Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi Inggris mengalami kontraksi pada kuartal kedua 2022, karena lonjakan biaya hidup di negara itu.
Angka resmi menunjukkan bahwa produk domestik bruto (PDB) Inggris menyusut 0,1 persen dalam kuartal kedua tahun ini.
Baca Juga
Angka pertumbuhan ekonomi itu berbeda tipis dari kontraksi 0,3 persen yang diperkirakan para analis.
Advertisement
Padahal, Dilansir dari CNBC International, Jumat (12/8/2022), PDB Inggris sempat meningkat sebesar 0,8 persen pada kuartal pertama tahun 2022.
Pekan lalu, Bank of England memperingatkan perkiraan ekonomi Inggris memasuki resesi terpanjang sejak krisis keuangan global pada kuartal keempat.
Sementara itu, inflasi Inggris diproyeksikan akan mencapai puncaknya di atas angka 13 persen pada bulan Oktober mendatang.
"Inggris dalam pertumbuhan stagnan karena ekonomi menghadapi tantangan dari tekanan pendapatan riil yang parah di tengah inflasi yang meningkat serta suku bunga yang tinggi," kata Hussain Mehdi, ahli strategi makro dan investasi di HSBC Asset Management.
"Dengan latar belakang ini, akan sulit untuk menghindari resesi, terutama dengan risiko kenaikan harga energi menjelang musim dingin," sebutnya.
Terlepas dari hambatan ekonomi makro, HSBC mendukung ekuitas Inggris berkapitalisasi besar untuk terus mengungguli ekonomi tahun ini mengingat "paparan pada komoditas, nilai, dan nama defensif."
Office for National Statistics, yang menerbitkan angka pertumbuhan ekonomi Inggris, mengatakan kontraksi sebagian besar didorong oleh penurunan output layanan, dengan hambatan terbesar berasal dari kegiatan kesehatan dan pekerjaan sosial.
Tercatat ada penurunan 0,2 persen dalam konsumsi rumah tangga di Inggris pada kuartal kedua 2022, tetapi diimbangi oleh kontribusi positif dari perdagangan bersih.
Tertinggi dalam 40 Tahun, Inflasi Inggris Sentuh 9,4 Persen di Juni 2022
Inflasi Inggris secara tahunan melonjak ke level tertinggi dalam 40 tahun pada Juni 2022 karena kenaikan harga BBM dan pangan.
Dilansir dari Channel News Asia, Rabu (20/7/2022) Indeks Harga Konsumen (CPI) Inggris melonjak menjadi 9,4 persen pada Juni 2022 dari 9,1 persen pada Mei 2022, menurut Kantor Statistik Nasional negara itu.Â
Menurut analis, angka inflasi terbaru memberikan tekanan pada bank sentral Inggris atau Bank of England (BoE) untuk menaikkan suku bunga sebanyak 50 basis poin, atau setengah poin persentase, pada pertemuan kebijakan berikutnya di bulan Agustus mendatang.
"Di Inggris, kami melihat pembacaan CPI yang mengejutkan dan tekanan ada pada Bank of England terkait langkah yang diperlukan sebelum terlambat untuk mengendalikan inflasi," kata Naeem Aslam, kepala analis pasar di Avatrade.
Sejauh ini, Bank of England telah menaikkan suku bunga utamanya sebanyak lima kali sejak Desember 2021, menaikannya menjadi 1,25 persen dari rekor terendah 0,1 persen.
Namun, Gubernur Bank of England Andrew Bailey pada Selasa (19/7) menyatakan bahwa "peningkatan 50 basis poin akan menjadi salah satu pilihan pada pertemuan berikutnya".
Selain inflasi, indeks harga eceran Inggris (RPI) juga naik menjadi 11,8 persen pada Juni 2022 dari 11,7 persen pada Mei 2022.Â
Sebagai informasi, indeks harga eceran penting di negara itu karena mencakup pembayaran bunga hipotek yang digunakan oleh serikat pekerja dan pengusaha ketika menegosiasikan kenaikan upah.
 "Ada banyak beban untuk anggaran rumah tangga karena tingkat inflasi yang tinggi terus melampaui pertumbuhan upah, menurunkan nilai pendapatan riil di seluruh Inggris," ungkap Yael Selfin, kepala ekonom di KPMG UK.
Â
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Di Antara Negara G7, IMF Sebut Pertumbuhan Ekonomi Inggris Bakal Paling Lambat
Inggris diprediksi akan melihat pertumbuhan ekonomi paling lambat dari negara anggota G7 tahun depan.
Hal itu diungkapkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF). Dilansir dari BBC, Rabu (27/7/2022) IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Inggris akan turun menjadi hanya 0,5 persen pada tahun 2023, jauh lebih rendah dari perkiraan awal pada bulan April sebesar 1,2 persen.Â
IMF juga menyebut, ekonomi global menyusut untuk pertama kalinya sejak tahun 2020, dihantam perang Rusia-Ukraina dan Covid-19.
Badan itu melanjutkan bahwa, dengan terhentinya pertumbuhan ekonomi di Inggris, AS, China, dan Eropa, dunia mungkin akan segera tertatih-tatih di tepi resesi global.
"Kami melihat bahwa masyarakat merasakan dampak kenaikan harga, yang disebabkan oleh faktor ekonomi global, yang dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina," kata juru bicara Kementerian Ekonomi dan Keuangan Inggris dalam sebuah pernyataan.
IMF pun juga memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global 2022 menjadi hanya 3,2 persen dan memperingatkan risiko perlambatan menjadi lebih parah.
Dikatakan harga yang naik cepat harus diperhatikan sebagian penyebab perlambatan ekonomi, dengan rumah tangga dan bisnis dibebani oleh biaya pinjaman yang tinggi karena pembuat kebijakan menaikkan suku bunga untuk menahan inflasi.
"Ekonomi global, yang masih belum pulih dari pandemi dan invasi Rusia di Ukraina, menghadapi prospek yang semakin suram dan tidak pasti," ungkap Ekonom Pierre-Olivier Gourinchas dalam sebuah blog yang menguraikan perkiraan ekonomi terbaru badan pemberi pinjaman internasional itu.
"Prospek telah menjadi gelap secara signifikan sejak April, di mana IMF terakhir kali mengeluarkan perkiraan," tambahnya.
Selain itu, orobabilitas resesi di negara-negara G7 seperti Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, AS, dan Inggris kini disebut berada di sekitar 15 persen. Angka ini hampir empat kali lebih tinggi dari biasanya.