Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, subsidi tidak hanya diberikan kepada Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar saja. BBM jenis Pertamax pun juga mendapat subsidi.
Sri Mulyani menjelaskan, harga keekonomian Pertamax yang merupakan BBM Ron 92 di angka Rp 17.300 per liter. Angka tersebut jauh dari harga jual saat ini yang berada di angka 12.500 per liter.
Baca Juga
Terjadi gap atau selisih yang sangat besar antara harga keekonomian dan harga jual. Gap tersebut mencapai Rp 4.800 per liter atau 27,7 persen dari harga keekonomian.
Advertisement
"Jadi Pertamax sekalipun yang dikonsumsi mobil bagus itu mereka mendapatkan subsidi Rp 4.800," jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers, Jumat (26/8/2022).
Namun menurutnya, subsidi tersebut tidak diberikan oleh pemerintah. Subsidi tersebut diberikan oleh Pertamina sebagai badan usaha penjual BBM.
Harga Elpiji, Pertalite dan Solar Jika Tanpa Subsidi
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pun menjabarkan besaran harga BBM dan Elpiji jika tanpa subsidi dari pemerintah atau nilai keekonomian dari BBM subsidi jenis Pertalite dan Solar.
Untuk harga Solar yang saat ini dipatok Rp 5.150 per liter, jika tanpa subsidi atau harga keekonomiannya di angka Rp 13.950. Maka selisih harga yang ditanggung pemerintah sebesar Rp 8.300 per liter.
"Jadi bedanya antara harga sebenarnya di luar dengan harga yang berlaku di kita itu Rp 8.300 per liter," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komite IV DPD RI di Kompleks DPD RI, Jakarta, Kamis (25/8/2022).
Hal serupa juga terjadi pada harga Pertalite. Di tingkat konsumen, harganya masih Rp 7.650 per liter, sedangkan berdasarkan nilai keekonomian BBM ron 90 ini Rp 14.450. Sehingga selisih harga yang ditanggung APBN sebesar Rp 6.800 per liter.
"Kita jualnya hanya Rp 7.650 (per liter). Perbedaannya yang sebesar Rp 6.800 itu yang harus kita bayar ke Pertamina," kata dia.
Begitu juga dengan harga LPG 3 kg. Saat ini harga ditingkat konsumen sebesar Rp 4.250 per kg. Padahal harga keekonomiannya mencapai Rp 18.500 per kg.
"Jadi subsidinya jauh lebih besar Rp 14.000 per kg," kata dia.
Â
Ketua Banggar: Pola Subsidi BBM Harus Diubah
Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah memandang subsidi BBM tidak tepat sasaran. Maka, perubahan skema subsidi perlu jadi pertimbangan pemerintah.
Pada 2022, harga minyak dunia melonjak cukup tinggi hingga diatas USD 100 per barel. Dengan begitu, pemerintah menambah subsidi energi menjadi Rp 502,4 triliun.
"Dana tersebut, hanya habis digunakan untuk mensubsidi harga energi yang saat ini 80 persen subsidi LPG 3 Kg masyarakat mampu," kata dia dalam keterangannya, Jumat (26/8/2022).
Kenaikan harga BBM jenis Pertamax ke Rp 12.500 per liter juga jadi pengaruh masyarakat mampu beralih membeli Pertalite. Dimana Pertalite masih dibanderol sebesar Rp 7.650 per liter.
Akibatnya kuota Pertalite yang disediakan pemerintah tidak mampu menahan lonjakan permintaan pertalite. Perkiraan peemrintah, pada Oktober nanti stok pertalite diperkirakan habis jika menyimulasikan dengan tren konsumsi sekarang ini.
"Subsidi solar juga tidak tepat sasaran karena gap harga solar subsidi dengan non subsidi sangat besar. Banyak terjadi penyelundupan solar subsidi. Perubahan pola subsidi BBM dan LPG menjadi keniscayaan yang harus dirubah oleh pemerintah," paparnya.
Â
Advertisement
Dibangun untuk Masyarakat Bawah
Lebih lanjut, Said mengatakan dana subsidi energi itu bisa dilimpahkan untuk pembangunan di berbagai sektor lain. Utamanya bagi kepentingan masyarakat kelas bawah.
Yakni, menyasar kegiatan-kegiatan produktif seperti pendidikan, kesehatan hingga infrastruktur energi serta sektor lainnya.
"Besaran anggaran subsidi BBM dapat digunakan untuk membangun ruas tol baru sepanjang 3.501 km dengan perkiraan investasi Rp. 142,8 miliar per km. Jika di setarakan dengan anggaran pembangunan Sekolah Dasar (SD) 227.886 unit, diperkirakan butuh investasi 2,19 miliar tiap SD," ungkapnya.
Bahkan jika dikonversikan anggaran subsidi BBM setara dengan 3.333 unit Rumah Sakit sekala menengah, dengan besaran investasi Rp. 150 miliar per rumah sakit.
"Bahkan jika diperlukan untuk membangun puskesmas, anggaran subsidi dan kompensasi BBM dapat digunakan untuk membangun 41.666 puskesmas baru dengan biaya Rp 12 miliar per puskesmas," tukasnya.
Â