Liputan6.com, Jakarta - PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) menyampaikan pertumbuhan kinerja finansial perseroan, pada acara Public Expose Live 2022 yang diselenggarakan Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (15/9/2022).
Pada semester pertama 2022, BMRI berhasil mencatatkan kinerja mentereng yang ditunjukkan dari pencapaian laba bersih sebesar Rp 20,2 triliun atau melesat 61,7 persen secara tahunan.
Baca Juga
Liburan Akhir Tahun Bersama Indonesia International Stuntman Show di TMII, Beli Tiket via Livin' by Mandiri
Bank Mandiri Jadi Penyalur FLPP dengan Tingkat Keterhunian Terbaik, Komitmen Perluas Akses KPR bagi MBR
Tingkatkan Literasi Keuangan, Bank Mandiri Kenalkan Produk Perbankan ke 93.000 Pelajar di Indonesia
Adapun, peningkatan laba bersih didapat dari pendapatan Bunga Bersih perseroan yang meningkat jadi Rp 41,8 triliun, atau tumbuh 19,0 persen secara tahunan.
Advertisement
Pendapatan Non-Bunga sebesar Rp 16,1 triliun, atau tumbuh 1,0 persen tahunan. Total Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp 1.318 triliun, atau tumbuh sebesar 12,8 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya.
Direktur Keuangan dan Strategi Bank Mandiri, Sigit Prastowo mengatakan dari segi pertumbuhan aset dan total kredit Bank Mandiri pada semester I 2022 juga meningkat.
“Total asset sebesar Rp 1.786 triliun, atau tumbuh sebesar 13,0 persen Year on Year (YoY). Sedangkan untuk total kredit sebesar Rp 1.138 triliun, atau tumbuh 12,2 persen YoY,” ujar Sigit.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual saham. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Target Kredit Lebih Rendah
Target Kredit Diprediksi Lebih Rendah pada 2023
Direktur Manajemen Risiko, Bank Mandiri, Ahmad Siddik Badruddin menyebut tingkat pertumbuhan kredit industri perbankan diprediksi bakal lebih rendah pada 2023 dibandingkan 2022.
Menurut Ahmad, hal ini terkait kebijakan restrukturisasi kredit selama pandemi Covid-19 yang kemungkinan tidak akan berlanjut pada tahun depan.
“Tahun 2023 adalah tahun normalisasi di mana salah satu faktornya mengenai kemungkinan OJK tidak akan melanjutkan restrukturisasi kredit, sehingga akan terjadi normalisasi bank-bank untuk menyesuaikan kredit,” ujar Ahmad.
Adapun Ahmad menjelaskan di tahun depan masih terdapat beberapa hal yang kemungkinan dapat mendorong tingkat kredit perbankan.
“Pada 2023 kita masih melihat dampak dari perubahan makroekonomi dan kebijakan-kebijakan yang diambil The Fed dan Bank Sentral negara lainnya. Jadi, pertumbuhan kredit kemungkinan besar akan lebih rendah dari 2022,” jelas Ahmad.
Pembiayaan Bank pada Sektor Industri Pertambangan
Belum lama ini sederet bank-bank ternama secara global mulai menarik diri untuk membiayai sektor industri pertambangan batu bara. Hal ini disebabkan adanya penguatan komitmen iklim dan gelombang percepatan transisi energi di banyak negara.
Menanggapi hal ini, Sigit menyebut Bank Mandiri akan tetap mengevaluasi setiap kesempatan bisnis dalam semua sektor industri termasuk pertambangan, sperti batu bara.
“Setiap kredit proposal selalu kita evaluasi tidak ada yang spesial ataupun kriteria khusus dalam sektor tertentu. Setiap usulan proposal pasti kita evaluasi apakah layak untuk pendanaan atau tidak,” pungkas Sigit.
Advertisement
Bunga Acuan BI Naik, Bank Mandiri Tak Pangkas Target Penyaluran Kredit
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin menjadi 3,75 persen pada rapat yang berlangsung pada pekan ini. Kenaikan ini mendpaat sambutan positif dari PT Bank Mandiri Tbk.
Corporate Secretary Bank Mandiri Rudi As Aturridha menjelaskan, kenaikan suku bunga acuan tersebut tidak akan mempengaruhi target bisnis perusahaan. Bank Mandiri tidak akan menurunkan target penyaluran kredit maupun pengumpuan dana.
"Bank Mandiri tetap optimis target pertumbuhan kredit sebesar 11 persen hingga akhir 2022 dapat terealisasi dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian," ujarnya kepada Merdeka.com di Jakarta, Jumat (26/8/2022).
Rudi melanjutkan, sejak awal tahun lalu, Bank Mandiri telah menurunkan suku bunga deposito Rupiah secara agresif berkisar 50 sampai 75 bps dari sebelumnya 3,00 persen pada Maret 2021,menjadi 2,25 persen -2,50 persen pada Juli 2022.
Demikian pula untuk Suku Bunga Dasar Kredit yang secara rata-rata untuk seluruh segmen telah turun 167 bps selama tahun 2021 sampai 2022. "Penurunan terbesar pada suku bunga dasar kredit untuk segmen konsumsi," bebernya.
Adapun, saat ini tingkat likuiditas Bank Mandiri masih berada pada level ample atau likuid. Hal ini tercermin dari posisi Loan to Deposit Ratio (LDR) bank only Bank Mandiri per Juli 2022 yang terjaga pada level 87,48 persen dengan tren pertumbuhan dana pihak ketiga yang optimal serta didominasi oleh dana murah (CASA).
Tercatat per Juli 2022 total dana pihak ketiga (DPK) Bank Mandiri telah mencapai Rp 1.013,08 triliun. Angka ini tumbuh 8,78 persen secara year on year (yoy). Pertumbuhan tersebut antara lain disumbang oleh CASA yang tumbuh 11,82 persen yoy menjadi Rp 768,09 triliun.
"Menurut kami kenaikan bunga acuan tidak terlalu berdampak signifikan terhadap pertumbuhan kredit," pungkasnya.
Keputusan BI
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Agustus 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin menjadi 3,75 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 basis poin menjadi 3 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 basis poin menjadi 4,50 persen.
"Keputusan kenaikan suku bunga ini sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi dan inflasi volatile food," jelas Gubernur Bank Indonesia Perry Wajiyo pda 23 Agustus 2022.
Selain itu juga memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin kuat.
Bank Indonesia terus memperkuat respons bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan memperkuat pemulihan ekonomi.
Advertisement