Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia masih terbilang rendah, berbanding terbalik dibandingkan inklusi keuangan yang terus meningkat.
Menurut hasil survei indeks inklusi dan literasi keuangan OJK pada 2019, tingkat literasi masyarakat berada di 38 persen, berbanding terbalik dengan inklusi keuangan masyarakat yang telah mencapai 78 persen.
Baca Juga
Direktur Humas OJK Darmansyah, mengatakan adanya gap ini dapat memberikan risiko yang berhubungan dengan perlindungan konsumen.
Advertisement
“Jadi banyak yang pakai produk keuangan, tetapi tidak terlalu memahami produk tersebut. Akhirnya, ada risiko yang berhubungan dengan perlindungan konsumen karena sudah pakai produknya tetapi belum terlalu memahami karena literasinya rendah,” ujar Darmansyah dalam kelas jurnalis, Selasa (6/9/2022).
Strategi OJK Meningkatkan Literasi Keuangan
Menanggapi literasi keuangan masyarakat yang masih rendah, OJK menjelaskan ada beberapa strategi yang akan dilakukan demi mendorong tingkat literasi keuangan. Ada 5 strategi yang akan dilakukan OJK yaitu sebagai berikut:
1. Strategi Secara Online dan Offline
Darmansyah menjelaskan, strategi ini dilakukan untuk mendorong jangkauan literasi keuangan yang lebih luas kepada masyarakat Indonesia.
“Dari sisi jangkauan lebih luas secara online, tapi secara efektifitas kami masih mengkaji lagi. Bagi daerah-daerah yang tidak dapat dijangkau secara online, kita akan gunakan strategi offline,” jelas Darmansyah.
2. Pengembangan Infrastruktur
Dalam strategi ini, OJK menyiapkan buku baik secara digital dan non digital hingga Learning Management System. Untuk buku mengenai literasi keuangan, OJK menyiapkan dari tingkat pendidikan PAUD hingga perguruan tinggi, dan buku perencanaan keuangan keluarga.
3. Penguatan Sinergi dan Aliansi Strategis
OJK juga menjalin kerjasama dengan kementerian lembaga dan instansi lain. Misalnya dengan kementerian ekonomi terkait inklusi dan pemanfaatan literasi ke berbagai kementerian.
“Ini diharapkan mendorong kepentingan literasi dan inklusi keuangan,” ujar Darmansyah.
4. Penguatan Kebijakan/Regulasi
Dalam strategi ini, OJK harus mengatur dengan aturan yang sedikit memaksa bagi para pelaku usaha terkait literasi keuangan. Misalnya pelaku usaha harus melakukan kegiatan literasi dan inklusi minimal 1 tahun sekali dan melaporkan ke OJK.
5. Program Peningkatan Literasi Keuangan Syariah dan Pasar Modal
Peningkatan literasi keuangan syariah dan pasar modal menjadi sasaran yang perlu ditingkatkan OJK mengingat dua sektor ini masih sangat rendah baik dari inklusi maupun literasinya.
Meskipun begitu, Darmansyah menuturkan tidak mudah untuk menjalankan strategi tersebut demi meningkatkan literasi keuangan masyarakat Indonesia karena ada beberapa tantangan yang dihadapi OJK.
“Ada beberapa faktor yang menjadi tantangan untuk meningkatkan literasi keuangan yaitu dari faktor geografis, gap indeks literasi inklusi, akses internet, akses jasa keuangan, demografi penduduk, hingga tingkat pendidikan dan perekonomian,” tutur Darmansyah.
Saat ini OJK tengah melakukan survei terbaru terkait tingkat inklusi dan dan literasi keuangan di Indonesia yang sudah memasuki tahap pengambilan data. Pada survei tahun ini, OJK menggunakan indeks usage atau penggunaan untuk mencari indeks tingkat literasi dan inklusi keuangan di Indonesia.
Advertisement
39 Persen Anak Muda Ingin Kaya, Tapi Minim Literasi Keuangan
Sebelumnya, sebagian besar anak muda ingin hidup kaya. Mindset untuk hidup kaya ini bersumber dari media sosial. Namun sayangnya, tak banyak anak muda yang sudah memiliki literasi keuangan yang naik. Hal ini membuat mindset kaya yang dibayangkan sulit untuk dikejar.
Survei yang dilakukan oleh NielsenIQ Indonesia berkolaborasi dengan OCBC NISP terhadap literasi finansial keuangan bagi generasi kelompok usia muda menyimpulkan bahwa 39,92 persen kelompok muda ingin kaya.
Survei tersebut dilakukan kepada 1.335 responden berusia 25-35 tahun yang tersebar di kota Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Medan, dan Makasar.
"Ada mindset kaya yang dimiliki, 39,92 persen. Orientasi kaya di sini adalah memiliki rumah mewah, memiliki tanah, memiliki barang bermerek atau barang mewah," kata Inggit, Jakarta Pusat, Senin (15/8).
Pemicu kelompok usia muda untuk berorientasi mindset kaya bersumber dari media sosial. Gaya hidup di media sosial yang kerap memamerkan kehidupan mewah memantik kelompok usia muda bahwa kaya adalah memiliki sejumlah aset.
Inggit tidak mempermasalahkan soal mindset kaya bagi kelompok usia muda, hanya saja kondisi ini bisa dioptimalkan dengan peningkatan literasi keuangan. Sebab, dari hasil survei yang dilakukan NielsenIQ Indonesia, hanya 9 persen responden yang sudah memiliki tabungan dalam bentuk investasi.
Menabung dalam bentuk investasi dinilai cukup penting untuk mencapai kemandirian finansial di saat usia pensiun.
Kebiasaan Keuangan Perlu Dibenahi
Selain itu, Inggit menyampaikan, sebanyak 76 persen masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan keuangan yang perlu dibenahi, seperti mengeluarkan uang demi mengikuti gaya hidup teman. Sebab dari persentase ini, sekitar 80 persen, responden tidak melakukan pencatatan anggaran, dan hanya 26 persen yang memiliki dana darurat.
Bahkan, hanya 9 persen dari generasi muda yang telah memiliki produk investasi seperti reksadana, saham, dan tabungan berjangka.
Selain itu, hanya 17 persen yang sudah memiliki pendapatan pasif, 8 persen yang menggunakan uang sesuai anggaran dan hanya 22 persen yang benar-benar paham mengenai produk investasi yang mereka miliki.
Inggit berpesan bahwa untuk mencapai kemandirian finansial bukan soal seberapa besar penghasilan seseorang. Sebab, dari survei yang ia lakukan, kalangan dengan berpenghasilan minimal Rp 5 juta hingga Rp 15 juta mengalami pergerakan cukup positif dalam pengelolaan keuangan.
Advertisement