Sukses

21 Juta Konsumen Beralih ke Belanja Online Selama Pandemi Covid-19

Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki menyebut selam pandemi Covid 19 transaksi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di market place online mengalami peningkatan sebanyak 26 persen.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki menyebut selama pandemi Covid-19 transaksi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di market place online mengalami peningkatan sebanyak 26 persen.

Teten menjelaskan sebanyak 3,1 juta transaksi per hari dengan kenaikan 35 persen pengiriman barang dan selama pandemi juga banyak UMKM yang terhubung dengan digitalisasi yang mampu bertahan menahan goncangan gejolak ekonomi yang terjadi.

"Selama pandemi kita sudah tahu UMKM yang sudah terhubung ke platform digital yang paling bisa bertahan bahkan tumbuh. Potensi eko digital terus tumbuah tahun ini nilainya sekitar Rp 632 triliun tapi diprediksi 30 akan terus tumbuh Rp 4,531 triliun. Tentu ini pertumbuhan yang sangat signifikan jadi bisa 8 kali lipat dalam 10 tahun," ujar Teten, Jakarta, Selasa (6/9).

Dia mengungkapkan sebanyak 21 juta konsumen digital baru masuk sejak awal pandemi, yakni bermigrasi dari kebiasaan berbelanja offline menjadi belanja online.

"Sejak awal pandemi ada migrasi konsumen offline ke digital. Ini juga ada kaitannya bukan hanya pandemi. Tetapi juga di online itu banyak kemudahan dan banyak insentif juga," terang Teten.

Tak hanya itu, lanjutnya, 72 persen konsumen yang belanja online bukan hanya dari kota metropolitan saja melainkan konsumen dari luar daerah.

"Artinya ini digitalisasi sudah sampai ke daerah. Nah konsumennya juga menjadi luas tidak hanya Jabodetabek saja," lanjutnya.

Pemanfaatan ekonomi digital menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan dalam proses bisnis UMKM. Oleh karena itu pemerintah tidak hanya mendorong para UMKM untuk go digital saja, tetapi juga dalam digitalisasi dalam proses bisnis, adaptasi dalam proses transformasi digital ini menjadi kunci bagaimana UMKM memiliki resiliensi.

2 dari 4 halaman

Belanja Online Bakal Kena Bea Meterai Rp 10 Ribu, Ini Fakta Sebenarnya

Sebelumnya, sejumlah transaksi digital, termasuk belanja online di e-commerce akan dikenai bea meterai oleh pemeritah jika transaksi melebihi angka Rp 5 juta. Saat ini pemerintah tengah mengkaji untung dan rugi dari rencana tersebut. 

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, Neilmaldrin Noor menjelaskan, bea meterai merupakan pajak atas dokumen. Artinya pengenaanya bergantung pada dokumen jenis tertentu. Hal ini berbeda dengan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) yang ada pada transaksi jual-beli.

"Bea meterai merupakan pajak atas dokumen sehingga pengenaannya tergantung pada keberadaan dokumen jenis tertentu, bukan atas jenis barang sebagaimana pengenaan PPN," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor kepada merdeka.com, Jakarta, Sabtu (18/6/2022).

Saat ini Direktorat Jenderal Pajak masih melakukan pembahasan dengan asosiasi e-commerce Indonesia yakni idEA (Indonesia E-Commerce Association). Pembahasan yang dimaksud mengenai penentuan kriteria yang akan dikenakan bea meterai Rp 10.000 tersebut.

"Khususnya mengenai mekanisme pemeteraian atas dokumen yang terutang bea meterai sebagaimana Pasal 3 UU 10 tahun 2020," tutur Neil.

Namun secara teknis, Neil belum bisa memberikan penjelasan lebih lanjut. Sebab proses pembahasan dan ketentuan pelaksanaanya masih dalam tahap pembahasan.

"Kita tunggu nanti hasil pembahasan dan ketentuan petunjuk teknisnya keluar ya," katanya.

3 dari 4 halaman

Platform E-Commerce Bakal Dikenakan Bea Materai, Ekosistem Terganggu?

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine menyayangkan, rencana kebijakan mengenai pengenaan e-materai pada T&C digital yang rencananya akan dikenakan ke platform digital, termasuk e-commerce. Menurutnya, aturan ini dinilai tidak tepat apabila dijalankan saat ini.

Pingkan menjelaskan upaya pemerintah dalam transformasi digital juga mencakup agenda digitalisasi ekonomi dengan menargetkan masuknya 20 juta UMKM ke platform digital. Jumlah UMKM yang menggunakan platform e-commerce pun ditargetkan mencapai 30 juta pada 2024.

"Ada tiga hal yang saya soroti di sini. Pertama, perlu adanya sosialisasi mengenai kebijakan ini dengan informasi yang komprehensif, kepada para pelaku usaha baik mikro, kecil, dan menengah," kata Pingkan kepada wartawan, Jumat (10/6/2022).

"Apalagi sampai saat ini tidak banyak sosialisasi maupun pemberitaan mengenai e-materai, termasuk mengenai tata cara penggunaanya, kemudian apa saja yang termasuk ke dalam objek bea materai elektronik, maupun dampaknya bagi ekosistem ekonomi digital Indonesia," tambah Pingkan.

4 dari 4 halaman

Sosialisasi Minim

Minimnya sosialisasi ini juga berpotensi memunculkan penolakan tidak hanya dari platform digital tapi juga masyarakat selaku pengguna. Oleh karena itu, Pingkan menyarankan adanya kajian mendalam mengenai biaya operasional dan manfaat sehingga tidak kontra produktif terhadap upaya digitalisasi UMKM maupun peningkatan transaksi digital.

"Terakhir, mengenai kesiapan pemerintah dari segi sumber daya manusia maupun juga infrastruktur dalam memungut bea materai elektronik atau e-materai dan menyediakan sistem pencatatan hingga keamanan pengumpulan datanya perlu menjadi prioritas sebelum merealisasikan rencana kebijakan ini," ujar dia.

Pengamat UMKM dari Universitas Indonesia, Nining Indroyono turut menjelaskan dua dampak pengenaan bea meterai. Pertama, menambah biaya transaksi yang bisa menimpa beban lebih berat ke konsumen atau ke produsen atau dua-duanya.

Di sisi lain, dari segi penerimaan, aturan ini akan menambah pemasukan negara. "Nah dampak negatif di butir satu dibanding dampak positif di butir dua ini perlu dihitung dulu, mana yang lebih besar. Baru bisa diketahui secara keseluruhannya hasilnya akan positif atau negatif," pungkasnya. Â