Liputan6.com, Jakarta Direktur Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) FEB UB, Candra Fajri Ananda menjelaskan kebijakan harga rokok dan tarif cukai rokok tidak selalu serta merta membuat perokok untuk berhenti merokok.
Hasil survei di 4 provinsi dengan 1.600 responden menunjukkan bahwa sekitar 95 persen responden akan tetap merokok meskipun harga rokok naik.
Baca Juga
“Hasil survei tersebut semakin memperkuat argumen bahwa kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan angka prevalensi merokok (usia 15 tahun ke atas) karena variabel harga rokok bukanlah faktor utama yang menyebabkan seseorang memutuskan berhenti merokok,” kata Candra Fajri Ananda dalam paparan hasil kajian pada Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Kenaikan Harga Rokok terhadap Keseimbangan Prioritas Kebijakan IHT di Indonesia, dikutip Rabu (31/8/2022).
Advertisement
Menurut Candra Fajri Ananda, Pemerintah dalam hal pengendalian konsumsi dan optimalisasi penerimaan negara, masih bertumpu pada mekanisme harga, sehingga kenaikan tarif cukai dilakukan setiap tahun.
Sejauh ini, data BPS telah menunjukkan bahwa untuk perokok usia dini, kebijakan tarif ini telah berhasil menekan secara signifikan penurunan prevelansi perokok usia dini sampai 3,81 persen di tahun 2021. Capaian ini patut diapresiasi dan sejatinya telah sesuai target RPJMN 2019-2024.
“Namun, indikator prevelansi perokok usia ≥ 15 tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan selama hampir 15 tahun sejak 2007, hal ini menjadi indikasi bahwa kebijakan kenaikan cukai untuk menekan prevalensi merokok kurang efektif,” terang dia.
Guru besar FEB UB yang akrab disapa Candra ini mengatakan, selama 10 tahun terakhir, kenaikan tarif cukai dan harga rokok terjadi secara signifikan hampir di semua golongan. Misalnya, kenaikan harga rokok jenis Sigaret Mesin (SKM & SPM) Gol.1 mengalami perubahan harga hingga 168 persen, Sigaret Mesin (SKM & SPM) Gol. 2 mengalami perubahan harga hingga 247 persen.
“Apabila dilihat berdasarkan golongan, kenaikan tarif cukai tertinggi selama hampir 10 tahun terakhir terjadi di rokok jenis Sigaret Mesin (SKM & SPM),” imbuhnya.
Jumlah Pabrik Rokok Turun
Hasil kajian PPKE FEB UB juga menyatakan kenaikan tarif cukai dan harga rokok dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan penurunan yang signifikan pada jumlah pabrikan rokok.
Menurut Candra, kenaikan harga rokok akan menurunkan volume produksi pabrikan rokok, mulai pabrikan Gol. 1 sampai Gol. 3. Hal ini, lanjut Prof. Candra, berpotensi menurunkan penerimaan negara dan meningkatkan peredaran rokok illegal.
“Kenaikan harga rokok dan tarif cukai juga menurunkan volume produksi rokok legal dan meningkatkan peredaran rokok ilegal secara signifikan. Kenaikan tarif cukai sebesar 23 persen dan HJE meningkat 35% di tahun 2020 (PMK 152/2019) berdampak pada penurunan volume produksi rokok hingga minus 9,7 persen, dan memicu peningkatan peredaran rokok ilegal menjadi 4,8 persen,” terang dia.
Data menunjukan, terjadi penurunan jumlah pabrikan rokok. Pada tahun 2007 jumlah pabrikan rokok mencapai 4.793 namun kini pada tahun 2021 hanya tersisa 1.003 pabrikan rokok. Selain itu, volume produksi IHT menunjukkan trend penurunan dan juga penurunan pertumbuhan produksi. Data Direktorat Bea cukai menunjukkan volume produksi turun sekitar 30 milyar batang dari tahun 2019.
Pertumbuhan volume produksi IHT dipengaruhi oleh permintaan terhadap produk tersebut. Berdasarkan hasil fitting test terhadap data, nilai koefisien harga rokok Gol.1 terhadap konsumsi rokok memiliki hubungan negatif yang paling tinggi di antara golongan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok dapat memberikan dampak penurunan terbesar pada Gol. 1.
Hal itu, kata dia, selaras dengan data Direktorat Jenderal Bea Cukai (2021) yang menunjukkan bahwa penurunan produksi terbesar terjadi di gol. 1 ketika terjadi kenaikan harga rokok di tahun 2020. Di sisi lain, elastisitas harga rokok pada Gol. 3 menunjukkan hubungan positif, sehingga kenaikan harga rokok mendorong kenaikan volume produksi rokok paling besar di Gol. 3.
“Fenomena tersebut juga menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok tidak akan serta merta menurunkan konsumsi rokok karena konsumen akan beralih pada jenis rokok yang lebih murah,” terangnya.
Advertisement
Turunkan Penerimaan Cukai
Hasil kajian juga menyatakan kenaikan harga rokok dan tarif cukai yang eksesif bedampak pada penurunan pertumbuhan penerimaan CHT karena terjadi penurunan volume produksi akibat penurunan permintaan.
Kenaikan harga rokok di golongan 1 menyebabkan terjadinya penurunan volume produksi rokok golongan 1 karena konsumen berpindah pada jenis rokok yang lebih murah (Gol.2 dan Gol.3).
“Oleh sebab itu, kenaikan tarif cukai sebesar 23% dan kenaikan HJE sebesar 35% di tahun 2020 (PMK 152/2019) menyebabkan penurunan pertumbuhan penerimaan CHT di tahun 2020. Penurunan penerimaan CHT terbesar terjadi pada rokok golongan 1,” jelas Prof. Candra.
Hasil kajian juga menunjukkan, harga rokok telah melewati titik maksimum untuk menurunkan angka prevalensi merokok. Kenaikan harga rokok hanya berdampak pada berkurangnya volume produksi rokok legal, namun tidak konsumsi secara agregat, mengingat masih adanya peredaran rokok illegal.
Hasil simulasi menunjukan bahwa jika pemerintah memaksa menaikkan tarif cukai dan harga rokok melebihi batas maksimum untuk mendorong penerimaan CHT dan penurunan konsumsi rokok, maka berdampak pada penurunan jumlah pabrik rokok dan kenaikan peredaran rokok illegal.
“Pada simulasi tersebut jumlah pabrik rokok turun hingga tersisa 831 pabrik karena adanya penurunan volume produksi akibat adanya penurunan permintaan terhadap rokok legal,” ujarnya.
Dari sisi review regulasi, pelonggaran kebijakan cukai efektif menurunkan angka peredaran rokok ilegal, menjaga keberlangsungan IHT, dan meningkatkan pertumbuhan penerimaan cukai hasil tembakau (CHT). Dalam hal ini, pemerintah dapat mempertahankan PMK 156/2018 dan regulasi lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012.
Berdasarkan hasil kajian tersebut, maka pemerintah perlu mempertimbangkan dan berhati-hati dalam pengambilan kebijakan cukai di waktu mendatang.
Dalam hal ini, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai sisi yang terlibat dalam kebijakan cukai di Indonesia, diantaranya adalah tenaga kerja, pendapatan, kesehatan, rokok ilegal, industri, hingga pertanian secara berimbang dengan melakukan “rembug bersama” dengan semua pemangku kepentingan secara berkesinambungan dalam rangka menentukan Peta Jalan (Roadmap) kebijakan yang berkeadilan.