Sukses

Covid-19 Hambat Ekonomi China, Perusahaan Kakap Alibaba dan Tencent Perketat Pinggang

Perusahaan e-commerce dan media sosial terbesar di China Alibaba dan Tencent melihat perlambatan pendapatan ketika Covid-19 menghambat ekonomi negara itu.

Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan e-commerce terbesar di China, Alibaba dan media sosial Tencent merasakan efek dari perlambatan ekonomi yang disebabkan oleh wabah terbaru Covid-19 di China, yang berdampak pada belanja konsumen hingga anggaran iklan.

Kedua perusahaan besar itu melaporkan perlambatan pendapatan untuk pertama kalinya di kuartal kedua 2022. 

Dilansir dari CNBC International, Senin (22/8/2022) Tencent membukukan penurunan pendapatan kuartalan year-on-year untuk pertama kalinya.

Karena pendapatan tetap berada di bawah tekanan, baik Alibaba maupun Tencent disebut lebih disiplin saat ini dalam pendekatan mereka terhadap pengeluaran.

"Selama kuartal kedua, kami secara aktif keluar dari bisnis non-inti, memperketat pengeluaran pemasaran kami, dan memangkas biaya operasional," ungkap CEO Tencent Ma Huateng kepada analis.

"Ini memungkinkan kami untuk meningkatkan pendapatan secara berurutan meskipun dalam kondisi yang sulit," jelasnya. 

Adapun Presiden Tencent Martin Lau yang mengatakan bahwa perusahaannya keluar dari bisnis non-inti seperti pendidikan online, e-commerce, dan game dari layanan streaming langsung.

Perusahaan juga memperketat pengeluaran pemasaran dan mengurangi area investasi yang rendah seperti akuisisi pengguna. Beban penjualan dan pemasaran Tencent turun 21 persen YoY di kuartal kedua.

Jumlah karyawan perusahaan yang berkantor pusat di Shenzhen juga turun hingga 5.000 personel dibandingkan kuartal pertama.

Sementara itu, Chief strategy officer di Tencent yakni James Mitchell meyakini bahwa dengan inisiatif ini ditambah investasi di area baru, perusahaan dapat "mengembalikan bisnis ke pertumbuhan pendapatan year-on-year, bahkan jika lingkungan makro tetap seperti sekarang ini dan bahkan jika pertumbuhan pendapatan tetap datar".

2 dari 4 halaman

Covid-19 Hambat Ekonomi China, Alibaba Potong Biaya Pengeluaran

Sementara itu Alibaba juga melakukan pemotongan biaya pengeluaran awal tahun ini, ketika penyebaran Covid-19 masih menghantui China.

"Pada kuartal mendatang dan sisa tahun fiskal ini, kami akan terus mengejar strategi optimalisasi biaya dan pengendalian biaya," ungkap Toby Xu, chief financial officer di Alibaba, selama pembicaraan soal pendapatan perusahaan bulan ini.

Toby Xu juga mengatakan raksasa e-commerce China itu telah berupaya memperkecil kerugian di beberapa bisnis strategisnya.

Profesor hukum di New York University, Winston Ma mengatakan kepada CNBC melalui pesan email bahwa Alibaba dan Tencent perlu mengambil tindakan penyeimbangan yang rumit untuk meyakinkan investor bahwa meskipun biaya sedang dipotong, mereka masih berinvestasi di masa depan.

"Bagi mereka untuk kembali ke jalur pertumbuhan pendapatan, optimalisasi biaya saja tidak cukup. Mereka perlu menemukan pendorong pertumbuhan baru," ucap Winston Ma.

Alibaba telah berfokus untuk meningkatkan bisnis komputasi awannya, sebuah area yang diyakini oleh para eksekutif dan investor sebagai kunci untuk profitabilitas yang lebih baik di perusahaan di masa depan.

Cloud pun menjadi area dengan pertumbuhan pendapatan tercepat di Alibaba pada kuartal kedua 2022.

Sementara itu, Tencent berbicara tentang potensi iklan dalam fitur video pendek WeChat untuk menjadi sumber pendapatan "substansial" di masa depan. Diketahui bahwa Tencent menjalankan WeChat, aplikasi perpesanan terbesar di China dengan lebih dari satu miliar pengguna.

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

Ekonomi Lesu, Perdana Menteri China Desak 6 Provinsi Terkaya Bantu Tingkatkan Pertumbuhan

Perdana Menteri China Li Keqiang meminta 6 provinsi terkaya di negara itu untuk menawarkan dukungan ekonomi China dalam upaya meningkatkan pertumbuhan.

Provinsi-provinsi ini meliputi Guangdong, Jiangsu, Zhejiang, Shandong, Henan dan Sichuan - yang menyumbang sekitar 40 persen dari output ekonomi China.

China, telah melihat perlambatan konsumsi dan output secara tak terduga di bulan Juli 2022, imbas dampak lockdown dan pembatasan terkait Covid-19.

"Rasa urgensi harus diperkuat untuk mengkonsolidasikan fondasi bagi pemulihan ekonomi," kata PM Li Keqiang dalam pertemuan daring dengan pejabat senior 6 provinsi China, dikutip dari BBC, Kamis (18/8/2022).

Li Keqiang menyebut, maski ada fluktuasi kecil pada ekonomi China meski sudah menunjukkan pemulihan, masih ada flu.

Pemerintah akan mengambil lebih banyak langkah untuk meningkatkan konsumsi dan memperluas investasi yang efektif, tambah Li.

Diketahui bahwa kebijakan nol-Covid-19 telah secara tajam memperlambat pertumbuhan ekonomi China pada kuartal kedua tahun ini.

Dalam langkah yang jarang terjadi, bank sentral China memangkas suku bunga pinjaman pada Senin (15/8) untuk memungkinkan permintaan kembali datang.

Dalam tiga bulan hingga akhir Juni 2022, Produk domestik bruto (PDB) China turun 2,6 persen.

Indikator ekonomi utama menunjukkan China mengalami kesulitan meredakan dampak lockdown terhadap bisnis manufaktur dan ritelnya.

Pada bulan Juli, penjualan ritel di China naik hanya 2,7 persen dibandingkan tahun lalu. Angka terbaru juga menunjukkan jumlah pengangguran di antara usia muda berada pada rekor tertinggi.

Adapun penurunan pada investasi properti hingga 12,3 persen bulan lalu, tingkat tercepat tahun ini, ketika China menghadapi krisis sektor properti.

4 dari 4 halaman

Nomura dan Goldman Sachs Kembali Pangkas Proyeksi Ekonomi China 2022

 Goldman Sachs dan Nomura kembali menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi China, di tengah ketidakpastian yang dipicu dari kebijakan nol-Covid-19 dan krisis energi.

Dilansir dari CNBC International, Jumat (19/8/2022) Goldman Sachs menurunkan proyeksi ekonomi China dalam setahun penuh 2022 menjadi 3,0 persen dari semula 3,3 persen.

Sementara Nomura memangkas proyeksi ekonomi China setahun penuh menjadi 2,8 persen dari 3,3 persen.

Pemotongan tersebut mewakili pesimisme yang berkelanjutan di antara bank-bank investasi atas target pertumbuhan resmi ekonomi China sebesar 5,5 persen.

Namun pada Juli 2022, pejabat China mengindikasikan ekonomi negara itu mungkin tidak akan mencapai target PDB tahun ini.

Terkait proyeksi terbarunya, ekonomGoldman Sachs mengutip data ekonomi terbaru untuk bulan Juli serta kendala energi jangka pendek karena gelombang panas yang ekstrim di China.

Seperti diketahui, China menjadi salah satu negara yang menghadapi gelombang panas terburuk dalam beberapa dekade. Masalah iklim ini membebani pasokan listrik yang sudah tertekan dan menyebabkan pengurangan produksi di beberapa wilayah negara itu.

Ekonom dari Goldman dan Nomura juga mencatat kenaikan kasus Covid-19 secara nasional serta kontraksi investasi properti yang membuat minat investasi surut.

Pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi China datang setelah People's Bank of China secara tak terduga memangkas dua suku bunga - pinjaman kebijakan jangka menengah dan alat likuiditas jangka pendek - untuk kedua kalinya tahun ini.

Nomura dan Goldman sama-sama mencatat bahwa respons stimulus Beijing mungkin sangat terbatas.

“Berbeda dengan kekhawatiran beberapa orang tentang terlalu banyak stimulus kebijakan di semester kedua, risiko sebenarnya adalah bahwa dukungan kebijakan Beijing mungkin terlalu sedikit, terlambat dan tidak begitu efisien,” kata Nomura.

Goldman Sachs mengatakan, penurunan suku bunga yang mengejutkan tidak selalu menandakan awal dari pelonggaran yang lebih agresif, menambahkan bahwa pembuat kebijakan tidak hanya menghadapi kendala ekonomi, tetapi juga politik.

"Fokus mereka saat ini kemungkinan adalah membendung risiko penurunan lebih lanjut dan memastikan lapangan kerja dan stabilitas sosial menjelang Kongres Partai ke-20," sebut Goldman.