Liputan6.com, Jakarta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada bulan Juli 2022 mengalami surplus sejumlah Rp 106,1 Triliun. Hal tersebut diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita, pada Kamis 11 Agustus 2022 lalu.
Sebelumnya, pada bulan Juni 2022 APBN juga dalam posisi yang surplus sejumlah Rp 73,6 Triliun. Terdapat kenaikan surplus APBN selama satu bulan sejumlah Rp 32,5 Triliun atau sebesar 44,15 persen.
Baca Juga
Dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun 2021 lalu yang defisit Rp 336,9 Triliun atau sebesar 2,04 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), maka memang mencerminkan sesuatu yang positif di satu sisi.
Advertisement
"Ibaratnya adalah seorang yang punya uang berlebih tapi tidak mampu membelanjakan barang/jasa yang dibutuhkan, padahal kebutuhan sehari-hari itu ada dan belum dicukupi," kata Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (15/8/2022).
"Namun demikian, disisi yang lain surplus APBN tidak bisa dinilai sebagai sebuah prestasi sedangkan defisit jelas sebagai sesuatu yang buruk dalam mengelola keuangan negara," lanjut dia.
Menurut Defiyan, surplus pun bukan sesuatu hal yang positif disebabkan tidak terjadinya percepatan dalam pembelanjaan pembangunan sementara pendapatan negara dari sumber pajak mengalami peningkatan.
"Kecepatan dalam pengeluaran pendapatan negara dalam mengakselerasi peningkatan konsumsi untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi tampak tidak terjadi selama Triwulan II Tahun 2022," jelas dia.
Dalam teori ekonomi makro, lanjut Defiyan, surplus ini merupakan bentuk dari ketidakefektifan dan ketidakefisienan otoritas ekonomi dan moneter dalam melakukan akselerasi program-program pembangunan, apalagi ditambah dengan terjadinya pengendapan dana pada Pemerintah Daerah di bulan Juni 2022 sejumlah Rp220,95 triliun.
Artinya, koordinasi perencanaan pembangunan dan pelaksanaan (eksekusi) anggaran dalam mendanai program pembangunan antar pemerintah pusat dan daerah mengalami permasalahan.
"Jika, surplus ini tidak terlalu besar, maka kontribusi sektor konsumsi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada TW II/2022 akan bisa lebih besar dari 5,44 persen, minimal bisa mencapai 5,7-5,9 persen dengan asumsi kontribusi sektor konsumsi sama dengan TW II/2021 yang sebesar 3,17 persen," tutup dia.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Mantap! APBN 2022 Surplus 7 Bulan Berturut-turut
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mencatat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini surplus selama tujuh bulan berturut-turut, dan pada Juli 2022 surplus Rp 106,1 triliun.Â
"Coba kita lihat tahun lalu pada bulan Juli kita sudah defisit Rp 336,7 triliun. Sekarang masih surplus Rp 106 triliun, itu pembalikan lebih dari Rp 340 triliun lebih hanya dalam waktu 12 bulan," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, dikutip Jumat (12/8/2022).
Menkeu merinci, pendapatan negara diperoleh Rp 1.551 triliun dan belanja negara Rp 1.444,8 triliun. Pendapatan negara tumbuh 21,2 persen (year on year) dan belanja negara naik 13,7 persen (Year on year).
Adapun realisasi surplus ini setara 0,57 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Lebih lanjut Menkeu menjelaskan, sebetulnya APBN tahun 2022 didesain negatif atau defisit 4,5 persen dari GDP.Â
Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022. Ternyata, hingga posisi Juli APBN mencatatkan surplus, Menkeu pun bersyukur dengan kondisi tersebut.
"Ini hal yang cukup kita syukuri dan kita masih memiliki SiLPA Rp 302,8 triliun," ujar Menkeu.
Sama halnya dengan keseimbangan primer juga surplus Rp 316,1 triliun. Jika dibandingkan dengan tahun lalu defisit alias negatif sebesar Rp 143,4 triliun, justru kondisi keseimbangan primer saat ini mengalami perbaikan Rp 450 triliun dalam waktu 12 bulan.
"Ini menggambarkan APBN kita menjadi relatif posisinya sehat atau kembali pulih kembali, sesudah bekerja sangat keras dan masih bekerja sangat keras sekarang melindungi dari shock harga-harga," jelas Menkeu.
Demikian, Menkeu mengatakan kinerja APBN yang sangat baik di semester I 2022 menjadi bekal untuk APBN sebagai shock absorber.Â
"Pembayaran subsidi kompensasi yang akan dilakukan di semester II menjadi lebih bisa diamankan karena kita memiliki posisi yang relatif masih surplus," pungkas Menkeu.  Â
Â
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Sejauh Apa APBN Bisa Beri Subsidi?
Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) tidak selamanya bisa menekan laju inflasi di Tanah Air. Hal tersebut diungkap oleh Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara.
Ia menjelaskan, selama ini pemerintah menggunakan APBN untuk memberikan subsidi energi dan lainnya. Dengan adanya subsidi ini maka akan menahan laju inflasi dan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi.
"Jadi kalau APBN bisa absorber ya kita lakukan tapi ini tidak boleh selamanya," kata Suahasil dalam Talkshow bertajuk: Laju Pemulihan RI Di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global, Jakarta, Selasa, (9/8/2022).
Suahasil menjelaskan APBN menjadi syok absorber dengan batasan tertentu. Dalam batasan ini APBN tetap dijaga agar pelebaran defisitnya tidak bertambah, sebaliknya bisa terus ditekan.
"Ini harus dalam batasan yang baik dan ekonomi secara bertahap dibuka dan APBN disehatkan," kata dia.
Penyehatan APBN dilakukan dengan menurunkan intensitas penggunaanya. Pelebaran defisit harus kembali sesuai aturan dibawah 3 persen mulai tahun depan.
Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan diri kalau dalam waktu mendesak APBN harus kembali maju dan menyelesaikan permasalahan yang mungkin terjadi di masa depan.
"Defisit APBNÂ tinggi boleh tapi harus dalam situasi yang sangat kritis seperti tahun 2020 lalu," kata dia.
Peran Dikurangi
Namun, saat ini ekonomi Indonesia sudah makin membaik. Tercermin dari pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2022 yang sudah mencapai 5,44 persen. Sehingga sudah saatnya peran APBN dalam mendorong pemulihan ekonomi dikurangi.
"APBN ini kita turunkan intensitas kerjanya dan APBN akan bersiap-siap kalau harus menangani situasi krisis lainnya. Ini lah siklus APBN yang kita lakukan," kata dia.
Sebagaimana diketahui, belanja subsidi dan kompensasi listrik dan bahan bakar minyak (BBM) tahun ini bengkak hingga Rp 502 triliun. Naiknya belanja pada pos anggaran ini dilakukan dalam upaya menekan kenaikan inflasi yang bisa mengganggu momentum pemulihan ekonomi nasional yang sedang berlangsung.
Selain itu, selama 2 tahun berturut-turut, APBN menjadi penggerak utama perekonomian nasional di awal pandemi terjadi. Pemerintah menggunakan APBN untuk berbagai keperluan, mulai dari penangan pandemi di sektor kesehatan hingga sektor sosial dan ekonomi.
Defisit APBN juga diperlebar. Pada tahun 2020 defisit APBN tercatat sebesar 5,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kemudian di tahun 2021 mengalami perbaikan dengan defisit 4,65 persen dari PDB. Sementara itu, tahun ini pemerintah berupaya menekan defisit 3,9 persen dari PDB.Â
Advertisement