Liputan6.com, Jakarta Sejumlah pelaku industri hasil tembakau (IHT) menilai, pengajuan proses revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan masih minim keterlibatan publik. Terutama dari pihak pelaku IHT yang akan menjadi objek utama kebijakan.
Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mengungkapkan upaya menggelar uji publik terkait Perubahan PP Nomer 109 Tahun 2012 cukup mengagetkan dan terkesan dipaksakan.
“Gappri dengan tegas menolak perubahan PP 109/2012. Pasalnya, kami melihat PP 109/2012 yang ada saat ini masih relevan untuk diterapkan,” ujar Ketua Umum Gappri Henry Najoan, dikutip Jumat (12/8/2022).
Advertisement
Henry Najoan beralasan, jika tujuan perubahan PP 109/2012 untuk menurunkan prevalensi perokok pada anak dan remaja dengan indikator prevalensi, seharusnya tidak perlu dilakukan mengingat data resmi pemerintah menunjukkan angka prevalensi sudah turun jauh bahkan sudah turun dari target pada 2024.
Henry Najoan menyebutkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional KOR (SUSENAS KOR) yang menyatakan bahwa prevalensi perokok anak terus menurun.
Dari 9,1 persen di tahun 2018, turun menjadi 3,87 persen di tahun 2019, turun lagi di tahun 2020 menjadi 3,81 persen, bahkan tinggal 3,69 persen di tahun 2021.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tak Pernah Diajak Komunikasi
Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo yang menegaskan bahwa uji publik revisi PP 109/2012 hingga akhir Juli lalu tanpa pernah ada komunikasi dengan pelaku IHT sebelumnya
“Semestinya uji publik ada untuk kita memberi masukan, tapi karena sebelumnya kami tidak pernah diajak berdiskusi, jadi secara prosedural kami tidak tahu apapun terkait prosesnya, dan tiba-tiba diundang untuk uji publik. Yang kami takutkan adalah kehadiran kami menjadi fait accompli, hanya untuk menjustifikasi bahwa kami sudah diajak diskusi, dan tiba-tiba disahkan. Padahal kami tidak setuju dengan poin-poin revisi yang diajukan,” jelasnya.
Tidak transparan dan minimnya partisipasi dari pelaku IHT dalam proses dinilai kembali mengulang kesalahan yang sama. Budidoyo pun menilai hal tersebut menjadi salah satu pertimbangannya dalam menolak revisi PP 109/2012, di samping secara substansial poin-poin revisi juga sangat memberatkan. Terlebih, impelementasi PP 109/2012 saat ini pun sudah cukup menekan IHT.
Melansir catatan Kementerian Keuangan, produktivitas rokok terus menurun sejak 2013. Sedikit banyak, PP 109/2012 juga memiliki pengaruh atas penurunan ini. Dengan pengendalian yang lebih eksesif, Budidoyo yakin revisi PP 109/2012 bakal mematikan IHT.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Petani Tembakau Tolak Revisi PP 109/2012, Ini Alasannya
Mata rantai ekosistem pertembakauan menyatakan secara tegas menolak Revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Pasalnya, revisi aturan ini dikhawatirkan akan mematikan industri rokok termasuki para petani.
Untuk diketahui bahwa ada empat poin utama Revisi PP 109 Tahun 2012 di antaranya berisi 90 persen larangan promosi, pembatasan produksi, pengaturan aktivitas tata niaga, hingga aktivitas konsumen, sementara mengabaikan hak masyarakat di dalam ekosistem pertembakauan itu sendiri.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno menegaskan seluruh petani sejak awal menolak adanya revisi PP 109/2012 karena akan berimbas pada mata pencahariaan 2,5 juta petani tembakau.
Petani sebagai kelompok marjinal yang paling sulit mendapat akses informasi terkait revisi regulasi ini, dipaksa untuk menyetujui beleid perubahan yang jelas-jelas berisi total pelarangan dan menambah beban terhadap sector tembakau.
"Revisi PP 109/2012 berniat membunuh 2,5 juta petani tembakau dan 1,5 juta petani cengkeh yang hidupnya bergantung pada ekosistem pertembakauan. Petani berhak mendapat perlindungan, diberi kesempatan untuk hidup layak dan sejahtera. Bukan dimatikan mata pencahariannya. Poin-poin yang disampaikan tidak valid,," tuturnya di Jakarta, Kamis (28/7/2022).
Sementara itu, Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau (AMTI) Budidoyo, menyatakan data terkait prelavalensi perokok anak yang menjadi justifikasi revisi aturan tersebut dinilai tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Dia menyebut, data resmi BPS menunjukkan bahwa persentase anak berusia 10-18 tahun yang merokok mencapai 9,65 persen pada 2018.
Angkanya kemudian menurun menjadi 3,87 persen pada setahun setelahnya. Pada 2020, persentase anak berusia 10-18 tahun yang merokok kembali merosot menjadi 3,81 persen,.
"Sejak awal kami secara tegas menolak dilakukannya revisi PP 109/2012 sebab memang tidak ada justifikasi untuk merevisi PP 109 karena argumentasi bahwa prevalensi perokok anak masih tinggi, tidak benar," tutup dia.
Curhat Petani, Selalu Dirugikan dari Kebijakan Tembakau
Campur tangan dan desakan kepentingan antitembakau asing dalam penyusunan kebijakan pertembakauan nasional membuat ekosistem industri hasil tembakau (IHT) terus terpuruk.
Petani tembakau dan legislator meminta pemerintah mengedepankan kepentingan nasional guna melindungi ekosistem pertembakauan.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno mengatakan, kebijakan-kebijakan pertembakauan yang terbit karena tekanan kelompok antitembakau seringkali bersifat sangat eksesif.
Antara lain kenaikan cukai yang sangat tinggi dan tidak terprediksi, yang dapat melemahkan seluruh segmen dalam ekosistem IHT. Berbagai kebijakan tersebut berdampak juga ke hulu mata rantai, serapan panen berkurang, serta penurunan produktivitas.
“Regulasi pertembakauan yang ditetapkan sangat eksesif, dan petani menjadi sasaran yang selalu dirugikan. Oleh karenanya, kami akan terus menolak FCTC dan segala bentuk kepentingan-kepentingan dari luar yang ingin mengendalikan IHT di dalam negeri,” ungkapnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (25/7/2022).
Saat ini, pengaruh dan tekanan kelompok antitembakau asing juga mulai merembet ke sejumlah LSM lokal yang menjadi perpanjangan tangan kepentingan-kepentingan tersebut.
Dalam kesempatan serupa, anggota Komisi IX DPR RI Yahya Zaini menjelaskan, jejaring kelompok antitembakau ini tak hanya mengintervensi kebijakan makro, melainkan juga melakukan kampanye-kampanye hitam terhadap ekosistem IHT untuk mendorong kebijakan antitembakau di tingkat daerah.
“LSM-LSM di lokal ini juga misalnya mendorong penerapan Perda KTR (Kawasan Tanpa Rokok). Saat ini yang paling berat ada pada dorongan penerapan Perda KTR DKI Jakarta. Kita harus bersatu dan kompak, karena dorongan Perda KTR ini tidak murni dari pemerintah daerah, ada desakan asing. Kami di DPR memiliki bukti bagaimana Bloomberg (Philanthropies) memengaruhi penerbitan perda-perda KTR,” jelas Yahya.
Yahya juga mendorong para pelaku dalam ekosistem IHT untuk aktif berjuang dan kritis, baik dari aspek politik, hukum, dan juga sosial. Ini dibutuhkan untuk menangkal tekanan-tekanan kelompok antitembakau asing dalam mendorong kebijakan pertembakauan yang tidak berpihak pada IHT nasional.
Advertisement