Liputan6.com, Jakarta Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengusulkan pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 100 triliun per tahun untuk menyerap hasil panen petani. Dana ini setidaknya diuji coba dalam 3 tahun kedepan.
Upaya ini menurutnya bisa mensejahterakan petani. Menurut rencana Mendag, petani nantinya hanya fokus pada sisi produksi, sementara, negara melalui BUMN bertugas menyerap hasil panennya. Misalnya, bisa berlaku untuk hasil tani dari beras, kedelai, hingga jagung.
Baca Juga
Usulan ini diakuinya telah sampai ke Presiden Joko Widodo. Menurutnya, usulan ini sejalan dengan perhatian Jokowi agar pemerintah atau BUMN menyerap hasil petani lokal.
Advertisement
"Kemarin saya usulkan, pak usulkan kalau bisa Rp 100 triliun untuk 3 tahun ini, pertahun, dengan BUMN itu apakah RNI atau mana yang membeli. Sehingga petani itu produksi saja,"kata dia dalam Kinerja 100 Hari Menteri Perdagangan di Kementerian Perdagangan, Minggu (25/9/2022).
Sebagai tindak lanjut, Mendag Zulkifli mengatakan selanjutnya akan melakukan dialog semgan Badan Pangan Nasional, Bulog, dan BUMN pangan. Meski, ia tak mengungkap kapan waktu diskusi tersebut.
"Kemarin sudah disetujui, ini nanti kita akan duduk bareng," ujar dia.
"Saya sudah kontakan akan bicarakan bareng-bareng dengan badan pangan, Bulog, dengan BUMN kita duduk bersmaa semoga bisa terlaksana mudah-mudahan tergantung nanti uangnya ada apa enggak," tambahnya.
Genjot Produksi
Pada kesempatan itu, Mendag Zulkifli Hasan mengatakan kalau ada 2 maslaah yang dihadapi petani saat ini. Pertama soal peningkatan produktivitas, dan kedua, soal kepastian pembelian hasil panen.
Dengan alokasi dana dari pemerintah, BUMN bisa menyerap hasil panen petani, dan petani tinggal fokus di ranah produksi. Tak hanya itu, harga serapan hasil panen juga disebut akan diatur untuk memberikan keuntungan kepada petani.
"Sebenarnya petani itu 2 saja masalahnya, 1 produktivitas. Karena kita tidak meneliti, kampus-kampua pertanian kita ini gak ada. Orang yang di pertanian itu jadi politisi, jadi pengamat ekonomi, gak ada yang meneliti pertanian. Oleh karena itu beli aja. Untuk meningkatkan itu, bibitnya, kita bantu bibitnya. Apakah kedelai jagung, beras, apa saja," paparnya.
"Yang kedua, setelah panen dibeli, nah itu perlu BUMN dikasih uang, misalnya jagung. Kalau dipanen (kemudian dijual hanya laku) Rp 3.000, rugilah, produksinya kecil karena yang diluar negeri pakai GMO kita bibit biasa," tambah dia.
Advertisement
Kalah Jauh
Menurutnya, produktivitas dalam negeri masih kalah jauh dari produksi luar negeri. Dengan teknologi yang sama, kemungkinan akan meningkatkan juga skala produksinya.
Perbandingannya, dengan bibit biasa di dalam negeri, hanya menghasilkan 4 ton per hektare. Sementara, di luar negeri bisa menghasilkan 8-9 ton per hektare.
Dari sisi penyerapan, misalnya, ada kepastian harga pembelian. Jika jagung dipatok pembeliannya oleh BUMN Rp 5.000 per kilogram, menurutnya akan banyak petani yang tertarik.
"Kalau nanti jagungnya kelebihan, bisa dijual, karena ada yang beli. Pemerimtah bisa beli Rp 5.000-5.500, jualnya 5.000 atau 4.500, gapapa tapi diekspor. Pemerintah gak keluar bea, gak ngimpor kan, diekspor dapat dolar, yang untung petani. Petani bisa makmur maju," paparnya.