Sukses

PLN Surplus Listrik, Program 35 Ribu MW Diminta Revisi

PT PLN (Persero) diminta untuk mencermati lagi realisasi program 35.000 megawatt.

Liputan6.com, Jakarta PT PLN (Persero) diminta untuk mencermati lagi realisasi program 35.000 megawatt. Ini sebagai langkah dari efisiensi yang harus dilakukan PLN dalam rangka menyediakan listrik bagi masyarakat.

Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mengatakan, opsi ini perlu dipertimbangkan berkaca dari kondisi PLN yang mengalami surplus pasokan listrik.

"Perlu rescheduling," ujar Mulyanto kepada merdeka.com, Selasa (27/9/2022).

Mulyanto menuturkan, program 35.000 megawatt nyatanya tidak merata di seluruh Indonesia. Akibatnya, kondisi surplus pasokan listrik hanya terjadi di Pulau Jawa dan Sumatera sekitar 40 persen. Sementara elektrifikasi di Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Indonesia bagian timur, belum mencapai 100 persen.

Beban PLN dalam menjalankan program tersebut semakin berat saat permintaan tidak seimbang dengan ketersediaan barang.

Anggota komisi dari fraksi PKS itu menuturkan, program 35.000 megawatt bisa saja tercapai dengan optimal dengan asumsi pertumbuhan permintaan listrik 6-7 persen.

"Namun realisasinya (permintaan listrik) tidak sampai 5 persen," ujarnya.

 

2 dari 3 halaman

Renegosiasi Pembayaran

Selain itu, Mulyanto juga berharap agar PLN bisa melakukan renegosiasi terhadap skema pembayaran produksi listrik yang dilakukan oleh Independent Power Producers (IPP) swasta.

Skema saat ini dan berlaku sejak bertahun ke belakang dikenal dengan istilah take or pay. Pembayaran hasil listrik oleh IPP berdasarkan kontrak yang telah dibuat, meski jumlah kebutuhan lebih kecil.

"Perlu renegosiasi untuk rescheduling termasuk negosiasi klausul TOP (take or pay). Juga program peningkatan demand listrik industri untuk pelanggan kelas menengah atas," pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, megaproyek pembangkit listrik 35.000 megawatt menjadi salah satu proyek ambisius Presiden Joko Widodo. Bahkan, pembangunan pada awalnya ditarget selesai dijalankan dalam lima tahun. Proyek ini mulai digagas sejak periode pertama Presiden Jokowi menjabat.

Namun, hingga saat ini proyek tersebut belum juga tuntas. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, sebanyak 10.469 MW dari target 35.000 MW sudah memasuki tahapan commercial operation date (COD) pada Agustus 2021 lalu.

 

3 dari 3 halaman

Sudah Tak Relevan

Pengamat Ekonomi Energi dan Pertambangan Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menceritakan, proyek pembangkit 35.000 megawatt memang dibutuhkan Indonesia jika ekonomi tumbuh di atas 7 persen. Namun, target pertumbuhan tersebut tidak tercapai. Lebih lagi, dunia dan Indonesia baru saja dihantam pandemi Covid-19.

"Jadi 35.000 mw didasarkan atas beberapa proyeksi-proyeksi, misalnya bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh di atas 7 persen sampai 8 persen. Sehingga memang dibutuhkan ketersediaan listrik dibuatlah proyek 35.000 MW," kata Fahmy saat dihubungi merdeka.com di Jakarta.

Dia menyarankan kepada pemerintah maupun PLN untuk merevisi target 35.000 MW. Namun yang direvisi bukan besaran pembangkit, melainkan waktu peluncuran atau penyelesaiannya. Dalam pandangan dia, proyek ini lebih baik diundur 5 tahun lagi.

"Harus ada semacam revisi, target diundur karena kondisi saat ini kelebihan pasokan listrik. Menurut saya diundur 5 tahun ke depan," katanya.

Reporter: Yunita Amalia

Sumber: Merdeka.com