Sukses

Sri Mulyani: Subsidi Energi Perlu Ditambah Lagi

Subsidi energi perlu ditambah sebagai konsekuensi yang diambil pemerintah untuk menahan kenaikan harga BBM bersubsidi serta tarif listrik.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah menambah anggaran subsidi energi di tahun ini menjadi total Rp 502 triliun. Anggaran tersebut untuk listrik, Bahan Bakar Minyak (BBM) dan juga gas. Namun diperkirakan meskipun sudah ditambah masih akan tetap kurang. 

"Dengan harga minyak dunia yang terus menerus tinggi, anggaran Rp 502 triliun diperkirakan akan habis dan masih belum mencukupi," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat bersama Badan Anggaran DPR-RI di Kompleks DPR-MPR, Jakarta, Selasa (23/8/2022).

Hal ini terjadi karena konsumsi masyarakat mengalami peningkatan. Oleh karena itu, dengan sisa paruh kedua tahun ini masih diperlukan tambahan lagi.

"Kita memperkirakan apabila laju konsumsi seperti yang terjadi pada 7 bulan terakhir ini, maka Rp 502 triliun akan habis dan masih akan ada tambahan lagi," kata dia.

Kebijakan tersebut kata Sri Mulyani sebagai akibat dari konsekuensi yang diambil pemerintah untuk menahan kenaikan harga BBM bersubsidi serta tarif listrik.

"Kebijakan tersebut adalah konsekuensi dari kebijakan tidak menyesuaikan harga bbm dan listrik, serta tidak ada kenaikan harga minyak dari kenaikan BBM yang diatur pemerintah," tuturnya.

Padahal di tingkat global harga minyak dunia (ICP) terus merangkak naik. Namun, pemerintah mengambil keputusan untuk menahan dampak kenaikan tersebut menggunakan instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Semenentara harga ICP dalam perekonomian global terus mengalami kenaikan, inilah yang disebut sebagai shock absorber. APBN mengabsorb syok yang sangat besar yang berasal dari kenaikan BBM atau ICP yang terjadi secara global," kata dia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

DPR Akui Subsidi BBM Sangat Memberatkan APBN

Sebelumnya, beban APBN untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) diakui sudah sangat berat. Karena itu, pemerintah perlu mengawasi penyaluran BBM subsidi agar lebih tepat sasaran.

Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi VII DPR yang juga Sekjen PAN Eddy Soeparno merespons rencana pemerintah menyesuaikan harga BBM.

Menurut Eddy, perlu kajian mendalam sebelum pemerintah memutuskan menyesuaikan harga BBM.

"Kajiannya dari aspek dampak inflasi, dampak dari perlambatan pertumbuhan ekonomi atau daya beli. Bisa saja kenaikan BBM ditanggulangi dari kelebihan atau surplus profit hasil komoditas tahun 2022 dalam bentuk subsidi yang diberikan kepada BBM," kata Eddy, Senin (22/8/2022).

Eddy mengatakan, secara struktural harus dilakukan perubahan atas pola pemberiaan subsidi BBM. Menurut dia, tidak bisa lagi subsidi produk.

"Harus subsidi kepada mereka yang berhak menerimanya," tegas Eddy.

Dia juga mendorong pemerintah merevisi Perpres 191 Tahun 2014. Perpres ini mengatur bagaimana tata cara penyediaan, pendirstribusian dan harga eceran BBM, termasuk mengatur jenis kendaraan apa saja yang dapat dan boleh menggunakan BBM bersubsidi.

Pengawasan terhadap penyaluran BBM bersubsidi harus ketat. BBM bersubsidi hanya untuk masyarakat yang benar-benar berhak.

"Jadi beberapa hal yang secara simultan bisa dilakukan untuk mengurangi subsidi kita yang sudah sangat besar dan sangat memberatkan APBN," kata Eddy.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

Harga Pertalite Naik, Kelas Menengah Bisa Langsung Jatuh Miskin

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pemerintah harus berhati-hati dan menghitung secara serius rencana kenaikan harga BBM terutama untuk BBM subsidi seperti Pertalite maupun Solar. Ada beberapa dampak buruk bagi masyarakat maupun industri jika harga kedua BBM subsidi tersebut.

"Kenaikan harga BBM jenis subsidi terutama Pertalite tolong benar-benar dicermati baik-baik oleh pemerintah," kata Bhima kepada Merdeka.com di Jakarta, Sabtu (20/8/2022).

Bhima mencontohkan, dampak buruk yang akan dirasakan masyarakat akibat kenaikan Pertalite maupun Solar adalah terpukulnya daya beli. Menyusul, kian mahalnya harga bahan pokok imbas kenaikan biaya transportasi.

"Apa kondisi masyarakat miskin saat ini siap hadapi kenaikan harga BBM, setelah inflasi bahan pangan (volatile food) hampir sentuh 11 persen secara tahunan per Juli 2022?," tegasnya.

Dampak lainnya, masyarakat kelas menengah rentan untuk jatuh miskin setelah kenaikan harga BBM subsidi

Hal ini ditandai dengan mulai banyaknya migrasi pengguna Pertamax ke Pertalite yang didominasi oleh kelas menengah.

"Mungkin sebelumnya mereka kuat beli Pertamax, tapi sekarang mereka migrasi ke Pertalite dan kalau harga Pertalite juga ikut naik maka kelas menengah akan korbankan belanja lain. Yang tadinya bisa belanja baju, mau beli rumah lewat KPR, hingga sisihkan uang untuk memulai usaha baru akhirnya tergerus untuk beli bensin," bebernya.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com