Sukses

Ketua MPR Minta Pemerintah Siaga Hadapi Badai Inflasi

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, mengatakan kenaikan inflasi dapat menjadi ancaman bagi perekonomian nasional.

Liputan6.com, Jakarta Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, mengatakan kenaikan inflasi dapat menjadi ancaman bagi perekonomian nasional. Badan Pusat Statistik mencatat, bahwa per Juli 2022, laju inflasi Indonesia berada di level 4,94 persen, dan pada bulan Agustus diprediksi akan meningkat pada kisaran 5 hingga 6 persen.

Hal itu disampaikan Bambang dalam Pidato Presiden RI pada Sidang Tahunan MPR-RI dan Sidang bersama DPR RI dan DPD RI tahun 2022, Selasa (16/8/2022).

"Bahkan pada bulan September 2022, kita diprediksi akan menghadapi ancaman hiper-inflasi, dengan angka inflasi pada kisaran 10 hingga 12 persen," kata Bamsoet.

Bambang menjelaskan, laju kenaikan inflasi, disertai dengan lonjakan harga pangan dan energi, semakin membebani masyarakat, yang baru saja bangkit dari pandemi Covid-19. Lonjakan harga minyak dunia pada awal April 2022 diperkirakan mencapai USD 98 per barel.

“Angka ini jauh melebihi asumsi APBN 2022 sebesar USD 63 per barel. Di sisi lain, beban subsidi untuk BBM, Pertalite, Solar, dan LPG, sudah mencapai Rp. 502 triliun,” katanya.

Kenaikan harga minyak yang terlalu tinggi, tentunya akan menyulitkan Pemerintah Indonesia dalam mengupayakan tambahan subsidi, untuk meredam tekanan inflasi. Tidak ada negara yang memberikan subsidi sebesar itu.

 

2 dari 4 halaman

Ancaman Krisis di Depan Mata

Sebelumnya, kata Bambang, Presiden Jokowi mengingatkan, bahwa ancaman krisis global kini ada di depan mata. Saat ini, sekitar 320 juta penduduk dunia berada dalam kondisi kelaparan akut.

Menurut data IMF dan Bank Dunia, perekonomian 66 negara diprediksi akan bangkrut dan ambruk. Perlambatan dan kontraksi pertumbuhan ekonomi global, semakin diperburuk oleh tingginya kenaikan inflasi.

Namun, berkat kesigapan Pemerintah dalam menyikapi ancaman krisis, dari hasil survei Bloomberg, Indonesia dinilai sebagai negara dengan resiko resesi yang kecil, hanya tiga persen, sangat jauh jika dibandingkan dengan rata-rata negara Amerika dan Eropa, yang mencapai 40 hingga 55 persen, ataupun negara Asia Pasifik pada rentang antara 20 hingga 25 persen.  

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

Sri Mulyani: Yang Perlu Kita Waspadai Inflasi

Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan pemerintah perlu mewaspadai kenaikan inflasi di dalam negeri. Utamanya inflasi yang didorong kenaikan harga pangan dan harga energi yang ditetapkan pemerintah.

"Yang perlu kita waspadai dari Indonesia adalah inflasi," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers, APBN KiTa, Jakarta Pusat, Kamis (11/8).

Bendahara negara ini menuturkan saat ini inflasi yang disebabkan harga pangan telah mencapai 11,5 persen. Padahal dari sisi fiskal, pemerintah telah berupaya untuk menekan laju inflasi pangan.

"Melalui kebijakan subsidi dan juga dari sisi makanan dilakukan langkah-langkah dari pemerintah untuk mengamankan sektor pangan," kata dia.

Sementara itu inflasi dari harga yang telah ditetapkan pemerintah tidak bisa lagi dikendalikan. Meskipun harga BBM pertalite, solar, LPG 3 kilogram dan listrik masih ditahan, namun hal ini tidak bisa menghindarkan terjadinya kenaikan inflasi.

Sektor transportasi seperti tiket pesawat tetap mengalami kenaikan. "Sehingga ini terlihat dari inflasi pada sisi administered price di 6,5 persen," kata dia.

 

4 dari 4 halaman

Sektor Energi

Lebih lanjut dia menjelaskan, inflasi di sektor energi ini berdampak pada beberapa barang yang tarifnya diatur pemerintah. Pemerintah pun telah menggelontorkan anggaran hingga Rp 502,4 triliun untuk membayar subsidi dan kompensasi energi tahun ini.

Namun tetap saja pemerintah masih kewalahan meredam lonjakan harga global agar tidak berdampak ke tingkat masyarakat.

"(Inflasi dari) energi kemudian diterjemahkan dalam beberapa barang-barang yang diatur tarifnya oleh pemerintah atau harganya, namun tidak semuanya bisa kita tahan," kata dia.

Di sisi lain, inflasi inti yang per Juli 2022 berada di level 2,9 persen. Hal ini menunjukan adanya tren pemulihan ekonomi yang semakin kuat dari permintaan. Tercermin dari konsumsi dan kinerja ekspor yang meningkat, termasuk investasi mengalami tren pemulihan.

"Inilah yang jadi perhatian Bank Indonesia terutama pada pengelolaan inflasi di Indonesia. Faktor-faktor yang mengkontribusi atau memberikan sumbangan terhadap inflasi dan respons kebijakan, terutama dari sisi moneter," tuturnya.