Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, menyebut Indonesia salah satu negara yang tidak menaikkan suku bunga di tengah melonjaknya tekanan inflasi global.
"Tekanan inflasi Global seperti saya sampaikan sudah direspon oleh berbagai negara dengan kenaikan suku bunga yang cukup drastis, dan cepat," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa Agustus 2022, Kamis (11/8/2022).
Baca Juga
Negara yang menaikkan suku bunga diantaranya, ada Inggris yang menaikkan 150 basis poin sejak 2022. Lalu, Amerika Serikat justru lebih ekstrem yaitu menaikkan 225 basis poin sejak awal 2022.
Advertisement
"Dan mereka sekarang kenaikan suku bunga sebesar 75 basis poin sekali tindakan itu sudah menjadi sesuatu hal yang nampaknya biasa di Amerika serikat," ujarnya.
Tak hanya Inggris dan Amerika Serikat saja yang menaikan suku bunga, ada juga Eropa yang menaikkan 50 basis poin di tahun 2022. Sebelumnya selama periode 2020 suku bunganya negatif.
"Jadi, ini langsung naik 50 basis poin merupakan perubahan yang sangat besar," imbuhnya.
Negara emerging beberapa ada yang sudah mengikuti jejak negara maju, seperti Brazil sudah menaikkan 400 basis poin sejak awal 2022, Meksiko naik 225 basis poin dan India naik 140 basis poin.
"Ini semuanya untuk merespon apa yang disebut tekanan yang sangat kuat dari inflasi yang berasal dari harga komoditas, namun juga berasal dari harga komoditas namun juga berasal dari stimulus fiskal moneter yang diberikan pada masa pandemi 2021," jelasnya.
Â
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Bareng China dan Jepang
Namun, Indonesia, China, dan Jepang termasuk negara yang belum melakukan adjustment atau menaikkan suku bunga. Alasan Indonesia tidak menaikkan suku bunga karena melakukan pengetatan likuiditas, sehingga suku bunga dapat dijaga.
"Nah, tekanan inflasi ini jelas akan direspon dengan kenaikan suku bunga dan pengetatan likuiditas, karena yang terjadi di Amerika serikat dimana peranan dollar lebih dari 60 persen di dunia maka keputusan oleh Federal reserve dari Fed Fund ratenya naik pasti akan menimbulkan imbas didalam capital outflow," ujarnya.
Secara historis selama 4 dekade terakhir setiap suku bunga Amerika serikat mengalami kenaikan, akibat inflasi biasanya akan menyebabkan beberapa krisis ekonomi diberbagai belahan dunia, terutama sering kita lihat di latin Amerika.
"Oleh karena itu kita harus mewaspadai spill over atau imbasan dari kenaikan suku bunga ini terjadi yang akan berpotensi menimbulkan gejolak disektor keuangan atau dipasar keuangan," pungkasnya.
Â
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Siap-Siap BI Naikkan Suku Bunga Acuan, Kapan?
Sebelumnya, Bank Indonesia saat ini masih mempertahankan suku bunga acuan di level terendahnya 3,5 persen. Hanya saja, sewaktu-waktu BI bisa saja menaikkan suku bunga acuan itu.
Kepala Ekonom BRI, Anton Hendranata menilai, bank sentral mau tak mau harus menaikkan suku bunganya jika inflasi inti sudah lebih dari 3 persen.
"Yang perlu di pertimbangkan inflasi intinya, kalau seandainya mendekati 3 persen maka suka atau tidak suka rasanya BI harus merespon kenaikan suku bunga acuannya," kata Anton dalam Taklimat Media, Jakarta, Senin (8/8/2022).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Juli 2022, inflasi inti masih di level 2,86 persen. Bila pada Agustus tahun ini inflasi inti tembus 3 persen, maka diperkirakan Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan.
"Kalau ke arah 3 persen, hitungan saya menurut saya ada kemungkinan Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga acuannya. Tapi itu juga nanti lihat kondisi yang ada, kalau memang diperlukan," kata dia.
Sehingga bila sampai pada saatnya nanti, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan, kebijakan tersebut memang sudah sewajarnya. Anton mengingatkan kebijakan tersebut bukan berarti bank sentral mengorbankan tren pemulihan ekonomi yang semakin menguat.
Sehingga bila sampai pada saatnya nanti, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan, kebijakan tersebut memang sudah sewajarnya. Anton mengingatkan kebijakan tersebut bukan berarti bank sentral mengorbankan tren pemulihan ekonomi yang semakin menguat.
"Saya pikir wajar-wajar saja kalau seandainya BI terpaksa kalau harus menaikkan suku bunga acuannya. Itu bukan berarti mengorbankan pertumbuhan ekonomi yang sudah semakin baik. (Tapi) karena di globalnya jauh lebih agresif," kata dia.
Banyak Bank Sentral Naikkan Suku Bunga
Sebagaimana diketahui banyak negara yang sudah menaikkan tingkat suku bunga acuannya. Seperti yang dilakukan The Fed, bank sentral Amerika Serikat dengan tingkat suku bunga sudah mencapai 2,5 persen.
"Saat ini suku bunga acuan kita 3,5 persen. Kemudian suku bunga acuan AS 2,5 persen dan gap itu semakin mengecil," kata dia.
Hal ini berdampak pada tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Bahkan rupiah diprediksi bisa terus melemah dalam beberapa waktu ke depan.
"Saat ini kan memang rupiah boleh dikatakan ada tekanan tapi masih manageable di sekitar Rp 15.000. Maka kalau seandainya tekanan itu makin dalam terhadap rupiahnya," kata dia.
"Dan ini bisa menambah tekanan Depresiasi rupiah secara konsisten dalam beberapa periode yang akan datang. Saya kira ini perlu diperhatikan baik-baik," sambungnya.
Advertisement