Sukses

Goldman Sachs Pangkas Lagi Ramalan Pertumbuhan Ekonomi China Gara- gara Lockdown Covid-19

Goldman Sachs memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi China tahun 2023 menjadi 4,5 persen, karena kebijakan ketat Covid-19 yang belum menunjukkan pelonggaran.

Liputan6.com, Jakarta - Goldman Sachs memangkas tajam perkiraan pertumbuhan ekonomi China tahun 2023. Bank investasi ternama asal Amerika Serikat itu memprediksi Beijing akan tetap memberlakukan kebijakan nol Covid-19 setidaknya hingga paruh pertama tahun depan.

Dilansir dari The Straits Times, Jumat (23/9/2022) ekonom Goldman dalam sebuah catatan mengatakan bahwa produk domestik bruto (PDB) China mungkin akan naik 4,5 persen pada 2023, turun dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,3 persen.

Sementara itu, Goldman Sachs tidak merubah prediksi ekspansi ekonomi China sebesar 3 persen pada tahun 2022 ini.

Goldman Sachs memperkirakan, China kemungkinan belum membuka kembali perbatasan sebelum kuartal kedua 2023 karena pertama-tama akan mencoba dan memastikan tingkat vaksinasi bagi masyarakat lansia, pembuatan obat Covid-19 yang murah dan efektif serta kondisi lainnya.

"China kemungkinan akan mengalami lonjakan infeksi pada pembukaan kembali penuh mengingat kurangnya kekebalan yang disebabkan oleh infeksi dan penularan Omicron yang tinggi," kata para ekonom Goldman Sachs.

"Oleh karena itu, kami memperkirakan hambatan moderat pada pertumbuhan dalam tiga bulan pertama pembukaan kembali diikuti oleh pemulihan tajam setelahnya," lanjut mereka.

Sedangkan di pasar properti, Goldman Sachs juga menyebut masih adanya penurunan yang dapat berdampak pada PDB China.

"Kami terus memperkirakan hambatan yang cukup besar dari sektor properti ke pertumbuhan PDB tahun ini dan seterusnya," ungkap para ekonom Goldman Sachs.

Seperti diketahui, sejumlah analis terus menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi China tahun ini dan berikutnya karena prospek ekonomi dibayangi oleh lockdown berkepanjangan untuk meredam penularan Covid-19. Masalah itu disertai dengan krisis properti dan ekspor yang melambat. 

2 dari 3 halaman

ADB Ramal Ekonomi Negara Berkembang di Asia Tumbuh Lebih Cepat dari China

Asian Development Bank (ADB) mengungkapkan bahwa ekonomi negara berkembang di Asia mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan, dan akan tumbuh dengan angka yang lebih tinggi dari China karena kebijakan nol-Covid-19.

ADB mengatakan dalam laporan prospek terbarunya mengatakan, bahwa ini menandai pertama kalinya dalam lebih dari tiga dekade ekonomi negara berkembang Asia akan tumbuh lebih cepat dari China.

"Terakhir kali adalah pada tahun 1990, ketika pertumbuhan (China) melambat menjadi 3,9 persen sementara PDB di wilayah lain meningkat sebesar 6,9 persen," kata ADB, dikutip dari CNBC Intenational, Rabu (21/9/2022).

ADB sekarang memperkirakan ekonomi negara-negara berkembang di Asia, tidak termasuk China, akan tumbuh sebesar 5,3 persen pada 2022 ini, sementara China tumbuh ,3 persen.

Namun, kedua angka tersebut menurunkan penurunan prospek. Pada Juli 2022, misalnya, ADB memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi China menjadi 4 persen dari 5 persen.

ADB mengaitkannya dengan lockdownn sporadis dari kebijakan nol-Covid-19 secara nasional, masalah di sektor properti, serta perlambatan aktivitas ekonomi karena permintaan eksternal yang lebih lemah.

Hambatan-hambatan itu juga menurunkan perkiraan ADB pada pertumbuhan ekonomi China untuk 2023 mendatang menjadi 4,5 persen dari 4,8 persen. 

Perkiraan terbaru ADB untuk ekonomi negara berkembang Asia - 4,3 persen juga menandai penurunan dari prediksi sebelumnya sebesar 4,6 persen pada Juli 2022.

Proyeksi ekonomi kawasan itu di tahun berikutnya juga diturunkan menjadi 4,9 persen dari semula 5,2 persen.

Meskipun kawasan ini menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang berkelanjutan melalui kebangkitan pariwisata, tantangan global memperlambat pertumbuhan secara keseluruhan, ADB menjelaskan.

3 dari 3 halaman

Kebijakan Ketat Covid-19 Bikin Pengusaha Eropa Mulai Pikir Ulang Berbisnis di China

Para pengusaha dari Eropa di China sedang mengevaluasi kembali rencana pasar mereka setelah kebijakan Covid-19 di negara itu semakin ketat.

Hal itu diungkapkan langsung Presiden Kamar Dagang Uni Eropa di China, Joerg Wuttke. "Untuk bisnis Eropa, kami berbicara tentang penyesuaian kembali pandangan kami tentang China selama enam bulan terakhir," kata Wuttke dikutip dari CNBC International, Rabu (21/9/2022). 

Dia menyebutkan bahwa lockdown Covid-19 dan ketidakpastian untuk bisnis telah mengubah China menjadi negara "tertutup" dan "sangat berbeda" yang mungkin mendorong perusahaan untuk meninggalkan negara itu.

"Saya telah berada di sini selama 40 tahun dan saya belum pernah melihat situasi yang seperti ini, di mana tiba-tiba pengambilan keputusan ideologis lebih penting daripada pengambilan keputusan ekonomi," ujar Wuttke, dalam sebuah briefing terkait laporan tahunan Kamar Dagang UE di China.

Sejauh ini, sebagian besar perusahaan Eropa belum meninggalkan China, namun sudah ada beberapa.

Tetapi Wuttke mengatakan bahwa Kamar Dagang UE tidak dapat mensurvei bisnis yang memutuskan untuk tidak memasuki China sama sekali.

Investasi asing langsung dari UE ke China turun 11,8 persen pada tahun 2020 dari tahun sebelumnya, menurut laporan Kamar Dagang UE.

"Sementara masih ada 'sekelompok perusahaan multinasional profil tinggi terpilih yang siap menghasilkan miliaran dolar,' tren penurunan FDI tidak mungkin berbalik sementara eksekutif Eropa sangat dibatasi untuk bepergian ke dan dari China untuk mengembangkan proyek potensial," demikian laporan Kamar Dagang UE.

Seperti diketahui, kebijakan ketat Covid-19 di China telah membatasi perjalanan internasional, dan aktivitas bisnis – terutama setelah lockdown dua bulan tahun ini di Shanghai.