pernyataan itu, tidak disebutkan target pertumbuhan ekonomi 5,5 persen seperti yang telah ditetapkan sebelumnya.

Politbiro yang beranggotakan 25 orang, yang diketuai oleh Presiden Xi Jinping, mengatakan para pemimpinnya akan "berusaha untuk mencapai hasil terbaik".

Badan itu juga menyerukan provinsi-provinsi di China untuk bekerja keras memenuhi masing-masing target pertumbuhan ekonomi mereka.

Menurut analis, kurangnya penyebutan PDB penting, meskipun para ekonom sebelumnya memperkirakan akan sulit bagi China untuk mencapai target 5,5 persen.

"Target pertumbuhan 5,5 persen tidak lagi menjadi keharusan bagi China," kata Iris Pang, kepala ekonom China di ING Bank, kepada kantor berita Wall Street Journal.

Mereka juga menambahkan bahwa China mendesak provinsi yang lebih besar untuk memulihkan ekonomi yang terdampak lockdown.

"Beijing meminta provinsi yang posisinya relatif baik harus berusaha untuk mencapai target ekonomi dan sosial untuk tahun ini," ujar analis Nomura Ting Lu, Jing Wang dan Harrington Zhang dalam sebuah catatan.

"Kami pikir Beijing menyarankan bahwa target pertumbuhan PDB untuk provinsi dengan kondisi yang kurang menguntungkan, terutama bagi mereka yang terpukul oleh varian Omicron dan lockdown, bisa lebih fleksibel,," tambah mereka.

4 dari 4 halaman

Krisis Likuiditas Pengembang Properti China Bisa Ganggu Ekonomi

Analis memperingatkan hilangnya kepercayaan pada sektor properti dapat menyeret ekonomi China ke penurunan lebih lanjut.

Komentar itu muncul setelah perusahaan pengembang atau real estat China Evergrande Group gagal memberikan rencana restrukturisasi senilai USD 300 miliar yang dijanjikan selama akhir pekan.

"Bagi pemerintah, prioritasnya adalah memutus lingkaran umpan balik negatif yang menampilkan rasio yang tinggi dan krisis likuiditas di pihak pengembang," kata Shuang Ding, kepala ekonom Standard Chartered untuk China Raya dan Asia Utara, dikutip dari CNBC, Selasa (2/8/2022).

"Itu mengarah pada boikot hipotek dan selera yang sangat rendah di pihak pembeli rumah, dan kembali ke pengembang karena penjualan yang rendah memengaruhi likuiditasnya," jelasnya kepada CNBC "Street Tanda Asia."

Sebagai informasi, China tengah menghadapi masalah pada pembayaran hipotek, dengan pemilik rumah di 22 kota menolak untuk membayar pinjaman mereka pada proyek perumahan yang belum selesai.

"Jadi jika masalah ini tidak ditangani dengan baik, akan berdampak besar pada perekonomian, termasuk neraca pemerintah, neraca bank juga rumah tangga," beber Shuang Ding.

Shuang Ding menyebut, masalah di sektor properti mengancam fondasi penting dari ekonomi China, yaitu kepercayaan pasar.

Penjualan tanah, yang merupakan porsi dominan pendapatan pemerintah provinsi di China, turun 30 persen dalam setahun terakhir.

Ekonom Standard Chartered itu menyarankan, China baiknya berupaya meredam masalah di sektor properti dan menanganinya secara holistik, bukan dengan pendekatan sedikit demi sedikit, guna menghindari kebangkrutan massal.