Liputan6.com, Jakarta - Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Inarno Djajadi meminta kepada masyarakat untuk tidak menggunakan uang hasil pinjaman online (pinjol) untuk membeli barang konsumsi.Â
Menurutnya, pinjaman online sebaiknya digunakan untuk pinjaman produktif atau kegiatan yang menghasilkan karena bunga pinjol sangat tinggi. Perlu adanya pendapatan yang cukup agar masyarakat bisa mengembalikan dana pinjaman online.Â
Baca Juga
"Ini utang (pinjol) jangan dipakai untuk konsumsi, (membeli) pakaian, sepatu atau (barang konsumtif) apa pun," tegasnya saat memberikan Kuliah Umum di Auditorium Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, Jumat (26/8/2022).
Advertisement
Jika pinjol digunakan untuk pinjaman konsumtif akan berpotensi membebani keuangan masyarakat dikemudian hari. "Ini adalah utang, jadi harus betul-betul bijaksana. Karena tetap saja harus dikembalikan," bebernya.
Inarno juga meminta masyarakat untuk menghindari perusahaan pinjol ilegal yang menawarkan kemudahan persyaratan untuk peminjam. Mengingat, adanya pengenaan bunga tinggi hingga pencurian data pribadi untuk meneror nasabah yang mengalami kesulitan bayar.
"Tentunya bapak ibu harus selalu ingat, walaupun itu namanya pinjol atau apapun ya teknologinya. Kita mesti harus (hati-hati) terhadap hal tersebut," pungkasnya.
Â
Jurus Teranyar OJK Atasi Pinjol Ilegal
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang baru periode 2022-2027, sudah menyiapkan strategi untuk mengatasi masalah terkait pinjaman online (pinjol) ilegal.
"Terkait dengan yang ilegal juga kita akan tangani bahwa mereka itu kita lakukan upaya untuk mereka apply menjadi peer to peer lending yang legal," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, Ogi Prastomiyono dalam konferensi pers, dikutip Kamis (21/7/2022).
Dia menjelaskan, sistem perizinan pinjol ini akan berbeda dengan sebelumnya. Prosesnya akan disederhanakan, perizinan pinjol akan dibuat satu tahap.
"Nantinya perizinan itu satu tahap, kalau dulu itu ada pendaftaran dan juga ada perizinan. Tapi kita satu tahap, tapi prosesnya perlu dilakukan sesuai dengan peraturan yang kita keluarkan," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, anggota dewan komisioner yang membidangi edukasi dan perlindungan konsumen, Friderica Widyasari Dewi, menyampaikan, alasan munculnya berbagai permasalahan mengenai industri jasa keuangan, dikarenakan tingkat literasi keuangan masyarakat masih rendah.
Â
Advertisement
Literasi Keuangan
Berdasarkan hasil survei di 2019, tingkat literasi keuangan Indonesia baru 38 persen. Sedangkan, inklusi keuangan telah mencapai 76 persen. Artinya terdapat perbedaan yang sangat besar.
"Kita lihat disini gap-nya sangat besar yang ini menjelaskan kenapa banyak sekali kasus-kasus terjadi di masyarakat kita. Karena masyarakat tingkat inklusinya sudah tinggi tetapi ternyata belum paham secara benar-benar apa produk atau jasa keuangan yang mereka beli, gunakan dan sebagainya," jelasnya.
Oleh karena itu, Friderica telah mempersiapkan tiga strategi untuk mengatasi masalah rendahnya literasi masyarakat terkait industri jasa keuangan. Pertama, melakukan program edukasi kepada masyarakat secara masif. Kedua, pengawasan market conduct.
"Ketiga peningkatan perlindungan konsumen itu sendiri baik itu melalui mekanisme pengaduan nasabah yang kita permudah, bagaimana kita memfasilitasi dan sebagainya," pungkasnya.Â
Â