Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menanggapi pertanyaan sejumlah Anggota Komisi VII DPR RI terkait rencana pemerintah untuk memutuskan harga BBM naik. BBM itu untuk jenis Pertalite maupun Solar.
Menteri Arifin menyebut, sejumlah menteri akan berkumpul di kantor Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto untuk mencari formula terbaik guna membatasi konsumsi BBM subsidi pada Rabu sore (24/8). Pembahasan dilakukan merespon kian meningkatnya kebutuhan masyarakat akan BBM subsidi.
Baca Juga
"Ini di Kemenko Peremonomian sedang mencari yang terbaik, karena transportasi pergerakannya cukup besar," ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi VII DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (24/8/2022).
Advertisement
Meski begitu, pihaknya enggan menjawab permintaan dari anggota DPR RI terkait bocoran besaran harga kenaikan harga BBM subsidi untuk menghemat keuangan negara. Arifin menyebut, besaran kenaikan harga BBM berada di Kementerian terkait lainnya dengan mempertimbangkan inflasi.
"Terkait dengan harga berapa naiknya, dampaknya apa terhadap inflasi ini perlu koordinasi dengan kementerian terkait," ungkapnya.
Lebih lanjut, Arifin kembali mengimbau masyarakat kelas mampu untuk tidak mengonsumsi BBM subsidi. Mengingat, saat ini negara tengah dibebani lonjakan subsidi dna kompensasi BBM imbas kenaikan harga minyak mentah dunia.
"Kami mengimbau mereka yang mampu (tidak) mengonsumsi harga BBM pemerintah," tutupnya.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
3 Pertimbangan Pemerintah Sebelum Naikkan Harga BBM Pertalite dan Solar
Sinyal kenaikan harga BBM atau Bahan Bakar Minyak bersubsidi terus didengungkan pemerintah. Dari kepala negara hingga para menterinya telah memberikan isyarat akan ada kenaikan harga Solar dan Pertalite.
Namun hingga kini, belum ada keputusan yang diambil pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan dalam mengambil keputusan terkait harga BBM bersubsidi ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan penting.
Pertama, menjaga daya beli masyarakat. Sri Mulyani menurutkan di Indonesia daya beli masyarakat berbeda. Masyarakat kelas menengah ke atas memiliki daya beli yang cukup tinggi.
Tercermin dari tingkat konsumsi pada kuartal kedua yang tumbuh signifikan. Sedangkan daya beli masyarakat kelas bawah yang jumlahnya mencapai 40 persen masih rentan.
"Masyarakat kelas atas ini konsumsinya tinggi bangt kalai dibandingkan dengan 40 persen kelas terbawah. Ini akan beda karena rakyat tidak satu daya beli, makanya harus dilihat," tutur Sri Mulyani di Kompleks DPR-MPR, Jakarta, Selasa (23/8).
Dia menjelaskan, tingginya daya beli masyarakat kelas atas ini membuat konsumsi BBM bersubsidi semakin besar ketimbang yang dinikmati masyarakat kelas bawah. Sementara daya beli masyarakat kelas terbawah ini masih rentan. Sehingga kebijakan yang harus diambil pemerintah semestinya yang memberikan pemihakan kepada masyarakat kelas bawah.
"Jadi kita harus memilih dan memilih, agar masyarakat yang 40 persen ini yang memang jadi fokus kita bisa ditolong," kata dia.
Advertisement
Kondisi APBN
Pertimbangan kedua yang perlu diperhatikan yakni kapasitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam menahan kenaikan harga BBM di tingkat masyarakat. Sebagaimana diketahui, harga minyak dunia (ICP) terus meningkat hingga di atas USD 100 per barel.
Demi menjaga daya beli masyarakat selama masa pemulihan ekonomi ini, pemerintah telah menahan kenaikan harga BBM dengan menambah anggaran kompensasi dan subsidi energi sebesar Rp 502,4 triliun. Jatah subsidi ini naik 3 kali lipat dari yang dianggarkan pemerintah di pada APBN 2022 yakni Rp 158 triliun.
"Kita sudah naikkan (subsidi BBM) 3 kali lipat. Memang penerimaan kita lagi bagus, makanya penerimaan negara ini bisa dipakai subsidi sekarang," kata dia.
Hanya saja, jatah subsidi yang ditetapkan tidak cukup untuk konsumsi sampai akhir tahun. Selain karena harga minyak dunia yang tinggi, konsumsi BBM juga mengalami peningkatan. Kebutuhannya mencapai 29 juta kilo liter dari yang disiapkan sebanyak 23 juta kilo liter.
Sri Mulyani mengatakan, jika pemerintah tidak menambah anggaran kompensasi dan subsidi tahun ini, maka akan ditagihkan di tahun anggaran 2023. Sebagaimana yang dilakukan tahun 2021 lalu, pemerintah harus membayar utang kompensasi BBM hingga Rp 104,8 triliun.
"Kalau kita enggak bayar, ini akan meluncur di tahun 2023. Tahun 2022 saya masih bayarkan sisa utang tahun lalu yang Rp 104 triliun untuk kompensasi. Kalau ini tidak selesai, nanti meluncur lagi buat tahun 2023," kata dia.
Beban pemerintah pun akan semakin berat, karena mulai tahun depan harus menyiapkan anggaran untuk pemilihan umum (pemilu). Sehingga keputusan yang diambil harus melihat kondisi APBN tahun depan.
"Tahun 2023 ini kita juga ada pemilu, jadi kita harus liat APBN dengan teliti," kata dia.