Sukses

Sewa Kontrakan Tambah Mahal saat Harga BBM Naik, Kok Bisa?

Biaya sewa kontrakan variabel paling mudah untuk dihitung. Di samping biaya pengeluaran untuk BBM dan bahan pokok yang dipastikan naik.

Liputan6.com, Jakarta - Dampak kenaikan harga BBM Subsidi bakal sangat luas. Tak hanya sektor transportasi yang terdampak. Tapi, biaya sewa kontrakan pun juga akan meningkat mengikuti tren kenaikan harga-harga lain.

Tak tanggung-tanggung, kenaikan biaya sewa kontrakan disebut akan menyentuh Rp 50.000-100.000 per bulan dalam hitungan kasar. Ini jadi dampak lanjutan dari beban yang harus ditanggung masyarakat.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkap hitung-hitungannya. Bukan tanpa alasan, kelompok buruh disebut jadi masyarakat yang bakal terdampak kenaikan biaya sewa ini.

Biaya sewa kontrakan menurutnya variabel paling mudah untuk dihitung. Di samping biaya pengeluaran untuk BBM dan bahan pokok yang dipastikan naik.

Ia mengaku telah mengonfirmasi ke pemilik kontrakan perihal biaya sewa. Tanggungan sehari-hari dikatakan sebagai beban, dan sewa kontrakan adalah penopangnya.

"Kan saya tanya kenapa hubungannya kontrakan dengan naik BBM? 'Pak saya ini hanya ngandelin uang kontrakan, anak saya kuliah, pakai motor, saya pakai motor, pakai mobil bekas, saya kan naik ongkosnya, caranya gampang, naikin (sewa) kontrakannya'," katanya mengisahkan dalam sesi Liputan6 Update, ditulis Selasa (6/9/2022).

Said Iqbal menuding, perhitungan ini tak jadi pertimbangan pemerintah sebagai dampak kenaikan harga BBM Subsidi. Padahal, di sisi ini turut mempengaruhi daya beli masyarakat.

"Itu tahu tidak pemerintah yang kayak gitu, pasti Menteri Keuangan enggak ngerti, karena orang kaya dia itu," ujarnya.

 

2 dari 4 halaman

Daya Beli Turun 50 Persen

Said mencoba mengaitkannya dengan daya beli masyarakat, utamanya kelompok buruh yang dipimpinnya. Ia menyebut, daya beli buruh akan turun hingga 50 persen.

Sebelumnya, daya beli buruh sudah turun sekitar 30 persen, menurut hitungan Litbang KSPI dan Partai Buruh. Pandemi Covid-19, dan upah yang tak naik dalam 3 tahun berturut-turut jadi alasan penurunan tersebut.

"Ditambah lagi dengan BBM kenaikan 30 persen mengakibatkan inflasi sampai 6,5-8 persen, itu Litbangnya Partai Buruh dan KSPI ya. Di beberapa pengamat ekonomi juga memprediksi demikian. Itu artinya, 30 persen dengan upah yang saat ini tidak naik maka diperhitungkan oleh litbangnya partai buruh bisa 50 persen kita turun," ujar Said menerangkan.

Aturan turunan Undang-undang Cipta Kerja jadi biang keroknya, yakni PP Nomor 36 Tahun 2021 soal pengupahan. Dengan aturan ini, Said menilai kalau upah buruh tahun depan tak akan naik, atau naik sangat tipis.

"Oleh karena itu dampak yang paling kerasa itu daya beli (turun) sampai 50 persen. Upah gak naik loh. 2023 menaker sudah menyatakan akan kembali menggunakan menyesuaikan dengan PP 36/2021. Artinya ini para buruh para pekerja gak naik upahnya. BBM naik, barang-barang naik, pukul daya belinya," bebernya.

 

3 dari 4 halaman

Ancaman PHK

 

Dampak lainnya, menurut Presiden Partai Buruh ini, kenaikan harga BBM subsidi meningkatkan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK). Ini kembali sebagai imbas dari kenaikan ongkos yang dikeluarkan oleh buruh, maupun perusahaan.

Misalnya, biaya logistik yang meningkat, bjaya ongkos transportasi yang meningkat, ongkos bus karyawan yang juga ikut meningkat. Kondisi ini memperparah sejumlah sektor yang belum pulih akibat pandemi Covid-19.

"Memang betul dia sudah menggunakan harga solar untuk produksi, harga keekonomiannya, diluarnya, bis karyawan, kemudian tunjangan transportasi, ada juga logistik kan naik semua, akhirnya apa? PHK untuk melakukan efisiensi. Itu ancaman loh, itu paham gak itu sampai kesitu," terangnya.

Ternyata, bantuan subsidi upah (BSU) juga tak luput dari bidikan Said Iqbal. Ia menilai besaran Rp 600.000 untuk 4 bulan bagi pekerja dengan upah Rp 3,5 juta ke bawah adalah satu hal yang kurang tepat.

 

4 dari 4 halaman

Kelompok Urban

Ia menyebut, yang paling terdampak atas kenaikan harga BBM ini adalah kelompok urban, buruh menjadi salah satunya.

"BLT yang diberikan itu Rp 600.000 per 4 bulan sekaligus, atau sebulannya Rp 150.000, itu gula-gula, remeh temeh, itu pun untuk yang berupah paling tinggi Rp 3,5 juta (perbulan). Loh yang terdampak itu masyarakat urban, buruh itu urban, dia kan kontrakan naik, ongkos transportasi naik, harga warung tegal naik, warung padang naik," kata dia.

"Itu tempat ekonomi kecil itu berubah, bukan hanya di pendapatan Rp 3,5 juta (perbulan) kebawah, ini akan terkena dampak, terus dikasih gula-gula, ya gaakan berimbas kenaikan daya beli," imbuhnya.