Sukses

Skema Pembayaran Diubah, Pertamina dan PLN Terima Duit Subsidi per 3 Bulan

Pemerintah akan mengubah skema pembayaran subsidi atas penugasan negara kepada PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menjadi setiap 3 bulan sekali

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah akan mengubah skema pembayaran subsidi atas penugasan negara kepada PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menjadi setiap 3 bulan sekali. Sebelumnya, skema pembayaran subsidi dilakukan per semester.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, skema anyar tersebut berlaku efektif mulai tahun 2023 mendatang. Meski begitu, Sri Mulyani dan tidak menyinggung terkait pengubahan skema pembayaran kompensasi.

"Berbeda dengan selama ini (per semester), " kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Banggar DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (14/9).

Bendahara Negara ini menyampaikan, penerapan skema anyar pembayaran subsidi tersebut diperlukan untuk membuat keuangan Pertamina dan PLN tetap sehat. Selain itu, skema ini diyakini membuat kinerja APBN menjadi lebih fleksibel.

"Ini agar cashflow yang ada di Pertamina, PLN (sehat), dan juga dari sisi akurasi refleksi dari APBN kita menjadi jauh lebih fleksibel," bebernya.

Adapun, selama ini skema pembayaran subsidi dan kompensasi mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Selama ini kita memang dalam melakukan pembayaran subsidi mengikuti mekanisme yang dalam hal ini diatur oleh peraturan perundang-undangan, yaitu biasanya menunggu sampai akhir tahun," tutupnya.

 

2 dari 4 halaman

Sri Mulyani Tambah Anggaran Subsidi Energi 2023 Sebesar Rp 1,3 Triliun

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menambah anggaran subsidi energi tahun 2023 sebesar Rp 1,3 triliun. Dengan ini, total nilai anggaran subsidi energi di tahun depan menjadi Rp 212 triliun dari sebelumnya Rp 210,7 triliun.

"Anggaran subsidi energi tahun 2023 mengalami peningkatan Rp 1,3 triliun," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Banggar DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (14/9).

Dalam bahan paparannya, anggaran tersebut subsidi energi diperuntukkan untuk LPG 3 Kg senilai Rp 117,8 triliun. Angka ini naik Rp 400 miliar dari RAPBN 2023 sebesar Rp 117,4 triliun.

Kemudian, subsidi listrik sebesar Rp 72,6 triliun. Angka ini naik sebanyak Rp 200 miliar dari RAPBN 2023 Rp72,3 triliun.

Terakhir, subsidi jenis BBM tertentu mencapai Rp 21,5 triliun. Nilai ini naik sebanyak Rp 600 miliar dari RAPBN 2023 sebesar Rp 20,9 triliun.

Sri Mulyani mengatakan, penambahan anggaran subsidi energi tersebut akibat penyesuaian nilai tukar Rupiah terhadap USD.

Tercatat, nilai tukar diproyeksikan meningkat Rp 14.800 per USD dari asumsi RAPBN 2023 sebesar Rp 14.750. "Sementara proyeksi ICP tetap sebesar USD 90 per barel," pungkasnya.

Sebelumnya, Sri Mulyani menjelaskan jika kenaikan subsidi dan kompensasi energi sebesar 30 persen di 2022, termasuk untuk solar dan pertalite.

"Saya rasa akan cukup untuk setidaknya mengkompensasi kenaikan, harga bahan bakar, yang bahkan di atas 100 dolar per barel, rata-rata selama 8 bulan,” ujarnya.

Pemerintah saat ini sedang melihat apakah jumlah subsidi BBM tahun 2022 akan melewati angka Rp 502,4 triliun. Diprediksi kenaikannya bisa mencapai Rp 649 triliun jika asumsi harga BBM bertahan di atas USD 100 yaitu USD 105.

 

3 dari 4 halaman

Revisi Perpres Pembatasan BBM Subsidi Tak Kunjung Terbit, Kriteria Mobil Bikin Pembahasan Alot

Revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tak kunjung diterbitkan, padahal aturan ini jadi kunci penyaluran BBM Subsidi secara tepat sasaran. Pembahasan kriteria kendaraan disebut-sebut jadi biang kerok lambatnya revisi aturan tersebut diterbitkan.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menaksir pembahasan kriteria kendaraan yang berhak mendapat akses membeli Pertalite jadi perbincangan alot. Bahkan, ia menduga banyak kepentingan yang terlibat dari satu aspek ini saja.

"Ini yang saya heran, kok ya lama banget keluarnya, sepertinya alot terkait dengan kriteria kendaraan yang berhak menerima BBM subsidi. Ini bicara soal efektifitas pembatasan, tarik ulurnya disini, selain itu diperhitungkan juga potensi dampak ekonomi yang dihasilkan," ujarnya kepada Liputan6.com, Selasa (13/9/2022).

"Nah ini yang belum clear, karena saya kira banyak kepentingan yang terlibat," imbuh Mamit.

Untuk diketahui, revisi Perpres 191/2014 rencananya rampung dan terbit pada Agustus 2022. Namun, hingga saat ini, belum ada kabar kapan revisi aturan tersebut diterbitkan.

Revisi yang dilakukan berkaitan dengan kriteria kendaraan yang berhak mendapatkan BBM Subsidi termasuk Solar dan Pertalite. Kemudian, adanya batasan penyaluran, hingga pengawasan hukumnya.

Mamit mengamini, berbagai aspek yang diatur dalam beleid itu nantinya akan juga mencakup sanksi bagi pelanggar. Tujuannya memberikan efek jera bagi konsumen yang tak taat aturan.

Beberapa waktu lalu beredar di media sosial soal kriteria mobil yang tak boleh mengakses Pertalite. Kabar itu menyebut pembatasan dilakukan untuk mobil dengan kapasitas mesin 1.400 CC. Namun, angka ini masih belum pasti, karena revisi Perpres 191/2014 yang tak kunjung terbit.

Mamit mengaku belum menemukan aspek lain yang bisa menjadi potensi molornya Perpres 191/2014 terbit. Padahal, ada cara lebih sederhana dalam melakukan pembatasan akses BBM Subsidi.

"Kayaknya di situ aja (potensi alot), saya belum menemukan aspek lain yang cendrung tarik menarik. Kalau pemerintah mau ketat dan mau lebih mudah saya kira ditambahkan opsi BBM subsidi hanya untuk angkutan umum plat kuning, UMKM, nelayan, petani dan juga roda 2, aman itu sudah kalau menurut saya," bebernya.

4 dari 4 halaman

Jadi Kunci Pembatasan

Lebih lanjut, Mamit kembali menegaskan kalau Revisi Perpres 191/2014 memiliki peran penting dalam pembatasan BBM Subsidi. Aturan ini akan jadi pedoman petugas di lapangan khususnya SPBU Pertamina.

"Revisi Perpres 191/2014 merupakan kunci dalam pembatasan BBM bersubsidi. Hal ini diperlukan agar teman-teman Pertamina terutama petugas SPBU merasa tenang dalam menjalankan tugas di lapangan," ujarnya.

Ini juga sekaligus merespons kabar adanya uji coba pembatasan pembelian Pertalite yang dilakukan oleh Pertamina di beberapa SPBU. Padahal, pedoman aturannya belum terbit, sehingga ini disinyalir menimbulkan konflik baru di lapangan.

"Terjadinya konflik antara petugas SPBU dengan konsumen terkait uji coba pembatasan Pertalite. Jika pemerintah serius melakukan pembatasan, segera terbitkan revisinya. Kasihan Pertamina dan petugasnya," kata Mamit.