Sukses

Dibayangi Kebijakan Agresif Bank Sentral Dunia, Rupiah Menguat ke 14.901 per Dolar AS

Pagi ini rupiah memang menguat sedikit, namun masih tetap berada di atas level 14.900 per dolar AS.

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat pada pada Kamis pagi. Namun penguatan nilai tukar rupiah ini maish dibayangi kebijakan moneter yang agresif dari bank sentral global.

Pada Kamis (8/9/2022), rupiah menguat 17 poin atau 0,11 persen ke posisi 14.901 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 14.918 per dolar AS.

Ekonom Senior Mirae Asset Sekuritas Rully Arya mengatakan, pagi ini rupiah memang menguat sedikit, namun masih tetap berada di atas level 14.900 per dolar AS.

"Kemungkinan masih akan tetap di kisaran itu, mengingat tren dalam beberapa waktu terakhir dolar AS terus menguat terhadap mata uang lainnya," ujar Rully dikutip dari Antara.

Investor tengah menanti jalur kebijakan moneter global jelang keputusan suku bunga Bank Sentral Eropa (ECB) dan komentar dari Ketua Federal Reserve (Fed) Jerome Powell di kemudian hari.

Powell akan berpartisipasi dalam diskusi di Konferensi Cato Institute, dengan para pejabat The Fed segera memasuki periode blackout sebelum pertemuan bank sentral AS pada 20-21 September.

Retorika baru-baru ini terus menjadi hawkish secara keseluruhan, dengan Presiden The Fed Boston Susan Collins mengatakan semalam bahwa membawa inflasi kembali ke level 2 persen adalah pekerjaan utama bank sentral.

Sementara Wakil Ketua The Fed Lael Brainard berkomentar bahwa kebijakan moneter ketat akan berlanjut selama yang diperlukan untuk menurunkan inflasi.

Pasar uang memberikan peluang 79 persen bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga 75 basis poin lagi pada pertemuan bulan ini, yang akan meningkatkan suku bunga Fed Fund Rate menjadi 3 persen hingga 3,25 persen.

Sementara ECB secara luas diperkirakan juga akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (bps) pada Kamis ini untuk melawan inflasi yang tidak terkendali.

"Kalau dari dalam negeri belum banyak sentimen yang bisa mendorong rupiah, tapi overall kondisi ekonomi masih cukup baik. Cadangan devisa juga masih mencukupi, eksternal balance kuat, tapi memang lebih banyak dipengaruhi oleh sentimen global," kata Rully.

Rully memperkirakan hari ini rupiah akan bergerak di kisaran level 14.895 per dolar AS hingga 15.925 per dolar AS.

2 dari 3 halaman

Kurs Rupiah Diramal BI Jeblok ke Posisi Rp 15.200 per Dolar AS di 2023, Ini Penyebabnya

Bank Indonesia memprediksi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akan semakin melemah pada 2023 mendatang. Terdapat sejumlah faktor yang membebani kurs rupiah di tahun depan.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memprediksi, nilai tukar atau kurs rupiah tahun ini berada di kisaran Rp 14.500-14.900 per dolar AS, dan terDepresiasi hingga Rp 14.800-15.200 per dolar AS pada 2023.

Alasannya, The Fed selaku bank sentral Amerika Serikat telah menaikan suku bunga acuannya (The Fed Fund Rate) sebanyak empat kali selama 2022 ini, atau sebesar 225 basis poin menjadi 2,25-2,50 persen.

Kebijakan tersebut turut berdampak terhadap kenaikan imbal hasil US Treasury, sehingga berpotensi menyebabkan maraknya modal asing yang keluar (capital outflow) dari negara-negara berkembang seperti Indonesia.

"Faktor negatifnya tentu saja kenaikan suku bunga tinggi, baik The Fed Fund Rate maupun US Treasury, sehingga capital outflow risikonya masih tinggi. Sehingga keseluruhan 2022 kami perkirakan nilai tukar Rp 14.500-14.900, Di 2023 nilai tukar berada di Rp 14.800-15.200," jabar Perry dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Rabu (31/8/2022).

 

 

3 dari 3 halaman

Ketidakpastian

Selain itu, ia menambahkan, situasi ekonomi dunia yang masih diselimuti ketidakpastian juga akan mempersulit pihak bank sentral, termasuk nilai tukar rupiah ke depan.

Perry lantas mencontohkan, ketidakpastian ini terjadi akibat pandemi Covid-19 yang masih terjadi, gangguan rantai pasok global, konflik geopolitik Ukraina-Rusia, hingga ketidakpuasan sosial di negara-negara maju.

"Perkembangan-perkembangan ini sangat dinamis. Berbagai ketidakpastian itu mempersulit kita untuk memperkirakan ke depan," ujar Perry.

Â