Liputan6.com, Jakarta Ribuan petani dan buruh melakukan aksi demo hari ini Sabtu (24/9/2022) di Istana Negara. Dipilihnya tanggal 24 September bertepatan dengan waktu di mana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) disahkan, yang kemudian diperingati sebagai Hari Tani.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, mengatakan UUPA 1960 menjadi sangat penting, karena gagasan pembaruan agraria (reforma agraria) di dalam UUPA 1960 merupakan upaya untuk memerdekakan Indonesia dari kolonialisme dan sistem warisannya, khususnya di sektor-sektor agraria.
Baca Juga
Adapun dalam unjuk rasa tersebut, setidaknya terdapat 10 (sepuluh) hal yang menjadi catatan kritis serikat buruh terhadap pelaksanaan reforma agraria di Indonesia.
Advertisement
Pertama, ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah. Laporan Penelitian Badan Pertanahan Nasional tahun 2019 menunjukkan bahwa luas tanah pertanian yang dimiliki petani berdasarkan hasil Sensus Pertanian menunjukkan distribusi yang tidak merata.
“Petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektare mendominasi, yakni sebanyak 16,25 juta rumah tangga atau hampir 60 persen (SUTAS BPS 2018),”kata Said.
Selama empat dekade, rasio gini kepemilikan tanah berfluktuasi pada rentang nilai 0,50 - 0,72. Nilai tersebut berada dalam kategori ketimpangan sedang (0,4 ≤ G ≤ 0,5) dan tinggi (G>0,5). Berdasarkan data BPS, ketimpangan kepemilikan tanah pada 2013 mencapai 0,68, yang berarti 68 persen sumber daya tanah yang ada dikuasai oleh hanya 1 persen kelompok penduduk Indonesia.
“Ketimpangan ini yang menyebabkan konflik agraria masih terjaga dan sangat banyak yang belum kunjung selesai,” ujarnya.
Kemiskinan
Kedua, kemiskinan masih didominasi wilayah perdesaan. Wilayah perdesaan sendiri merupakan lokasi dimana para petani dan produsen pangan membangun kehidupan. Per Maret 2022, BPS menyebutkan jumlah penduduk miskin di Indonesia berjumlah 26,16 juta jiwa atau sekitar 9,54 persen dari total penduduk.
“Jumlah penduduk miskin paling banyak tersebar di pedesaan, yakni 14,34 juta orang; sementara di wilayah perkotaan jumlah penduduk miskin mencapai 11,82 juta orang,” katanya.
Ketiga, penyelesaian konflik agraria masih lambat. Permintaan presiden, ketika pembentukan Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria (PPKA-PKRA) Tahun 2021, untuk 50 persen kasus dapat diselesaikan tidak tercapai. Akibatnya, angka konflik agraria di Indonesia masih tinggi.
“Serikat Petani Indonesia (SPI) mencatat sekurang-kurangnya terjadi 104 kasus konflik agraria selama tahun 2021. Dari data tersebut, konflik agraria masih didominasi oleh sektor perkebunan (46 kasus); diikuti oleh pertambangan (20 kasus); kehutanan (8 kasus); pesisir (4 kasus) dan Proyek Strategis Nasional (4 kasus),” ujarnya.
Keempat, progres redistribusi tanah bagi petani lambat, meski pemerintah menyebut terdapat kemajuan dalam hal target redistribusi. Sistem Informasi Geografis Tanah Objek Reforma Agraria (SIG-TORA) tanggal 10 September 2022 menunjukan capaian legalisasi lebih besar daripada redistribusi.
Redistribusi tanah yang berasal dari tanah Ex-HGU, Tanah Telantar dan Tanah Negara lainnya sudah terealisasi seluas 1,16 juta hektare. Sementara untuk pelepasan kawasan hutan, pemerintah baru tercapai seluas 0,32 juta hektare atau 7,83 persen saja. Sehingga total redistribusi baru sekitar 1,48 juta hektare atau 37 persen dari target 4,5 juta hektare.
Dia menilai, capaian itu berbanding terbalik dengan realisasi legalisasi aset yang sudah menyentuh angka 4,14 juta hektare, dari terget 4,5 juta hektare. Oleh karena itu, sesungguhnya capaian redistribusi tersebut belum dirasakan oleh para organisasi petani dan gerakan tani di Indonesia. Reforma Agraria cenderung difokuskan hanya pada sertifikasi dan legalisasi, bukan upaya merombak ketimpangan penguasaan tanah dan menyelesaikan konflik agraria;
Advertisement
UU Cipta Kerja
Kelima, lahirnya UU Cipta Kerja yang berseberangan dengan spirit UUPA 1960 dan Reforma Agraria Sejati. Substansi UU Cipta Kerja yang mengakomodir kepentingan modal dan investasi menjadi legitimasi untuk merampas tanah milik petani, masyarakat adat, dan orang-orang yang bekerja di perdesaan.
Hal ini juga dapat dilacak lebih jauh dari pasal-pasal yang kontroversial di dalam UU Cipta Kerja: (1) Pembentukan Bank Tanah untuk kepentingan investasi dan pembangunan yang mendistorsi pelaksanaan reforma agraria di Indonesia; (2) Lahirnya ‘Hak Pengelolaan’ untuk memfasilitasi izin usaha bagi perusahaan/korporasi dan di atasnya dapat diberikan lagi HGU, HGB, dan HP pada pihak ketiga.
Kemudian, (3) Pemberian “hak prioritas” kepada pemegang hak untuk melakukan pembaruan/perpanjangan hak (yang sebenarnya masuk ke dalam objek TORA), termasuk perusahaan/korporasi yang tidak memiliki izin untuk mendapat prioritas dengan alasan keterlanjuran.
Selanjutnya, (4) Pelepasan kawasan hutan untuk food estate, sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN); (5) Konversi lahan pangan ke non-pangan dengan dalih pembangunan/kepentingan umum. Putusan MK bahwa UU Cipta Kerja Cacat Formil & Inkonstitusional Bersyarat.
Tercatat terdapat 12 gugatan (uji formil maupun materiil) yang dilakukan oleh berbagai organisasi gerakan rakyat, seperti dari buruh, masyarakat adat, gerakan lingkungan dan pekerja migran. Setelah melalui berbagai tahapan persidangan dalam waktu satu tahun, pada tanggal 25 November 2021 MK memutuskan UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat.
“Ini merupakan putusan uji formil pertama yang disahkan oleh mahkamah; Amar putusan MK juga menyatakan bahwa tidak dibenarkan untuk mengambil tindakan atau kebijakan strategis dan berdampak luas, termasuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja,” jelasnya.
UU Pangan
Keenam, UU Pangan tidak dijalankan. Alih-alih melaksanakan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan), pemerintah justru menghadirkan UU Cipta Kerja yang menghapus atau mengubah beberapa pasal penting di dalam UU Pangan. Pasal 1 angka 7 dalam UU Pangan diubah dalam UU Cipta kerja. Sehingga frasa ‘impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan’ dihapuskan dan diganti menjadi impor pangan saja dalam UU Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja juga mengakomodir sumber penyediaan pangan dapat berasal dari impor pangan. Sehingga menghapuskan frasa ‘mengutamakan produksi pangan dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan’ dalam UU Pangan.
Peraturan ini tentu saja merugikan petani karena keran impor pangan dibuka selebar-lebarnya dalam UU Cipta Kerja. Meskipun UU Cipta Kerja telah diputuskan Inkonstitusional Bersyarat oleh MK, pemerintah masih saja memaksakan pelaksanaan UU Cipta Kerja
Ketujuh, UU Perlintan tidak dijalankan. Pemerintah belum menjalankan putusan MK Nomor 87/PUU-XI/2013 terhadap Uji Materi UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan). Putusan ini sejatinya sudah ada sejak tahun 2014 yang lalu, namun belum kunjung direalisasikan.
Dampak dari sikap pemerintah tersebut adalah terjadinya diskriminasi terhadap kelembagaan petani, dalam menikmati akses dan kesempatan yang setara terhadap bantuan dan program dari pemerintah. Salah satunya adalah kebijakan pupuk subsidi yang mengharuskan petani harus terdaftar sebagai anggota Poktan dan Gapoktan, untuk dapat dimasukkan dalam penyusunan Rencana Definitif Kelompok (RDK) dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK).
Kelembagaan pekebun, dalam PP26/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian (PP Turunan UU Cipta Kerja). Kelembagaan pekebun tersebut hanya dibatasi berupa Poktan, Gapoktan, Lembaga Ekonomi Petani dan Koperasi. Padahal ketentuan terkait ini telah dijamin dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Perdesaan - United Nations Declaration on the Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas (UNDROP);
Advertisement
Subsidi dan Bantuan
Kedelapan, subsidi dan bantuan untuk petani. Belum ada perbaikan terhadap bantuan petani, salah satunya terkait pupuk bersubsidi. Amburadulnya pendistribusian pupuk subsidi berakibat pada kelangkaan, sehingga banyak petani tidak mendapatkan pupuk subsidi. Sementara untuk, pupuk non-subsidi juga mengalami kenaikan harga yang cukup pesat.
Ombudsman RI juga sudah membuat laporan terkait tata kelola pupuk bersubsidi di Indonesia yang dinilai tidak efektif. Dalam konteks PEN, pemerintah melakukan kekeliruan dengan mengalokasikan anggaran untuk proyek food estate dan ketahanan pangan di Indonesia yang cukup besar, dengan pagu Rp 117 triliun (keseluruhan untuk alokasi PEN2021 untuk program strategis nasional).
“Belum lagi penyaluran teknologi pertanian yang tidak merata, cenderung tidak tepat guna dan tidak sesuai dengan kebudayaan lokal menyebabkan pertanian berbiaya tinggi, kerusakan alam dalam jangka panjang dan jauh dari prinsip pertanian agroekologis,” ujarnya.
Kesembilan, jaminan harga yang layak bagi petani. Beberapa bahan pangan mengalami gejolak harga selama tahun 2022 ini, salah satunya minyak makan sawit (termasuk TBS sawit). Petani kerap mendapatkan harga yang tidak layak, kendati harga bahan pangan di tingkat konsumen mengalami kenaikan, seperti: bawang merah, telur ayam, daging, dan lain-lain.
Sepuluh, tingkat kesejahteraan petani belum terwujud. Salah satu ukurannya adalah Nilai Tukar Petani (NTP) yang fluktuatif selama tahun 2022 ini. Jika dilihat dari NTP, sejauh ini pertanian masih ditopang oleh subsektor perkebunan rakyat (yang tata kelolanya juga masih tergantung pada korporasi).
Sementara subsektor lainnya masih belum sepenuhnya sejahtera dan dari ukuran NTP, kerap kali dibawah standar impas (di bawah 100). Pada Agustus 2022, nilai NTP berada di 106,31. Penurunan NTP disinyalir akibat penurunan di subsektor NTP perkebunan, yang selama ini menjadi penopang utama NTP Nasional.
“Sedangkan, kondisi NTP subsektor lainnya masih belum memuaskan, khususnya NTP subsektor Tanaman Pangan yang dalam beberapa bulan terakhir masih di bawah standar impas (di bawah 100),” pungkasnya.