Sukses

Ombudsman Bongkar Temuan Maladministrasi Tata Kelola Minyak Goreng

Tindak maladministrasi ini didapati dari kebijakan pemerintah menempatkan pelaku usaha sawit dan minyak goreng dalam proses stabilisasi harga.

Liputan6.com, Jakarta
 
Ombudsman RI merilis Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) terkait praktik maladministrasi dalam penyediaan dan stabilisasi harga minyak goreng. 
 
Dalam proses pemeriksaan, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika membocorkan adanya tindakan tak sesuai kaidah dalam tata kelola minyak goreng yang dilakukan pemerintah.  
 
"Satu, dari tidak prudent-nya dalam mengeluarkan kebijakan. Kebijakan itu intinya tidak didahului ataupun disertai dengan kajian yang komprehensif. Tidak disertai dengan kemampuan untuk memitigasi risiko. Dampaknya bagaimana ke depan, awal mulanya di sini, kebijakan," terangnya di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Selasa (13/9/2022).
 
Kedua, Yeka melanjutkan, tindak maladministrasi ini didapati dari kebijakan pemerintah menempatkan pelaku usaha sawit dan minyak goreng dalam proses stabilisasi harga.
 
Menurut dia, itu cenderung belum sesuai dengan aturan perundang-undangan. 
 
"Nah, ini kan pelaku usaha dimasukkan di sana. Sebetulnya itu kurang pas, enggak boleh. Makanya (harga eceran tertinggi) HET tidak pernah terwujud. Nah, siapa yang harus melakukan penugasan itu? Harus instrumen pemerintah," bebernya. 
 
"Siapa? Ya BUMN. Enggak bisa penugasan itu dilaksanakan oleh swasta. Itu pada intinya," tegas Yeka. 
 
Berikutnya, Ombudsman RI juga mengkaji Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait bea keluar.
 
Kata Yeka, regulasi itu dibuat tidak hati-hati, lantaran pengenaan pajak minyak sawit mentah (CPO) yang tinggi kala harga dunia turun.  
 
"Dulu bea keluar misalnya USD 200, tapi harga rata-rata dunia USD 1.750 per ton, harga referensi USD 1.250 per ton, ada insentif di situ. Tapi begitu ada regulasi yang baru nomor 98, pajaknya ditingkatkan jadi USD 288, harga referensinya USD 1.500, harga real-nya USD 1.400. Ya disinsentif, orang enggak mau ekspor, rugi dia ekspor, kan pajaknya tinggi," paparnya. 
 
Melalui LAHP yang dikeluarkan, Ombudsman memberi waktu 60 hari kepada  beberapa instansi terkait, semisal Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan untuk memberi jawaban. Tidak harus dilaksanakan, karena penyusunan regulasi juga membutuhkan waktu. 
 
"Oleh karena itu, yang paling penting rencana aksinya harus ada. Tetapi nanti kami tentunya akan breakdown, mana yang bisa dilakukan dengan cepat, itu harus dilakukan. Oleh karena itu, 30 hari ke depan kita akan lakukan monitoring, kita akan datang ke semuanya," tuturnya. 
 
2 dari 2 halaman

Beri Waktu 60 Hari

Melalui LAHP yang dikeluarkan, Ombudsman memberi waktu 60 hari kepada beberapa instansi terkait, semisal Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan untuk memberi jawaban. Tidak harus dilaksanakan, karena penyusunan regulasi juga membutuhkan waktu. 

"Oleh karena itu, yang paling penting rencana aksinya harus ada. Tetapi nanti kami tentunya akan breakdown, mana yang bisa dilakukan dengan cepat, itu harus dilakukan. Oleh karena itu, 30 hari ke depan kita akan lakukan monitoring, kita akan datang ke semuanya," tuturnya. 

Â