Liputan6.com, Jakarta - Fraser Institute melakukan penelitian terhadap implementasi pajak karbon di 14 negara OECD sampai dengan tahun fiskal 2020. Hasilnya ternyata besar penerimaan pajak karbon tidak digunakan untuk mengatasi masalah lingkungan.
"Pajak karbon yang dirancang dengan buruk bahkan di negara dengan penghasilan tinggi justru tidak memenuhi janji untuk pengurangan emisi," kata peneliti Fraser Institute, Elmira Aliakbari dikutip dari Belasting.id, Kamis (22/9/2022).
Hasil penelitian Fraser Institute memaparkan 74 persen dari penerimaan pajak karbon di negara anggota OECD langsung masuk ke kas umum pemerintah tanpa adanya penggunaan khusus. Artinya, tidak ada penggunaan spesifik atas penerimaan pajak karbon dalam belanja pemerintah.
Advertisement
Kemudian hanya 12 persen hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk belanja yang berkaitan dengan isu lingkungan hidup. Lalu sisanya sebanyak 14 persen hasil pungutan pajak karbon dikembalikan kepada pembayar pajak dalam bentuk insentif kredit pajak.
Menurutnya, studi mengungkapkan pajak karbon yang berlaku di negara-negara OECD menjadi beban baru bagi kegiatan ekonomi. Tujuan utama pajak karbon untuk menurunkan emisi tidak benar-benar dilakukan oleh sebagian besar negara OECD.
"Ini meningkatkan biaya usaha dan menghalangi kegiatan investasi baru dan kesempatan kerja," ulasnya.
Seperti diketahui, tahap awal penerapan pajak karbon di Indonesia baru berlaku pada pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi dari batubara. Kebijakan tersebut menetapkan tarif pajak karbon sejumlah Rp 30 per Kg emisi karbondioksida ekuivalen.
Skema pungutan berdasarkan pada batas emisi atau cap & tax pada PLTU batubara. Tahap pertama pada PLTU batubara berlaku untuk 2022 hingga 2024.
Kemudian tahap kedua menggunakan skema tarif berdasarkan 1,2x harga karbon rata-rata atau Rp30/Kg CO2 tergantung skema mana yang paling tinggi ke pendapatan negara.
Sri Mulyani Hitung Ulang Waktu Tepat Terapkan Pajak Karbon
Pemerintah menunda penerapan pajak karbon. Rencana awal, pajak karbon akan diterapkan pada 1 Juli 2022. Ini merupakan penundaan kedua penerapan pajak karbon di tahun ini setelah sebelumnya juga ditunda pada April 2022.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pemerintah masih menghitung eaktu yang tepat untuk menerapkan pajak karbon guna mendorong seluruh kegiatan ekonomi rendah emisi.
“Rencana ini perlu terus dikalibrasi ulang, mengingat keadaan masih rentan, pemulihan ekonomi kita masih sangat rapuh, terutama karena pandemi dan sekarang dilanda krisis energi dan pangan,” katanya dikutip dari Belasting.id, Rabu (14/9/2022).
Sri Mulyani menjelaskan instrumen atau kebijakan pajak karbon tidak berdiri sendiri, melainkan terbentuk dari paket kebijakan yang komprehensif.
Itu mencakup aturan pelaksanaan perdagangan karbon, tarif karbon, serta metode pengenaan pajak karbon. Tujuannya sama, untuk mengurangi emisi karbon dan mendorong lebih banyak ekonomi hijau.
Advertisement
Kebijakan yang Relevan
Kendati pajak karbon belum diterapkan, Sri Mulyani menuturkan pemerintah telah menyediakan kebijakan yang relevan untuk menciptakan lingkungan hijau rendah karbon bagi sektor manufaktur.
Dia mencontohkan ada peraturan pemerintah (PP) No.73/2019 stdd PP No.74/2021 yang mengatur tentang pajak penjualan atas barang mewah berupa kendaraan bermotor.
Melalui aturan itu, kata Sri Mulyani, pajak dikenakan pada kendaraan sesuai kapasitas silinder atau CC. Dimana semakin tinggi CC-nya dianggap semakin mewah dan pajak yang dikenakan lebih tinggi.
Menkeu menambahkan tidak hanya menilik kapasitas mesin kendaraan, apabila kendaraan tersebut semakin berpolusi maka tarif yang dikenakan juga semakin tinggi. Berbeda dengan kendaraan listrik atau battery electric vehicle (BEV) yang dikenakan pajak penjualan 0 persen.
Sekedar informasi, penerapan pajak karbon dituangkan dalam UU No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang seharusnya sudah dieksekusi pada bulan Juni 2022.