Liputan6.com, Jakarta Pertamina Patra Niaga, Sub Holding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero) memberlakukan kembali penyesuaian harga berkala untuk produk Pertamax.
Mekanisme penyesuaian harga secara berkala ini kembali dilakukan seperti sebelum pandemi, mengingat Pertamax sebagai BBM non subsidi yang harganya fluktuatif mengikuti perkembangan terkini dan tren dari industri minyak dan gas, terutama harga minyak dunia atau ICP.
Baca Juga
Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting menjelaskan dalam beberapa bulan terakhir ini harga Pertamax tidak disesuaikan secara berkala mengikuti tren ICP, sehingga sampai dengan saat ini harga jual Pertamax terdapat selisih dengan harga keekonomian.
Advertisement
“Tercatat sejak Maret hingga September 2022, BBM RON 92 yang setara Pertamax sudah disesuaikan secara berkala oleh badan usaha lain, sedangkan Pertamax baru sekali penyesuaian harga pada April lalu,” jelas Irto, Minggu (4/9/2022).
Dengan tren ICP yang masih cukup tinggi pada Bulan Agustus lalu sekitar 94.17 USD/Barel, Pertamina Patra Niaga menetapkan harga baru Pertamax yang berlaku mulai tanggal 3 September. Harga jual Pertamax ditetapkan Rp 14.500 per liter untuk wilayah DKI Jakarta atau daerah dengan besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) 5 persen.
“Penetapan harga ini sudah sesuai dengan regulasi Kepmen ESDM No. 62/K/12/MEM/2020 tentang formulasi harga jenis bahan bakar umum (JBU). Jika dibandingkan dengan seluruh produk RON 92, harga Pertamax masih paling kompetitif,” tambah Irto.
Irto melanjutkan, penyesuaian harga ini akan terus diimbangi dengan ketersediaan stok serta jaminan distribusi ke seluruh SPBU di Indonesia.
“Ini adalah komitmen Pertamina dalam menjaga ketahanan energi nasional. Dari segi harga juga tetap dijaga paling kompetitif. Jadi masyarakat tidak perlu khawatir, dan kedepan harga Pertamax akan terus dievaluasi mengikuti tren harga minyak dunia, ini sudah berlaku ketika kemarin Pertamina mengevaluasi dan menurunkan harga Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex,” pungkasnya.
Harga BBM Naik, tapi Masih Jauh dari Harga Keekonomian
Setelah sekitar dua minggu memberikan sinyal, akhirnya pemerintah putuskan untuk menaikkan harga BBM Subsidi dan kompensasi. Namun, harga yang dipatok pemerintah ternyata masih belum sesuai dengan harga keekonomiannya.
Sebut saja, Pertalite dipatok Rp 10.000 per liter, Solar dipatok Rp 6.800 per liter, serta Pertamax dipatok Rp 14.500 per liter. Sementara, ketiganya memiliki harga keekonomian di kisaran Rp 16.000-18.000 per liter.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai, kenaikan yang dilakukan pemerintah tak serta merta menghapuskan subsidi. Hanya saja, porsi subsidi terhadap BBM yang dikurangi, dengan harapan tak membebani APBN.
"Saya kira harga saat ini masih jauh dari keekonomian ya baik itu untuk pertalite maupun solar subsidi. Maka dengan demikian saya kira pemerintah masih tetap memberikan kompensasi bagi ke dua jenis produk BBM subsidi," ungkapnya kepada Liputan6.com, Minggu (4/9/2022).
Dengan begitu, masyarakat masih merasakan kehadiran pemerintah dengan tidak menyesuaikan harga BBM subsidi sesuai dengan keekonomiannya. Kenaikan BBM Subsidi sekitar Rp 2.000 per liter.
Mamit kembali menegaskan, dengan kenaikan yang terjadi, pemerintah masih menggelontorkan subsidi yang cukup besar. Bahkan, ia menyebut untuk Solar subsidi, ada selisih sekitar Rp 12.000 dengan harga keekonomian.
Besarnya selisih ini, menurutnya, masih membuka peluang adanya penyelewengan bahan bakar. Misalnya, adanya oknum yang menjual Solar subsidi untuk kepentingan industri.
"Saat ini solar Rp 6.800 (per liter) padahal keekonomian masih di Rp 18.000-an per liter," kata Mamit.
"Masih (cukup besar subsidi) apalagi untuk solar subsidi, kenaikan ini masih memungkinkan terjadi penyelewengan. Seperti dijual kembali untuk industri misalnya," tambahnya.
Advertisement
Perlu Pengawasan
Lebih lanjut, guna memberikan jaminan, pemerintah diminta untuk melakukan pengawasan secara ketat. Salah satu upayanya dengan pemberlakuan revisi Peraturan Presiden Nomor 191/2014.
Menurut catatan Liputan6.com, revisi aturan ini telah rampung, namun masih menunggu diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo.
"Oleh karena itu (untuk antisipasi penyelewengan) perlu adanya pengawasan yang ketat. Perlu adanya pembatasan. Revisi perpres 191/2014 ini harusnya bisa menjadi kunci bagi pengawasan dan pengendalian BBM subsidi. Pemerintah harus berani tegas," paparnya.
Kendati begitu, hingga saat ini ia mengaku belum mengetahui rincian dari isi Perpres 191/2014 terbaru. Termasuk pola pembatasan dan jenis kendaraan yang dibatasi.
"Nah ini gak tau, makanya saya kejar terus supaya rampung. Pengawasannya ya sesuai dengan kriteria dalam perpres nanti. Yang melanggar harus dihukum agar memberikan efek jera," tukasnya.