Sukses

Mudik Lebaran dan THR jadi Motor Pemulihan Daya Beli Masyarakat

Pertumbuhan ekonomi Indonesia didukung konsumsi rumah tangga yang tumbuh solid.

Liputan6.com, Jakarta Ketidakpastian global akibat krisis multidimensi The Perfect Storm dan ditandai dengan koreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2022 oleh IMF yang menurun dari angka 3,6 persen menjadi 3,2 persen menimbulkan beragam tantangan.

Namun, ekonomi nasional justru kian menunjukkan perbaikan yang aktraktif dengan keberhasilan penanganan pandemi serta kian menguatnya berbagai leading indicator perekonomian nasional.

Menguatnya ekonomi nasional tersebut ditandai dengan capaian pertumbuhan ekonomi pada Q2-2022 yang tumbuh 5,44 persen (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan capaian Q1-2022 yang sebesar 5,01 persen (yoy).

Dilihat dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi tersebut didukung konsumsi rumah tangga yang tumbuh solid sebesar 5,51 persen dan kinerja ekspor yang tumbuh sebesar 19,74 persen.

Sedangkan dari sisi sektoral, transportasi pergudangan menjadi sektor dengan pertumbuhan tertinggi yakni sebesar 21,27 persen karena pulihnya mobilitas masyarakat akibat penanganan pandemi semakin baik.

“Salah satu kunci terkendalinya pandemi dan tumbuhnya ekonomi di Indonesia adalah keberanian kita dalam memutuskan mudik lebaran kemarin dimana kita memberikan kesempatan libur 10 hari penuh dan didukung teman-teman dunia usaha yang sudah memberikan THR sehingga dengan pemberian libur panjang beserta modalnya maka daya beli kita akan terangkat,” ungkap Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso pada saat menyampaikan keynote speech dalam acara Indonesia Retail Summit 2022, dikutip Rabu (16/8/2022).

Lebih lanjut, Sesmenko Susiwijono menjelaskan bahwa indikator sektor eksternal relatif baik dan terkendali yang ditunjukkan dengan konsistensi suplus neraca perdagangan selama 27 bulan berturut-turut dengan nilai capaian tertinggi sepanjang sejarah pada bulan April 2022 yakni sebesar USD 7,56 miliar.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Cadangan Devisa

Selain itu, cadangan devisa juga berada pada level yang tinggi yakni pada angka 132,2 atau setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor, serta rasio utang luar negeri yang masih terjaga pada level yang aman.

Selain dari indikator eksternal, berbagai leading indicator lain juga mengalami perbaikan seperti Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang berada pada angka 128,2 per Juni 2020 sehingga menunjukkan optimisme konsumen yang tinggi pada perekonomian nasional.

Selanjutnya Purchasing Managers’ Index juga masih terjaga pada angka yang cukup tinggi yakni 51,3. Pertumbuhan kredit juga memperlihatkan angka yang impresif yakni sebesar 7,68 persen  (yoy) untuk kredit modal kerja dan 5,59 persen (yoy) untuk kredit investasi.

Di samping itu, indikator yang cukup penting lainnya adalah penjualan ritel yang tumbuh tinggi sebesar 15,42 persen (yoy) sehingga menunjukkan daya beli masyarakat yang kembali pulih pasca pandemi.

“Ritel menjadi indikator utama untuk melihat bagaimana leading indicators makro berjalan, salah satunya dengan memperhatikan bagaimana harga ritel dan perkembangannya disamping berbagai indikator yang lain, angka-angka tersebut sangat penting di tengah berbagai ketidakpastian global yang memang betul-betul masih di depan mata namun kita relatif bisa mengendalikannya,” ungkap Sesmenko Susiwijono.

Terkait dengan penjualan ritel tersebut, meskipun telah mengalami peningkatan yang cukup tinggi, masih terdapat berbagai tantangan dan kekurangan yang harus diatasi seperti kesiapan pelaku usaha dalam mengatasi keseimbangan antara supply dan demand.

Hal ini karena masih banyak ditemui pelaku usaha ritel yang menetapkan target supply setara dengan kondisi di kala pandemi namun dari sisi demand telah kembali normal sehingga terjadi gap diantaranya. Selain itu, disrupsi rantai pasok juga perlu untuk diwaspadai pelaku usaha terlebih terdapat beberapa negara mitra dagang Indonesia yang mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi cukup mendalam hingga saat ini. 

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

Target Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah Kurang Optimistis

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2023 pada level 5,3 persen. Angka ini mencerminkan sikap pemerintah yang kurang optimis. Di mana sebelumnya pertumbuhan ekonomi tahun depan diperkirakan mencapai 5,9 persen.

“Untuk tahun depan pertumbuhan ekonominya masih mentok di kisaran 5 persen. Pemerintah sepertinya kurang optimis karena tidak menempatkan target di angka 5,9 persen,” kata Ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus dalam Diskusi Publik INDEF, Selasa (16/8/2022).

Hal senada diutarakan Direktur INDEF, Tauhid Ahmad yang menyimpulkan bahwa pemerintah mengambil preferensi batas bawah dari perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun depan pada kisaran 5,3—5,9 persen. Menurutnya, perkiraan itu mengindikasikan kondisi ekonomi Indonesia tahun depan masih diselimuti ketidakpastian

“Tahun depan tampaknya masih jadi tahun yang kritis dibayangi krisis Rusia ditujukan dengan ICP sekitar USD 90 per barel dan bayang-bayang inflasi 3,3 persen pada 2023,” kata Tauhid.

Di sisi lain, Ekonom CORE Indonesia, Piter Abdullah menilai pertumbuhan ekonomi 5,3 persen bukan PR besar bagi pemerintah. Pasalnya, ketahanan ekonomi Indonesia saat ini lebih ditopang oleh konsumsi dan investasi.

“Konsumsi secara naturalnya tumbuh di kisaran 5 persen dan akan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen juga. Artinya, tidak diperlukan extra effort utk mengejar pertumbuhan 5,3 persen di tahun depan,” kata Piter saat dihubungi Liputan6.com dalam kesempatan berbeda.

Adapun faktor penting yang perlu dijaga yakni terkait bagaimana mempertahankan momentum pemulihan ekonomi. Kemudian menjaga agar pandemi tidak kembali merebak hingga menyebabkan pengetatan. Di saat bersamaan, pemerintah perlu menjaga dan memastikan sistem keuangan negara tidak terganggu oleh normalisasi kebijakan dan gejolak global.