Sukses

Jokowi: Perang Belum Akan Selesai, 19.600 Orang Mati Kelaparan Karena Krisis Pangan

Presiden Jokowi memberi bocoran, konflik perang yang terjadi di beberapa negara belum akan segera berakhir.

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo atau Jokowi memberi bocoran, konflik perang yang terjadi di beberapa negara belum akan segera berakhir. Imbasnya, dunia terancam bakal dilanda krisis pangan, krisis energi hingga krisis finansial yang memanjang.

Kesimpulan itu didapat Jokowi pasca dirinya beberapa waktu lalu melawat ke Ukraina dan Rusia, untuk bertemu Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin.

"Dunia saat ini pada posisi yang semua negara sulit. Lembaga-lembaga internasional menyampaikan, tahun 2022 sangat sulit. Tahun depan mereka sampaikan akan lebih gelap," kata Jokowi dalam acara pembukaan BUMN Startup Day di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Banten, Senin (26/9/2022).

"Saat saya bertemu dengan presiden Putin selama 2,5 jam, berdiskusi, ditambah dengan Zelensky 1,5 jam berdiskusi, saya menyimpulkan, perang tidak akan segera selesai," tegasnya.

RI 1 memprediksi, segala kesulitan yang kini tengah terjadi masih akan terus berlanjut. Bukan sekadar krisis pangan dan energi saja, namun negara dunia berpotensi terbebani kesulitan finansial.

"Itu berarti akan ada kesulitan-kesulitan yang lain. Krisis pangan, krisis energi, krisis finansial, covid yang belum pulih. Dan akibatnya kita tahu, sekarang ini saya baru saja dapat angka 19.600 orang mati kelaparan karena krisis pangan," bebernya.

Namun, Jokowi tak mau berputus asa. Menurutnya, Indonesia masih menyimpan potensi ekonomi digital yang luar biasa besar, dan itu bisa jadi asa untuk bisa menyelamatkan negara.

"Tapi saya melihat ini ada opportunity yang bisa dilakukan. Karena ekonomi digital kita tumbuh pesat, tertinggi di Asia Tenggara, melompat 8 kali lipat dari Rp 632 triliun di 2020 menjadi Rp 4.531 triliun nanti di 2030," tuturnya.

 

2 dari 4 halaman

Jokowi Minat Beli Minyak Rusia, Pengamat: Harga BBM Turun, tapi Dimusuhi AS

Presiden Joko Widodo atau Jokowi tengah mempertimbangkan segala opsi untuk menahan kenaikan biaya di sektor energi seperti harga BBM. Salah satunya, mengikuti jejak China dan India membeli minyak Rusia.

Namun, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai, pembelian minyak Rusia ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi kebutuhan BBM nasional bisa lebih terpenuhi, namun negara potensi dimusuhi oleh Amerika Serikat (AS) dan Eropa.

Mamit pun menyambut baik rencana Jokowi mendatangkan impor minyak Rusia, lantaran itu bakal lebih memperkuat stok dan harga BBM yang mendapat banyak sokongan subsidi dari pemerintah.

"Saya kira jika opsi berhasil dilaksanakan akan sangat baik kita. Dengan harga yang jauh lebih murah maka akan ada pengurangan biaya produksi untuk BBM kita," ujar Mamit kepada Liputan6.com, Selasa (13/9/2022).

Hanya saja, ia menambahkan, tinggal seberapa besar negara mampu membeli minyak Rusia dari total nilai impor yang ada. Jika mampu besar, maka itu akan signfikan mengurangi beban.

"Dengan demikian ada potensi untuk bisa menurunkan harga BBM. Jika sedikit ya tidak akan signifikan karena impor yang lain nilainya sesuai dengan harga pasar," ungkap dia.

Terlebih, saat ini Indonesia jadi net importir minyak mentah dengan kebutuhan mencapai 1,6 juta barel per hari (BOPD). Sedangkan produksi dalam negeri hanya 620.000 BOPD. "Jadi masih besar sekali nilai impor kita," imbuh Mamit.

3 dari 4 halaman

Sanksi dari AS

Namun, bila Jokowi jadi mencomot minyak Rusia, maka Indonesia terancam kena sanksi dari negara lain, terutama AS dan sekutunya lantaran dianggap membiayai perang melawan Ukraina.

Padahal di sisi lain, neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat, Uni Eropa dan sekutunya juga sangat bagus.

"Bayangkan kalau sampai kita diembargo oleh mereka, maka akan berdampak besar terhadap perekonomian kita. Bayangkan kita semuanya pakai dollar dan tiba-tiba dolar kita di-freeze, bisa berabe kitanya," tutur Mamit.

Oleh karenanya, ia berharap langkah diplomasi yang dilakukan oleh Kementeria Luar Negeri dan instansi terkait lain bisa berhasil. Sehingga semua akan baik-baik saja, dan Indonesia bisa bebas dari sanksi negara-negara tersebut.

"Jadi potensi penurunan harga bisa terjadi jika benar harganya lebih murah dari harga pasar dan kita bisa mengimpor dalam jumlah yang besar. Jika perlu semua kebutuhan kita impor dari Rusia, asalkan kilang kita bisa mengolah minyak dari sana," bebernya.

"Tetapi rencana ini bener-bener (harus) dipertimbangkan, terutama dari sisi politik dan potensi embargo dari negara lain," tandas Mamit. 

4 dari 4 halaman

Jokowi Pertimbangkan Pilihan Beli Minyak Rusia di Tengah Kenaikan

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan jika Indonesia melihat semua opsi terkait kemungkinan untuk bergabung dengan ekonomi Asia lainnya termasuk India dan China untuk membeli minyak Rusia demi mengimbangi melonjaknya biaya energi.

Indonesia belum mengimpor minyak dalam jumlah besar dari Rusia selama bertahun-tahun, tetapi pemerintah Jokowi berada di bawah tekanan yang meningkat untuk mengekang kenaikan biaya setelah dipaksa untuk menaikkan beberapa harga bahan bakar hingga 30 persen bulan ini.

Setiap langkah untuk membeli minyak Rusia dengan harga di atas batas yang ditetapkan oleh negara-negara G7 dapat membuat Indonesia rentan terhadap sanksi AS karena bersiap untuk menjadi tuan rumah KTT G20 di Bali pada bulan November. Jokowi telah mengundang para pemimpin dunia termasuk Vladimir Putin dari Rusia dan Volodymyr Zelenskyy dari Ukraina ke pertemuan tersebut.

“Kami selalu memantau semua opsi. Jika ada negara [dan] mereka memberikan harga yang lebih baik, tentu saja,” kata Widodo dalam wawancara dengan Financial Times menanggapi pertanyaan apakah Indonesia akan membeli minyak Rusia, Senin (12/9/2022).

“Ada kewajiban bagi pemerintah untuk mencari berbagai sumber untuk memenuhi kebutuhan energi rakyatnya. Kami ingin mencari solusi,” tambah dia.

Komentar Jokowi menggarisbawahi kesulitan bagi banyak negara ketika mereka mencoba menavigasi geopolitik dan krisis energi yang melanda rumah tangga dan bisnis di seluruh dunia.

Indonesia, ekonomi terbesar di Asia Tenggara, telah lama mengikuti kebijakan non-alignment dengan negara adidaya.

Presiden Jokowi sempat mengunjungi Moskow dan Kyiv pada bulan Juni, hanya beberapa bulan setelah invasi Rusia ke Ukraina pada bulan Februari, untuk secara pribadi mengundang para pemimpin mereka ke KTT G20.