Sukses

Harga Solar Naik Dadakan, Sopir Truk Logistik Rugi

Para sopir truk logistik yang dianggap sebagai ujung tombak perekonomian di Indonesia merasa keberatan dengan kenaikan harga solar

 

Liputan6.com, Jakarta Para sopir truk logistik yang dianggap sebagai ujung tombak perekonomian di Indonesia merasa keberatan dengan kenaikan harga solar yang diumumkan pemerintah secara tiba-tiba.

Banyak para sopir truk logistik yang posisi muatannya masih dalam keadaan di perjalanan menjadi rugi dengan peristiwa ini.

“Banyak para sopir truk yang posisi muatannya dalam keadaan di perjalanan saat kenaikan harga BBM itu diumumkan. Dan muatannya itu masih muatan harga yang lama dan belum mengikuti harga kenaikan haga BBM. Jelas itu sangat merugikan kami para sopir truk,” ujar Princes Asami Athena, Penangung jawab Aliansi Perjuangan Pengemudi Nusantara (APPN), Jumat (9/9/2022).

Dia mengatakan banyak para sopir truk logistik yang tiba-tiba dibuat kaget saat mengisi solar di SPBU pada jam 14.30 (saat pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM) dengan harga yang sudah naik menjadi Rp 6.800.

“Ini jelas menjadi kerugian besar para sopir truk. Otomatis para sopir truk ini pulang sudah tidak membawa uang lagi untuk keluarga mereka,” ucap Inces, sapaan akrabnya.

Dia juga mengkritisi waktu pengumuman kenaikan BBM yang dilakukan pemerintah di siang hari (pukul 14.30 WIB). “Kenaikan ini kenapa harus di jam kerja, kenapa tidak seperti dulu dilakukan di malam hari. Kalau begini kami ruginya jadi double. Karena ongkos muatan kami saat pengumuman itu kan masih menggunakan harga lama. Jelas kami protes,” katanya.

“Bahkan, ada kawan-kawan kami yang sudah berhari-hari dan berminggu-minggu menunggu ongkos balen hanya untuk pulang. Tapi di tengah jalan dengan adanya kenaikan ini menjadi dampak yang luar biasa untuk mereka. Mereka terpaksa harus cari utangan untuk sampai rumah. Karena ongkosnya itu masih menggunakan ongkos lama,” tambahnya.

 

2 dari 3 halaman

Dianggap Selalu Mengalah

Menurutnya, para sopir truk logistik ini sudah terlalu banyak mengalah dan diam dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah termasuk juga pemberlakukan Zero ODOL (Over Dimension Over Load).

“Padahal, kami selama ini dianggap sebagai ujung tombak penggerak perekonomian negara, tapi kenapa kami sering kali yang tertombak oleh kebijakan pemerintah tanpa mengajak kami berunding,” ujarnya.

Dia mengatakan, “Pemerintah menyarankan masyarakat untuk mandiri dan tidak adanya lagi subsidi pada kami. Lantas apakah pemerintah juga siap jika kami juga melakukan hal yang sama. Kami ingin pemerintah mandiri dengan tidak melakukan pembayaran pajak. Kira-kira pemerintah mau nggak.”

Jika keluhan mereka ini tidak diindahkan pemerintah, dia bersama komunitas sopir truk lainnya akan melakukan aksi damai dan mogok kerja. “Kami akan melakukan aksi protes kepada pemerintah agar mau mengkaji kembali kenaikan solar ini agar tidak membebani kami para sopir truk logistik,” tukasnya.

Sebelumnya, dia juga mempertanyakan tanggung jawab pemerintah terhadap dampak yang ditimbulkan kebijakan Zero ODOL ini terhadap ekonomi keluarga para sopir truk yang ada di Indonesia.

“Pemerintah tahu nggak apa yang terjadi terhadap keluarga kami jika peraturan Zero ODOL ini diterapkan. Pemerintah harus tahu bahwa masing-masing driver logistik itu rata-rata harus menghidupi beberapa orang di rumahnya, bisa 5, bisa 6, bisa 7. Jadi, kebutuhan kami itu terus meningkat,” katanya.

 

3 dari 3 halaman

Jadi Bumerang

Tapi terkait dengan aturan yang dibuat pemerintah termasuk salah satunya Zero ODOL ini, Inces mengatakan itu seakan menjadi bumerang untuk para sopir logistik jika diterapkan. Menurutnya, yang diinginkan APPN adalah pemerintah mau duduk bersama dengan para driver sebelum membuat peraturan itu.

“Kalau memang betul mereka mau membuatkan aturan, ayo duduk bersama kami biar kami juga bisa melihat sisi baiknya bagaimana. Jika memang kami diarahkan ke kanan, resiko yang kami dapat itu bagaimana. Jika kami diarahkan ke kiri, resiko yang kami dapat itu bagaimana. Kami sangat paham urusan di jalan itu semua terkait dengan resiko dan bagaimana meminimumkan resiko itu. Tapi, ya jangan sampai resiko-resiko itu berbentur kembali dan menjadi bumerang untuk kami juga,” tukasnya.

Dia mencontohkan seperti pemotongan truk yang biayanya harus ditanggung juga oleh para driver. “Mobil kami sudah dipotong, penggantian biaya kami belum pasti dari siapa. Ini kan namanya bumerang buat kami,” cetusnya.