Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tengah pusing karena subsidi energi terus membengkak. Pemerintah sebenarnya sudah menambah subsidi energi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM), gas dan listrik tersebut di semester I 2022.
Namun ternyata, melihat perkembangan yang ada saat ini, tambahan subsidi energi yang sebagian besar untuk menahan harga BBMÂ jenis Pertalite dan Solar ini diperkirakan tetap tak akan menutupi sampai akhir tahun.
Baca Juga
Pada tahun lalu subsidi energi 2022 ditetapkan sebesar Rp 158 triliun. Namun dalam perjalanannya subsidi tersebut ditambah menjadi Rp 502,4 triliun pada Juli 2022 yang diputuskan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2022.
Advertisement
Subsidi ini dengan asumsi Indonesia Crude Price (IC) sbesar USD 100 per barel, nilai tukar rupiah di 14.450 per dolar AS dan volume 23 juta kilo hingga akhir 2022.
Namun seiring berjalannya waktu, asumsi tersebut ternyata meleset semua. Bulan lalu ICP terus berada di atas USD 100 per barel dan rupiah di angka 15.750 per dolar AS.
Pada Rabu 24 Agustus 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil sejumlah menteri ke Istana Negara yang salah satu agenda bahasan dalam rapat terbatas tersebut adalah kenaikan harga BBM.
Setelah itu, para menteri ekonomi bergeser ke Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Lapangan Banteng Jakarta Pusat untuk melanjutkan rapat.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah masih membahas rencana kenaikan harga BBM sampai 2 hari ke depan.
"Terkait dengan evaluasi (harga BBM) masih dilakukan dalam 1-2 hari ini," kata Airlangga di Istana Negara usai bertemu dengan Presiden Jokowi.
Sedangkan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso mengatakan para menteri masih terus membahas wacana kenaikan harga BBM.
Para menteri akan rapat lagi dengan jumlah yang lebih banyak karena harga BBM naik ini akan sangat berpengaruh ke semua sektor.
"Ada kebutuhan mendesak karena masalah keterbatasan subsidi BBM yang harus dijaga di angka Rp 502 triliun," kata Susiwijono di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada Rabu malam.
Susiwijono mengatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani telah memberikan penjelasan terkait jumlah yang sudah dikeluarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022. Dia pun memberikan sinyal kalau APBN tidak bisa memberikan tambahan lagi untuk subsidi BBM.
Jika subsidi ditambah, besar kemungkinan tingkat konsumsi masyarakat terhadap BBM bersubsidi makin meningkat. Disisi lain harga minyak dunia juga sangat fluktuatif dengan tren yang naik.
Maka menekan harga BBM tetap sama akan berdampak pada keuangan negara karena harus membayar selisih harga ditingkat konsumen dan nilai keekonomiannya.
"Kalau Bu Menkeu kan sudah jelasin, Rp 502 triliun itu sudah keluar, itu yang dijaga. Kalau harganya jauh seperti ini nanti konsumsinya melewati," kata dia.
Di sisi lain, pemerintah juga harus mempertimbangkan semua aspek dan dinamika yang berkembang sebelum mengambil keputusan soal harga BBM subsidi ini.
Ada tingkat inflasi dan daya beli masyarakat yang harus dijaga agar tidak mengganggu momentum pemulihan ekonomi nasional.
Â
3 Skenario Pemerintah
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menjelaskan, pemerintah memiliki tiga pilihan mitigasi pembengkakan subsidi energi ini.
Pertama, menambah subsidi dan kompensasi yang jumlahnya mencapai Rp 698 triliun. Bila langkah ini yang ditempuh, maka pemerintah tidak perlu menaikkan harga pertalite dan solar.
"Pertama, subsidinya naik mendekati Rp 700 triliun," kata Sri Mulyani.
Namun, jika harus menaikkan anggaran menjadi Rp 698 triliun, dia menilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan semakin berat. Mengingat subsidi energi tahun ini sudah naik tiga kali lipat dari yang ditetapkan pada awal yakni sebesar Rp 158 triliun.
Pilihan kedua yang ditawarkan melakukan pengendalian volume konsumsi BBM bersubsidi karena konsumsinya terus meningkat. Pada Juli 2022 lalu, pemerintah telah menambah dan menghitung jumlah tambahan kompensasi dan subsidi BBM menjadi Rp 502 triliun dengan volume 27 juta kilo liter.
Hanya saja, dengan tren konsumsi masyarakat yang meningkat, diperkirakan kebutuhannya sampai akhir tahun mencapai 29 juta kilo liter.
"Kedua, volumenya dikendalikan, karena kalau volumenya terus (dibiarkan seperti sekarang) ya tadi (subsidi harus ditambah). Kalau dikendalikan kan berarti ada yang boleh beli ada yang enggak boleh beli," tuturnya.
Adapun pilihan ketiga menaikkan harga BBM bersubsidi. Sri Mulyani mengaku ketiga pilihan yang ada ini merupakan pil pahit bagi pemerintah.
"Tiga-tiganya sama sekali enggak enak. APBN jelas akan sangat berat karena subsidi BBM itu sudah naik 3 kali lipat," kata dia.
Â
Pilihan Realistis
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai, kenaikan harga BBM memang pilihan yang realistis agar beban pemerintah tidak semakin berat.
Mamit menyarankan kepada pemerintah agar harga BBM naik untuk yang bersubsidi saja dahulu. Sebab, bila harga BBM nonsubsidi semisal Pertamax ikut naik, itu akan menimbulkan efek berimbas terhadap sektor lain.
"Pertamax jangan ikutan naik dulu, bisa repot ini pemerintah. Biarkan masyarakat untuk bernapas dulu. Kalau semua dinaikin bisa makin tinggi inflasi," kata Mamit kepada Liputan6.com, Kamis (25/8/2022).
Untuk harga Pertalite, ia pun menyarankan kenaikannya jangan sampai lebih dari Rp 10 ribu per liter. Selain bakal makin memberatkan kantong, itu juga akan membingungkan konsumen lantaran nilai jualnya tidak jauh berbeda dari Pertamax yang dibanderol Rp 12.500 per liter.
"Kalau saya mas maksimal Rp 10 ribu (per liter) ya, jangan di atas itu, akan sangat memberatkan bagi masyarakat," ujar Mamit.
"Misal di atas Rp 10 ribu ya sekalian aja dihapuskan Pertalite, langsung ke Pertamax. Toh sekarang Pertamax harganya masih di bawah keekonomian," ungkap dia.
Di sisi lain, Mamit juga tak ingin harga Pertalite terlampau rendah di bawah Rp 10 ribu per liter. Banyak risiko yang bakal dihadapi pemerintah jika banderol harga itu dipasang.
"Ya kalau di bawah Rp 10 ribu, ruang fiskalnya akan semakin sempit. Sedangkan kuota (Pertalite) semakin menipis," sebut dia.
"Risikonya akan ada kekosongan BBM subsidi di bulan Oktober-Desember. Nah, risikonya ini apa bisa dihadapi juga? Pokoknya pemerintah lagi pusing ini," keluhnya seraya tertawa kecil.
Sedangkan Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pemerintah akan terus mengikuti situasi terkini untuk menentukan nilai jual BBM kepada masyarakat.
"Saya kira moderat asumsi dan targetnya. Harga tinggi pada level saat ini memang lebih banyak karena faktor non fundemantal," ujar Komaidi kepada Liputan6.com, Kamis (25/8/2022).
Menurut dia, harga BBM naik jelas akan mengikuti kisruh geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang belum berkesudahan. Pasalnya, kedua negara tersebut memainkan peran penting dalam roda distribusi minyak dunia.
"Jika perang usai harga kemungkinan akan norma kembali," imbuh dia.
Komaidi pun menilai, dirinya tak bisa asal dalam melihat kemampuan pemerintah untuk menutup beban subsidi BBM, dan komoditas energi lain semisal LPG 3 kg.
"Untuk melihat cukup tidaknya sambil jalan saya kira. Tidak bisa dilihat secara pasti saat ini," ungkap dia.
"Anggaran umumnya akan bergerak atau disesuaikan jika kondisi eksternal mengalami perubahan," kata Komaidi.
Â
Angka Inflasi Langsung Naik
Ombudsman menghitung bila pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi jenis Pertalite menjadi Rp 10 ribu per liter maka akan memberikan kontribusi terhadap inflasi sebesar 0,97 persen.
Dia menjelaskan jika berdasarkan temuan dan kesimpulan dalam kajian ombudsman, serta menyikapi kondisi semakin menipisnya kuota BBM hingga akhir 2022, harga BBM naik akan sangat berdampak ke masyarakat. Salah satunya terhadap inflasi.
"Bila naik saja Rp 10 ribu per liter maka kontribusinya terhadap inflasi diprediksi 0,97 persen," ujar Anggota Ombudsman RI Hery Susanto di Jakarta, Kamis (25/8/2022)
Lembaga ini pun meminta pemerintah tidak menaikkan harga BBM subsidi jenis Pertalite dan Solar. Alasannya, langkah kenaikan harga BBM dapat menyulitkan kondisi perekonomian masyarakat.
"Opsi menaikkan harga BBM subsidi bukanlah pilihan yang tepat dan bijak saat ini. Alasannya, kenaikan harga pertalite dan solar yang proporsi jumlah konsumennya di atas 70 persen, sudah pasti akan menyulut inflasi," tegas dia.
Pemerintah perlu menjaga optimisme rakyat agar bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi yang menjadi tanggung jawabnya.
"Covid baru saja mereda, ekonomi belum pulih, masyarakat sudah dibebani kenaikan harga BBM bersubsidi. Ini menjadi persoalan di ranah publik," ujar Hery.
Dia menyampaikan bahwa Ombudsman menyarankan pemerintah agar cermat dalam menggali seluruh sumber pendapatan negara dan mampu menutup kemungkinan terjadinya kebocoran anggaran terhadap APBN pada setiap belanja dan transfer ke daerah.
Sedangkan ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan tak ada cara yang bisa efektif menambal kenaikan angka inflasi jika harga BBM naik.
"Tidak ada cara yg diperkirakan bisa efektif menahan lonjakan inflasi kalau BBM subsidi dinaikkan. Solusi terbaik adalah tidak menaikkan harga BBM subsidi," ujar dia kepada Liputan6.com
Piter melihat, kenaikan harga BBM seperti Pertalite mengerek inflasi mencapai di atas 6 persen. Bahkan prediksi Piter bisa mencapai 8-10 persen.
"Ketika itu terjadi daya beli masyarakat akan terpangkas, pertumbuhan ekonomi juga tertahan. Target pertumbuhan ekonomi pemerintah sulit tercapai," ujarnya.
"Bagi pekerja dan kelompok masyarakat bawah kenaikan inflasi umumnya tidak diiikuti kenaikan gaji, Daya beli mereka akan terpangkas, kesejahteraan menurun," tambahnya.
Jika dihadapkan pada dua pilihan, Piter menyampaikan kalau pemerintah seharusnya memilih menambah subsidi ketimbang bertaruh dengan dampak menaikkan BBM.
"Kalau saya, sebaiknya pemerintah tidak menaikkan harga BBM subsidi, APBN masih bisa menanggung nya," ujar dia.
Kendati demikian ia tak menyebut Indonedia akan masuk ke stagflasi. Dimana kondisi perekonomian mengalami resesi sementara inflasi melonjak tinggi.
"Meskipun pertumbuhan ekonomi akan tertahan tapi saya perkirakan tidak akan sampai resesi. kenaikan suku bunga ini ditujukan untuk menahan lonjakan inflasi dengan mengurangi likuiditas di perekonomian," kata dia.
Dampak ini yang menurutnya tidak bisa terhindarkan jika pemerintah menaikkan harga BBM Subsidi. Ia juga tak memprediksi berapa lama efek domino ini akan dirasakan masyarakat.
Advertisement
Buruh Menolak
Kaum Buruh menolak keras rencana harga BBM naik. Mereka siap menggelar demonstrasi pada awal September 2022 untuk menentang itu.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyatakan, ada beberapa alasan mengapa pihaknya menolak kenaikan harga BBM. Pertama, kenaikan BBM akan meningkatkan inflasi secara tajam.
Dia memprediksi, inflasi potensi tembus di angka 6,5 persen. Hal itu akan berdampak pada daya beli rakyat kecil semakin terpuruk.
"Khususnya buruh pabrik yang selama 3 tahun tidak naik sudah menyebabkan daya beli turun 30 persen. Kalau BBM naik, bisa-bisa daya beli mereka turun hingga 50 persen," ujar Said Iqbal belum lama ini.
Alasan kedua, tingkat upah di kalangan buruh yang tidak naik juga akan berdampak pada banyaknya PHK akibat kenaikan harga barang. Ini karena perusahaan juga akan melakukan efisiensi akibat biaya energi yang meningkat.
Ketiga, tidak tepat membandingkan harga BBM di suatu negara dengan tidak melihat income per kapita. Indonesia harga pertalite akan dinaikkan di angka Rp 10.000 per liter.
"Kalau melihat income per kapita, Singapore sudah di atas 10 kali lipat dibandingkan dengan kita. Jadi perbandingannya tidak apple to apple," ungkap Presiden Partai Buruh itu.
Alasan berikutnya, kalau arahnya untuk menuju energi terbarukan, itu hanya akal-akalan. Said Iqbal menyoroti BUMN dan perusahaan-perusahaan besar masih menggunakan energi fosil, batu bara, diesel, hingga sollar. Alasan ini pun dinilai Partai Buruh hanya akal-akalan saja.
Terakhir, saat ini premium sudah hilang di pasaran, kecuali daerah tertentu. Iqbal minta pemerintah jangan berdalih, ketika pertalite naik maka masyarakat bisa menggunakan premium. Pasalnya, mayoritas konsumen Pertalite berasal dari golongan menengah bawah.
"Buruh mendesak pemerintah untuk memastikan tidak ada kenaikan harga BBM," tegasnya.
Â
Â
Usulan Pembatasan
Ombudsman menilai ketimbang mengambil langkah menaikkan harga BBM, pemerintah diminta sebaiknya melakukan pembatasan konsumsi BBM subsidi. Sebab, bila harga BBM naik dinilai akan memberatkan masyarakat.
Pemerintah, kata Anggota Ombudsman RI Hery Susanto, hendaknya menetapkan pembatasan kendaraan roda dua (di bawah 250 cc) dan angkutan umum sebagai moda transportasi yang paling banyak digunakan masyarakat dan memakai BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar daripada langsung menaikkan harga BBM tersebut.
"Selain moda transportasi itu, konsumen diwajibkan tetap menggunakan pertamax dan jenis diatasnya. Distribusi BBM bersubsidi tersebut juga perlu pengaturan batas pengisian BBM per harinya," jelas dia di Jakarta, Kamis (25/8/2022)
Selain itu, kriteria sepeda motor dan kendaraan umum yang menggunakan BBM bersubsidi jenis pertalite dan solar agar dimasukkan ke dalam revisi Perpres no 191/2014 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran BBM.
Pemerintah melalui PT Pertamina Niaga mesti melakukan edukasi dan konsultasi bagi masyarakat yang diprioritaskan mendapatkan BBM bersubsidi jenis pertalite dan solar, mengingat masih sangat banyaknya masyarakat yang belum mengetahui/mengerti pendaftaran kuota BBM bersubsidi jenis pertalite dan solar melalui aplikasi MyPertamina
Selain itu, perlu dilakukan aktivitas pengisian BBM secara mobile ke lokasi-lokasi basis perekonomian masyarakat.
Misal kelompok petani, nelayan, pedagang pasar dan lainnya. Sebab kelompok tersebut masih rentan perekonomiannya dan sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Mereka kelompok yang dinilai sangat membutuhkan BBM bersubsidi.
"Optimalisasi pengawasan dan penegakan sanksi yang tegas terhadap bentuk-bentuk penyimpangan dan praktek-praktek penyalahgunaan BBM bersubsidi agar penyaluran BBM bersubsidi tepat sasaran," dia menandaskan.
Di Negara Lain Justru Turunkan Harga BBM
Rata-rata harga BBM di Amerika Serikat untuk satu galon gas reguler telah menurun. Sebelumnya, AS sempat melaporkan lonjakan harga BBM ke tingkat tertinggi sebesar USD 5,02 per galon pada 14 Juni 2022, menurut American Automobile Association (AAA).
Dilansir dari CNN Business, Kamis (25/8/2022) rata-rata harga BBM reguler di AS turun menjadi USD 3,89 per galon pada Selasa (23/8), turun dari USD 4,38 sebulan lalu.
Ini menunjukkan penurunan yang signifikan, terutama mengingat situasi inflasi yang dipicu oleh harga BBM naik hingga di atas USD 5 hanya dua bulan lalu.
Dalam sebuah laporan berjudul The Great American Summer of Falling Gas Prices, Bespoke Investment Group mengatakan bahwa penurunan harga BBM selama 70 hari berturut-turut ini merupakan rekor terpanjang kedua sejak tahun 2005.
Sementara itu, harga minyak mentah AS melonjak 3 persen pada Selasa (23/8). Adapun kekhawatiran resesi AS dan kekhawatiran tentang ekonomi China, membuat harga gas ikut naik.
Di sisi pasokan, pelepasan minyak darurat pemerintah Presiden AS Joe Biden yang belum pernah terjadi sebelumnya dari persediaan nasional membantu mengurangi tekanan harga energi.
Advertisement