Liputan6.com, Jakarta - Ekonom memprediksi Federal Reserve akan sulit menjinakkan inflasi tanpa melindungi ekonomi Amerika Serikat dari jurang resesi.
Prediksi resesi AS diungkapkan dalam survey yang dilakukan asosiasi ekonom internasional terbesar, National Association of Business Economics (NABE).
Baca Juga
Dilansir dari CNN Business, Selasa (23/8/2022) 72 persen ekonom yang disurvei NABE melihat resesi AS berikutnya akan terjadi pada pertengahan tahun depan, jika belum dimulai.
Advertisement
Temuan itu mencakup hampir satu dari lima ekonom (19 persen) yang mengatakan ekonomi AS sudah dalam resesi, sebagaimana ditentukan oleh organisasi penelitian swasta Amerika, NBER.
Sementara itu, 20 persen ekonom lainnya tidak memperkirakan resesi akan terjadi sebelum paruh kedua tahun depan.
"Hasil survei mencerminkan banyak pendapat yang berbeda di antara para panelis," kata Presiden NABE David Altig dalam sebuah pernyataan.
"Ini dengan sendirinya menunjukkan ada kejelasan yang kurang dari biasanya tentang prospek," ungkapnya.
Survei NABE, yang dilakukan antara 1 Agustus dan 9 Agustus, menampilkan tanggapan dari 198 anggota asosiasi ekonom tersebut.
Bulan lalu, Ketua Fed Jerome Powell menyatakan dalam konferensi pers bahwa masih ada jalan untuk mengendalikan inflasi tanpa memicu penurunan.
Namun, bahkan Powell mengakui bahwa jalan itu semakin sempit karena The Fed terpaksa menggunakan kenaikan suku bunga drastis untuk menurunkan inflasi.
Hampir tiga dari empat peramal ekonomi, atau 73 persen dalam survei NABE mengatakan mereka sama sekali tidak yakin atau tidak terlalu yakin bahwa The Fed dapat menurunkan inflasi kembali ke sasaran 2 persesn tanpa menyebabkan resesi dalam dua tahun ke depan.
Hanya 13 persen ekonom yang disurvei NABE mengatakan mereka yakin atau sangat yakin The Fed dapat melakukan langkah tersebut.
Survei : 66 Persen Warga AS Khawatir Resesi Sudah Dekat
Ketika para ahli memperdebatkan apakah Amerika Serikat (AS) berada di ambang kemerosotan ekonomi, banyak orang di negara itu sudah mempersiapkan diri untuk resesi.
Dilansir dari CNBC International, Selasa (2/8/2022) survei yang dilakukan oleh Allianz Life Insurance Company of North America mengungkapkan 66 persen orang di AS khawatir resesi besar sudah dekat. Angka itu menandai kenaikan dari 48 persen terkait kekhawatiran serupa tahun lalu.
Allianz Life melakukan survei online pada bulan Juni 2022 dan mensurvei lebih dari 1000 individu. Survei Allianz menemukan, salah satu alasan terbesar akan kekhawatiran ini dipicu dari inflasi yang tinggi, yang telah mendorong harga barang dan jasa semakin mahal.
Selain itu, survei ini juga 82 persen khawatir inflasi akan berdampak negatif pada daya beli mereka dalam enam bulan ke depan. Jumlah responden yang sama juga mengatakan mereka memperkirakan inflasi akan memburuk selama 12 bulan ke depan.
Sementara itu, 71 persen menyebut upah mereka tidak sejalan dengan kenaikan biaya.
Pekan lalu, data yang dirilis oleh Departemen Perdagangan AS semakin memicu kekhawatiran penurunan ekonomi, dengan produk domestik bruto Amerika menurun untuk kuartal kedua berturut-turut, menandai sinyal resesi.
Produk domestik bruto AS turun 0,9 persen pada kuartal kedua 2022 secara tahunan (year-on-year).
Namun, Gedung Putih dengan cepat membantah bahwa AS sudah masuk resesi, dengan Presiden Joe Biden mengutip angka pengangguran yang rendah, di antara faktor-faktor lainnya.
Advertisement
Ekonomi Terkontraksi 0,9 Persen di Kuartal Kedua 2022, Amerika Sudah Resesi?
Ekonomi Amerika Serikat mengalami kontraksi di kuartal kedua 2022. Produk domestik bruto AS turun 0,9 persen pada kuartal kedua 2022 secara tahunan (year-on-year).
Dilansir dari CNBC International, Jumat (29/7/2022), angka ini mengikuti penurunan penurunan 1,6 persen di kuartal pertama dan lebih rendah dari perkiraan Dow Jones untuk kenaikan 0,3 persen.
Diketahui bahwa, secara resmi, Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) adalah lembaga yang secara resmi menyatakan resesi, yang biasanya terjadi setelah berbulan-bulan penelitian dan perdebatan; namun definisi tradisional adalah ketika ekonomi berkontraksi selama dua kuartal berturut-turut.
Penurunan PDB ini berasal dari berbagai faktor, termasuk berkurangnya persediaan, penurunan investasi perumahan dan non-perumahan, serta pengeluaran pemerintah di tingkat federal, negara bagian dan lokal.
Di sisi lain, meski PDB menunjukkan penurunan selama dua kuartal berturut-turut, Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan bahwa ekonomi negaranya berada dalam keadaan transisi, bukan resesi.
Namun Yellen menyebut, AS tengah melihat pelemahan ekonomi yang luas yang mencakup PHK besar-besaran, penutupan bisnis, ketegangan dalam keuangan rumah tangga dan perlambatan aktivitas sektor swasta.
"(Resesi) itu bukan apa yang kita lihat sekarang,” katanya dalam sebuah konferensi pers.
"Ketika Anda melihat ekonomi, penciptaan lapangan kerja terus berlanjut, keuangan rumah tangga tetap kuat, konsumen belanja dan bisnis tumbuh," ujarnya.
"Kami telah memasuki fase baru dalam pemulihan kami yang berfokus pada pencapaian pertumbuhan yang stabil tanpa mengorbankan keuntungan dari 18 bulan terakhir," lanjut Yellen.
"Kami tahu ada tantangan di depan kami. Pertumbuhan melambat secara global. Inflasi tetap sangat tinggi, dan merupakan prioritas utama pemerintahan ini untuk menurunkannya," tambah dia.