Sukses

HEADLINE: Rencana Migrasi Penggunaan LPG 3 Kg ke Kompor Listrik Induksi, Plus Minusnya?

Untuk mengurangi beban subsidi gas, pemerintah menjalankan program konversi kompor gas ke kompor listrik.

Liputan6.com, Jakarta - Setelah menyelesaikan masalah pembengkakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan menaikkan harga, pemerintah saat ini beralih untuk menyelesaikan pembengkakan subsidi gas.

Jika pembengkakan subsidi BBM pemerintah memilih untuk menaikkan harga, dalam pembengkakan subsidi gas pemerintah memilih untuk melakukan migrasi atau konversi dari kompor gas menuju kompor listrik.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, mengutarakan, pemerintah tengah menjalankan program uji coba konversi kompor gas berbahan LPG 3 kg menuju kompor listrik atau kompor induksi.

Beban APBN dalam memberikan subsidi untuk tabung melon terus membengkak. Sebagai perbandingan, pada 2021 saja realisasi subsidi LPG 3 kg mencapai Rp 67,62 triliun, termasuk kewajiban kurang bayar Rp 3,72 triliun.

Di sisi lain, outlook subsidi BBM dan LPG 3 kg pada tahun ini mencapai angka Rp 149,37 triliun, atau 192,61 persen dari postur APBN 2022.

Menurut catatan Kementerian Keuangan, lebih dari 90 persen kenaikan nilai subsidi berasal dari kesenjangan harga jual eceran dengan harga keekonomian LPG 3 kg yang terlampau tinggi.

Sementara untuk 2023, pemerintah juga telah usul tambahan anggaran khusus untuk LPG tabung 3 kg sebesar Rp 400 miliar, sehingga total nilainya di tahun depan menjadi Rp 117,8 triliun.

Menteri Arifin mengatakan, pemerintah bersama PT PLN (Persero) tengah menggencarkan program konversi dari kompor gas menuju kompor listrik. Namun ia sadar, proses peralihan itu tidak akan bisa berjalan secara instan.

"Diminimalkan (penggunaan LPG 3 kg), tapi ini kan it takes time berapa tahun, supaya kita, mau enggak kita impor barang luar terus, enggak mau kan?" tanya Arifin pekan lalu.

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN telah melakukan uji klinis terhadap 2.000 proyek percontohan konversi kompor induksi di Surakarta (Solo) dan Bali.

"Program konversi kompor induksi ternyata terbukti memberikan penghematan APBN walaupun ini masih dalam skala uji klinis, yaitu 2.000 sampel saja. Dari sampel 23 keluarga penerima manfaat ada saving APBN sekitar Rp 20 juta per tahun," kata Darmawan.

Berdasarkan hitungan PLN, konversi kompor gas ke kompor induksi dalam skala yang lebih besar mampu menghemat APBN menghemat Rp 330 miliar per tahun untuk 300 ribu keluarga penerima manfaat pada 2022.

Program konversi tahun depan yang menyasar 5 juta keluarga penerimaan manfaat diproyeksikan bisa menghemat Rp 5,5 triliun per tahun.

Apabila jumlah keluarga penerimaan manfaat mencapai 15,3 juta, maka proyeksi penghematan APBN bisa mencapai Rp 16,8 triliun per tahun.

"Saving ini dari mana? Ini dari fakta bahwa per kilogram Elpiji biaya keekonomiannya adalah sekitar Rp 20 ribu, sedangkan biaya keekonomian (kompor induksi) sekitar Rp 11.300 per kilogram listrik ekuivalen," terang Darmawan.

Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan hasil studi terkait komparasi penggunaan antara kompor gas berbasis LPG 3 kg dan 12 kg, dengan kompor listrik atau kompor induksi.

Didapatkan bahwa program migrasi kompor listrik akan menurunkan biaya energi di sebagian besar tipe rumah tangga, hingga mencapai Rp 45 ribu lebih per bulan.

Mengutip hasil studi Badan Litbang ESDM, berdasarkan hasil survei Pranadji, Djamaludin, & Kiftiah (2010) terhadap 78 rumah tangga di Kota Bogor, rata-rata pemakaian LPG 3 kg per bulan sekitar 3,8 tabung.

Bila mengikuti asumsi faktor konversi 1 ton LPG sama dengan 8,5246 BOE, maka penggunaan 3,8 tabung LPG 3 kg per bulan sama dengan 82,1 kWh per bulan.

Hasilnya, pemakaian kompor induksi 2.000 W untuk rumah tanggal dengan tarif dasar listrik (TDL) 450 VA bakal menghemat biaya hingga Rp 45.756 per bulan dibandingkan gas melon.

Sementara untuk rumah tangga yang mengandalkan daya listrik lebih besar, 900 VA juga tetap bisa berhemat dengan meninggalkan tabung gas LPG 3 kg. Beban biaya bulanannya bisa terpangkas hingga Rp 30.169 per bulan dengan kompor listrik.

 

Sebar Kompor Gratis

Upaya mensukseskan program konversi ini, pemerintah akan membagikan kompor listrik kepada masyarakat secara gratis.

"Iya dibantu (kompor listrik oleh pemerintah)," kata Arifin Tasrif saat ditemui di Kementerian ESDM pada Senin 19 September 2022.

Senada, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, juga memastikan migrasi penggunaan kompor induksi akan dibantu oleh pemerintah.

Pengadaan kompor listrik akan dibagikan secara cuma-cuma baik saat proses uji coba maupun ketika migrasi bersama penggunaan kompor listrik.

"Iya gratis lah, kan namanya masih uji coba. Nanti pas implementasinya pasti gratis," kata Dadan di tempat yang sama.

Migrasi penggunaan kompor di kalangan masyarakat bukan yang pertama kali dilakukan. Sebelumnya di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun pernah melakukan migrasi kompor minyak tanah ke kompor gas.

"Dulu juga kan gratis waktu bagi LPG dengan kompornya. Kira-kira kita juga akan mirip seperti dia," tutur Dadan.

Sekjen Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, pemerintah berencana membagikan paket kompor listrik senilai Rp 1,8 juta. Paket tersebut akan dibagikan kepada 300 ribu keluarga.

"Jadi satu rumah itu dikasih satu paket," kata Rida Mulyana di Gedung DPR-RI, dikutip Rabu (21/9/2022).

Paket kompor listrik itu nanti akan dibagikan kepada masyarakat yang terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Paket senilai Rp 1,8 juta tersebut berisi kompor listrik (kompor induksi) dua tungku, alat masak dan Miniatur Circuit Breaker (MCB) yang berfungsi untuk mengatur kenaikan daya listrik di rumah tangga.

"Rp 1,8 juta itu rencana awal dengan dua tungku yang sama kapasitasnya," kata Rida.

Namun, lanjut dia, ada usulan kompor yang dibagikan hanya 1 tungku. Artinya kompor induksi ini memiliki daya yang lebih besar dan harganya naik. Namun hal ini masih dalam pembahasan.

"Nah masih dikalkulasi berapa harganya, harusnya kan nggak Rp 1,8 juta lagi, pasti lebih naik Rp 2 juta lah,” ujarnya.

Pembagian MCB ditujukan kepada pelanggan rumah tangga yang dayanya masih di bawah 1.000 VA. Pemberian MCB ini akan memudahkan pemerintah dalam menilai penggunaan bantuan di masyarakat.

 

2 dari 5 halaman

Pasokan Kompor Listrik Aman

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Taufik Bawazier menyampaikan, sebanyak 15,3 juta kompor induksi atau kompor listrik rencananya akan disuplai industri dalam negeri hingga 2025. Produksi akan dikebut mulai 2023 alias tahun depan.

Rata-rata produksi kompor listrik ditargetkan sebesar 5 juta unit setahun mulai 2023. Secara singkat, jumlah ini termasuk produksi awal, untuk uji coba di 2022 sebanyak 300 ribu kompor listrik. Kemudian meningkat ke 5 juta di 2023, 2024, dan 2025.

"Itu 2022, kemampuan nasional kita bisa 300 ribu buah, dan nanti ketika ada kepastian spek dan jenis daripada kompor induksinya itu berapa perusahaan aygn eksisting, yang ada memproduksi kompor listrik itu akan menambah line investasinya untuk khusus di kompor induksi, itu di 2023 5 juta, 2024 5 juta, 2025 5 juta," terang Taufik, Rabu (21/9/2022).

PT Adyawinsa Electrical and Power akan memproduksi sebanyak 300.000 kompor listrik di 2022. Dengan kapasitas produksi saat ini 10.000 kompor listrik perbulan yang bisa ditingkatkan menjadi 100.000 perbulan.

Kemudian, pada 2023, PT Adyawnsa Electrical and power akan memproduksi sebanyak 1,2 juta kompor listrik selama satu tahun.

PT Hartono Istana Teknologi dan Sutrado masing-masing memproduksi sebanyak 1 juta kompor listrik per tahun.

Selanjutnya, PT Maspion Elektronik dan PT Selaras Citra Nusantara masingn-masing akan memproduksi 300 ribu kompor listrik per tahun. Diikuti dengan industri lainnya dengan perkiraan 1,2 juta kompor listrik per tahun.

Secara teknis, dari sisi industri sudah siap memenuhi rencana tersebut. Kendati masih menunggu kepastian spesifikasi dan rincian yang nantinya ditetapkan oleh pemerintah.

"Kalau sisi daya ini ada 2 tungku, apakah 2 kali 1.200, atau 1.000- 1.200. Kalau dari postur dari sisi pengguna ini masih ada yang 450 VA, ada 900 VA itu tentunya juga harus di sesuaikan. dan tentunya kami juga sepihak bahwa jangan sampai konversi kompor induksi ini membebani masyarakat," terangnya.

Taufik menyebut kalau dengan adanya konversi ini turut membawa nilai tambah. Salah satunya turut berperan dalam hilirisasi hasil tambang dalam negeri.

Dari sisi produksi misalnya, setidaknya akan ada penambahan tenaga kerja sampai penambahan investasi, dengan begitu akan memperkuat tingkat kandungan dalam negeri (TKDN).

"Jadi pengadaannya juga dilakukan dengan TKDN ini yang akan mendukung industri tumbuh, dan secara bertahap juga hilirisasi karena didalamnya juga ada tembaga, juga ada komponen lain yang bisa kita buat, itu juga akan meningkatkan nilai tambah nasional, dari sisi jumlah," tutur dia.

Dalam data yang disampaikannya, lini produksi alat-alat dan testing mencakup 16 lini produksi setidaknya membutuhkan investasi Rp 1 miliar. Kemudian untuk investasi tooling, seperti molding dan stamping sebesar Rp 4 miliar.

 

LPG Tak Langsung Dihapus

Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, adanya rencana mengkonversikan penggunaan LPG 3 Kg ke kompor listrik, bukan berarti gas LPG akan ditiadakan.

"Bicara LPG tidak mungkin LPG langsung dihapuskan. Karena kenapa? masyarakat kita yang di bawah pedagang asongan, harus ada alternatif gas makanya ada batu bara dikonversi di gasifikasi untuk DME," kata Erick dalam konferensi pers peluncuran Holding dan Subholding PT PLN (Persero), Rabu (21/9/2022).

Erick menegaskan, LPG tidak boleh langsung ditiadakan, sebab infrastruktur LPG ini merupakan bagian dari ekonomi Indonesia, misalnya di Indonesia tersebar agen LPG.

"Nah, infrastruktur yang ada di Elpiji sekarang agen Elpiji sekarang kan nggak boleh langsung dimatikan, itu bagian dari ekonomi Indonesia, juga karena itu mengganti menjadi DME populasinya berapa persen nanti tergantung dari pada pembangunan DME," ujar Erick.

Kendati demikian, Erick sebagai Menteri BUMN sangat mendukung program tersebut. Bahkan, pihaknya saat ini tengah mendorong penggunaan kompor listrik di kawasan apartemen dan rumah-rumah yang dibangun oleh BUMN.

"Di tengah kompor listrik bisa masuk yang seperti Pak Darmo (Dirut PLN) dan saya sedang dorong hari ini di apartemen rumah rumah yang dibangun BUMN itu kita mendorong kompor listrik. Nah, apakah masyarakat lebih luas menggunakan kompor listrik, bisa aja, itu bagian dari Eco lifestyle," ujar Erick.

Penghematan Diraih

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo, mengatakan jika pihaknya siap mendukung program transisi gas elpiji ke kompor listrik induksi.

Konversi ini mampu membuat transisi sumber energi yang mahal menjadi yang lebih murah. "Kami mendukung program kompor listrik ini," kata dia, Rabu (21/9/2022).

Adanya rencana konversi LPG ke kompor listrik ini diyakini bisa menghemat energi sekitar Rp 8 ribu per kilogram elpiji. Tentu saja dengan adanya penghematan ini, bisa mengubah energi impor dengan energi domestik kemudian juga energi yang mahal menjadi lebih murah. 

"Jadi, untuk per kg elpiji yang dikonversi ke kompor listrik ada penghematan biaya yaitu sekitar Rp 8.000 per kg," kata Darmawan.

PLN tentunya telah mempertimbangkan keseimbangan energi sebagaimana arahan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), beserta Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

 

 

 

 

 

3 dari 5 halaman

Kritik Tajam

Atas program konversi ini, DPR memberikan kritik keras ke pemerintah. Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mempertanyakan tujuan yang ingin dicapai pemerintah dalam program konversi kompor gas ke kompor listrik ini.

"Jadi ini program sasarannya siapa? Apa yang mau disasar dari program ini," ungkap Sugeng saat ditemui di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (21/9/2022).

Menurutnya, jika sasaran utama pemerintah mengurangi subsidi impor LPG, maka masyarakat miskin yang jadi target program. Hanya saja dia menilai target sasarannya kurang tepat.

Sugeng khawatir program ini malah bisa merugikan masyarakat miskin karena bebannya bertambah. Mereka yang selama ini menikmati subsidi dari gas LPG harus beralih ke kompor listrik dengan menaikkan daya.

Kalaupun menaikkan daya listrik gratis, masalah muncul selanjutnya biaya untuk tagihan atau token listrik. Sehingga seharusnya pemerintah memberikan subsidi listrik kepada masyarakat miskin.

Sugeng juga mengatakan program ini perlu kajian lebih mendalam. Salah satu yang paling utama terkait rasio elektrifikasi.

"Yang jauh lebih penting adalah rasio elektrifikasi, rasio yang sekarang dipakai ini pendekatannya berbasis desa. Harusnya ini berbasis keluarga," kata dia.

Penggunaan rasio ketersediaan per desa ini dinilai kurang tepat walaupun sudah mencapai 99 persen. Mengingat penggunaan kompor listrik ini digunakan per rumah tangga. "Jadi elektrifikasi 100 persen harus berdasarkan rumah tangga bukan desa," katanya.

Setelah ketersediaan listrik sudah dipastikan ada di setiap rumah tangga, yang perlu dikaji tentang kehandalannya. Sejauh mana listrik yang teraliri ke rumah tangga ini tersedia sepanjang waktu. "Apakah dari sisi daya naik turun apa enggak karena ini menyangkut alat elektronik," kata dia.

Bila dua masalah ini sudah selesai, baru membahas kemampuan rumah tangga untuk bermigrasi ke kompor listrik. Menurutnya, jika sasaran pemerintah kelas menengah, program ini mungkin bisa berjalan.

Sedangkan Anggota Komisi VII DPR RI Mulan Jameela mengatakan, pemerintah harus mengubah sasaran uji coba kompor listrik karena sasaran yang saat ini kurang tepat. Seharusnya sasaran konversi kompor listrik adalah sektor industri ataupun masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas. Pertimbangan utamanya, daya kompor listrik yang akan diujicoba terlalu tinggi.

"Untuk masyarakat yang memang mampu ya mungkin bisa bukan untuk masyarakat yang masih kekurangan karena secara daya listrik juga mereka tidak mampu," ujar Mulan.

Politikus Gerindra itu bahkan menuturkan jika ia memiliki kompor listrik, namun tidak dapat lepas dari pengguna kompor gas. Ia merasa, masakan Indonesia tidak tepat jika harus dimasak menggunakan kompor listrik.

Belum lagi jika memasak dalam skala besar, seperti masakan untuk pesta besar, dalam kondisi tersrbut penggunaan kompor gas sulit digantikan dengan kompor listrik.

 

Alat Masak Juga Harus Ganti

Sugeng Suparwoto menambahkan lagi, masyarakat bakal kerepotan karena pergantian cara masak dari LPG 3 kg ke kompor induksi.

Seperti diketahui, alat masak seperti panci dan penggorengan yang digunakan untuk memasak dengan LPG berbeda dengan alat masak dengan menggunakan kompor induksi.

"Harus dipikirkan compatibility, kesesuaian antara alat masak rata-rata. Di kampung kan semua pakai panci alumunium," ujar Sugeng kepada Liputan6.com.

"Jadi tidak semata kompornya yang bisa gratis menggantikan LPG, tapi lantas alat masaknya bagaimana? Itu harus diperhatikan," tegas dia.

 

4 dari 5 halaman

Bisa Atasi 2 Masalah

Ekonom Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menilai konversi ke kompor listrik cara ini memang sangat efektif menurunkan konsumsi gas LPG. Apalagi pemerintah membagikan kompor listriknya secara cuma-cuma.

Dia menilai migrasi penggunaan kompor listrik tidak hanya untuk mengurangi impor LPG pemerintah. Melainkan juga mengatasi masalah lainnya, yakni kelebihan suplai listrik di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

"Masalah impor LPG yang besar ini dikombinasikan solusinya dengan masalah PLN yang surplus listrik," kata Anthony.

Sehingga dia menilai program migrasi kompor listrik ini bukan kebijakan yang tepat. Sebab dari sisi pengguna dalam hal ini masyarakat juga belum siap sepenuhnya.

Mengingat daya listrik yang digunakan rumah tangga masih lebih besar di kelompok 1.300 VA ke bawah. Sehingga mereka perlu menambah daya agar bisa menggunakan kompor listrik. Tentunya ini pun tak lantas menyelesaikan masalah karena tagihan listriknya bisa bertambah seiring dengan penggunaan kompor listrik.

"Jadi ini kebijakan yang dipaksakan terutama bagi masyarakat kecil," kata dia.

Ekonom dari Institute foe Development of Economic and Finance (Indef) Abra Talattov meminta upaya ini dibarengi dengan kebijakan soal subsidi energi. Misalnya, dengan penerapan subsidi LPG secara tertutup.

Dengan demikian, konversi kompor listrik akan sejalan dengan tepat sasarannya subsidi LPG. Ini juga turut menimbang kondisi subsidi LPG yang membengkak cukup besar dari alokasi pemerintah.

"Saya justru ingin menyampaikan kalau kompor listrik ini jadi strategi pelengkap kebijakan subsidi energi, tapi komplementer, pemerintah ingin dorong penggunaan kompor listrik, sifatnya adalah opsional, diberikan kebebasan apakah ingin beralih ke kompor listrik dengan potensi manfaat dan sebagainya, atau tetap ingin LPG 3kg," terangnya dalam diskusi bertajuk Dampak Kenaikan Harga BBM dan Isu Penghapusan Daya Listrik 450 VA, Rabu (21/9/2022).

Harapannya, masyarakat akan memilih secara rasional antara menggunakan kompor listrik atau tetap bertahan dengan kompor gas. Syaratnya, subsidi LPG 3 kg dilakukan secara tertutup, sehingga mempersempit penerimanya.

"kalau migrasi kompor induksi jalan, dibagikan gratis, kalau LPG (subsidi) terbuka tetap masyarakat bisa beli, volume kuota LPG 3 kg akan tetap berpotensi jebol. Jadi harusnya dilakukan integratif kebijakan antara subsidi energi dan konversi kompor listrik. Dilakukan secara sistemik," terangnya.

Pemerintah Harus Beri Subsidi

Staf Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Rio Priambodo mengatakan, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tidak mempermasalahkan jika Pemerintah berencana akan migrasikan penggunaan LPG 3 Kg ke Kompor Listrik Induksi.

"Secara umum YLKI fine saja apabila migrasi dari gas LPG ke kompor induksi," kata Rio.

Namun, YLKI memberikan catatan penting yaitu mengenai kesanggupan pemerintah memberikan subsidi, dan kesiapan masyarakat bermigrasi ke kompor induksi.

"Perlu persiapan matang dan waktu untuk masyarakat bisa bermigrasi ke kompor induksi," ujarnya.

Lebih lanjut, YLKI saat ini belum bisa menilai apakah rencana Pemerintah memigrasikan penggunaan LPG 3 Kg ke Kompor Listrik Induksi efektif atau tidaknya.

"Saya mendengar pemerintah sedang melakukan uji coba kompor induksi. Namun, hasil migrasi ke kompor induksi tentunya YLKI melihat hasil uji coba, setelah ada uji coba maka kita akan evaluasi lagi apakah rencana tersebut relevan atau tidaknya," ujar Rio.

 

5 dari 5 halaman

Respons Masyarakat

Juwita, pedagang mie ayam di Jakarta mengaku akan menolak pemberian kompor listrik gratis dalam program konversi ini. "Saya enggak setuju karena listriknya pasti gede," kata Juwita.

Meski sudah lama menjual mie ayam di depan rumahnya, namun Juwita mengaku pembelinya datang satu persatu. Sehingga jika harus migrasi ke kompor listrik tidak akan efektif. Mengingat kompor listrik membutuhkan waktu lebih lama untuk bisa digunakan.

Selain itu penggunaan kompor listrik akan sering nyala-mati sesuai dengan datangnya pembeli . Tentunya hal ini akan lebih banyak menyedot pemakaian listrik. Di sisi lain listrik yang digunakan di rumahnya hanya 1.300 VA.

"Kalau buat dagang boros listrik. Paling kalau isi token Rp 50.000 cuma buat 3 hari. Kalau sekarang token Rp 50.000 bisa buat 5 hari," tuturnya.

Untuk itu dia lebih memilih menggunakan kompor gas LPG yang lebih efisien dan lebih hemat. Dia hanya perlu mengeluarkan uang Rp 20.000 per minggu untuk kebutuhan jualan dan memasak untuk keluarga.

program ini juga menuai penolakan dari kalangan ibu rumah tangga. Erna, warga Kota Bandung menolak migrasi ke kompor listrik.

Alasannya, kompor listrik yang ada saat ini memiliki daya yang besar. Sementara daya listrik di rumahnya hanya 1.300 VA.

"Kompor listrik dayanya gede-gede. Dayanya 1.000 sampai 2.000-an dan rumah aku cuma 1.300. Ya habis dipakai masak token aku," kata Erna saat berbincang dengan merdeka.com, Jakarta, Selasa (20/9).

Menurutnya, penggunaan kompor listrik sebaiknya ditujukan kepada masyarakat kelas menengah atas. Selain daya yang dipakai lebih besar, mereka juga tidak terlalu masalah dengan hal tersebut.

Sebaliknya, bagi masyarakat kelas bawah, tentu tidak akan siap. Sebab mereka harus menambah daya listrik dan tagihan listriknya akan lebih tinggi dari biasanya.

Sedangkan Firman, pemuda yang bekerja di kawasan Tangerang, Banten. Dia menilai kalau penggunaan kompor listrik meningkatkan pengeluaran dari biaya listrik.

"Kurang enak, karena output yang digunain milih-milih, engga kaya kompor biasa. Dulu juga makainya pas tinggal di kos gitu dan fasilitas dari si pemilik unit sebetulnya," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (21/9/2022).

"Listrik sih kayaknya lebih boros juga ya, makanya jadi jarang banget dipakai," tambah dia.

Firman memilih untuk lebih banyak menggunakan kompor gas dengan alasan kemudahan penggunaan dan sudah lebih terbiasa. Meski, perawatan kompor listrik dinilai masih lebih mudah ketimbang kompor gas biasa.

"Maintenance-nya sih gak ribet ya, ngebersihinnya enak tinggal lap aja. Cuma tetap, masih enak kompor biasa kita mah," ujar dia.

Tak berbeda jauh, pengguna baru kompor listrik, Dimas juga mengungkapkan hal senada. Ia mengisahkan baru menggunakan kompor listrik selama 2 bulan terakhir ini.

Kendati waktu yang cukup singkat tersebut, ia belum bisa menemukan penghematan atau pemborosan yang selama penggunaan kompor listrik.

"Kalau dibilang hemat sih masih bingung ngitungnya, soalnya sata enggak merhatiin pake gas dan listrik, paling sebulan cuma nambah Rp 10 ribu kalau enggak salah buat listriknya," kata pria yang tinggal di wilayah Jakarta Selatan itu.

Sebelumnya, ia menggunakan kompor gas dengan tabung ukuran 5,5 kilogram. Dalam pemakaiannya, ia bisa mengisi ulang gas setiap 2 bulan sekali dengan pemakaian rumahan.

"Kalau dibilang enakan mana sih sama aja ya, tapi kalau listrik kaya gak enak aja apinya, jadi kadang masih bingung udah beneran nyala apa belum," tuturnya.

"Kalau kenyamanann sih kayaknya lebih nyaman kompor listrik ya, karena enggak ada uap dari api yang bikin panas," tambah Dimas.

Kompor Listrik Untuk Usaha

Terpisah, pemilik kedai kopi Terai Coffee, Ilham Najib mengungkapkan minatnya untuk menggunakan kompor listrik untuk operasional. Ia mengaku telah mendapatkan banyak cerita kalau kompor listrik bisa lebih menghemat pengeluaran.

"Iya pernah, bisa aja tertarik mencoba, tapi disambil ngitung cost-nya (pengeluaran biaya)," kata dia melalui pesan singkat.

Dalam perencanaannya, ia masih ingin menghitung biaya operasionalnya. Disamping sambil menghitung ketahanan aset dari kompor listrik.

Menurutnya, ini bagian penting jika ingin beralih menggunakan kompor listrik ketimbang kompor gas yang biasa digunakannya saat ini. "Biar tetap membandingkan, besar mada cost yang dikeluarkan saat pakai (kompor) gas sama (kompor) listrik, terus belum tau juga ketahanan asetnya," tutur pemilik kedai di Bandung Timur ini.