Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diingatkan tetap memperketat pengawasan penyaluran BBM subsidi meski telah melakukan kenaikan harga.
Pasalnya, meski keputusan tersebut telah diambil tetap masih ada potensi penyelewengan. Pengamat energi Sofyano Zakaria mengatakan, harga BBM bersubsidi memang sudah dinaikan, untuk solar menjadi Rp 6.800 sedangkan Pertalite naik menjadi Rp 10 ribu, tetapi harga tersebut masih di bawah harga keekonomian. Kondisi ini masih berpotensi terjadinya penyelewengan, khususnya pada solar.
Baca Juga
"Kenaikan harga Solar subsidi yg hanya sebesar Rp.1.650 per liter , sejatinya akan tetap sangat menarik untuk terjadinya penyelewengan solar ke industri. Ingat selisih Solar subsidi dengan harga Keekonomian sangat tinggi sekitar Rp 9.000 per liter. Siapa yang tak tertarik dengan nilai ini?," kata Sofyano, di Jakarta, Minggu (4/9/2022).
Advertisement
Sofyano menambahkan, penyelewengan penyaluran BBM bersubsidi tersebut akan membuat konsumsi BBM bersubsidi melebihi kuota yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), meski harga BBM bersubsidi telah dinaikan.
"Harga BBM Subsidi dan non subsidi telah dinaikan. Namun jika hanya mengandalkan kenaikan harga saja , apa yakin kuota solar atau kuota Pertalite 2022 tak akan jebol?," ungkapnya.
Menurut Sofyano, pemerintah seharusnya mengantisipasi potensi penyelewengan BBM bersubsidi tersebut, dengan memperketat pengawasan penyaluran BBM bersubsidi dan membuat kebijakan penyaluran BBM subsidi tepat sasaran.
"Pengendalian dan Pengawasan yang harus ketat dan melekat adalah pada BBM Solar subsidi karena disparitas harganya dengan harga keekonomian sangat lebar yakni sekitar Rp 9 ribu per liter," ujarnya.
Sofyano mengungkapkan, kebijakan tersebut bisa dituangkan dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
"Revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 seharusnya diluncurkan bersamaan dengan pengumuman kenaikan harga BBM," imbuhnya.
Harga BBM Naik 7 Kali di Masa Presiden Jokowi, Terakhir Paling Tinggi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut telah 7 kali menaikkan harga BBM subsidi. Terbaru pada 3 September 2022, yang disebut kenaikan paling tinggi.
Pada pengumuman Sabtu (3/9/2022) kemarin, pemerintah memutuskan mengubah harga Solar subsidi menjadi Rp 6.800 per liter, Pertalite menjadi Rp 10.000 per liter, dan Pertamax Rp 14.500 per liter. Secara sederhana, kenaikannya berkisar Rp 1.700-2.550 per liter.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menguatkan data tersebut. Ia mengamini Jokowi 7 kali mengubah harga BBM Subsidi.
Rinciannya, pada 17 November 2014, 1 Januari 2015, 1 Maret 2015, 28 Maret 2015, 30 Maret 2015, 10 oktober 2018, dan 3 September 2022. Pada 2014-2018, kenaikan berkisar dari Rp 400-2.000 per liter.
"Iya (kenaikan BBM kali ini paling tinggi), 17 November 2014 hanya di Rp 2.000 (per liter)," kata dia kepada Liputan6.com, Minggu (4/9/2022).
Menurut catatan Liputan6.com, Jokowi berkali-kali mengubah harga BBM subsidi sejak ia menjabat pada 2014 lalu. Namun, jumlah ini seiring dengan dinamika di awal periode kedua ia menjabat.
Kemudian, belum termasuk juga dengan hitungan peralihan BBM penugasan dari Premium ke Pertalite yang sama-sama mengalami penyesuaian harga.
Sejak 2014-2016 saja misalnya, Jokowi 7 kali mengubah harga BBM Subsidi. Premium tercatat 4 kali mengalami kenaikan harga, dan 3 kali mengalami penurunan harga.
Berbeda, Solar mengalami 2 kali kenaikan harga, sementara telah 5 kali mengalaim penurunan harga.
Advertisement
Awal Jokowi Jadi Presiden
Di awal Jokowi menjabat, harga Premium dipatok Rp 6.500 per liter, kemudian naik menjadi Rp 8.500 per liter pada November 2014. Tak lama, pada 1 Januari 2015, Jokowi menurunkan harga Premium menjadi Rp 7.600 per liter.
Sekitar 2 pekan berselang, Jokowi kembali menurunkan harga Premium menjadi Rp 6.600 per liter. Tapi, pada Maret 2015, kembali dinaikka menjadi RP 6.900 per liter. Di penghujung bulan yang sama, Jokowi juga menaikkan lagi harga Premium ke Rp 7.300 per liter.
Berselang cukup lama, harga Premium diturunkan menjadi Rp 6.950 di awal tahun 2016. Kemudian, turun lagi menjadi Rp 6.450 per liter pada April 2016.
Berbeda dengan Solar, diawal menjabat, harganya sebesar Rp 5.500, kemudian naik menjadi Rp 7.500 per liter, dan turun lagi menjadi Rp 7.250 per liter.
Lalu, Jokowi menurunkan lagi menjadi Rp 6.400 per liter, dan naik menjadi Rp 6.900 per liter. menuju penghujung 2015, Jokowi menurunkan lagi harga Solar menjadi Rp 6.700 per liter, dan turun lagi menjadi Rp 5.650 per liter di awal 2016. Lalu, kembali turun menjadi Rp 5.150 per liter di pertengahan 2016.