Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan financial technology (fintech) kian masif. Fasilitas ini menawarkan kemudahan akses utamanya bagi masyarakat yang unbankable. Proses transaksinya juga jauh lebih mudah dibandingkan jasa keuangan konvensional lantaran bisa dilakukan secara daring.
Lantas, apakah perkembangan industri ini mengancam penyedia jasa keuangan konvensional?
Baca Juga
Terlalu buru-buru untuk berkesimpulan seperti itu. Alih-alih bersaing, Research Analyst at Ashmore Asset Management Indonesia, Kemal Razindyaswara mengatakan, fintech justru berpotensi jalin kolaborasi dengan pemain eksisting dari konvensional. Hal itu sejalan dengan misi pemerintah untuk mencapai inklusi finansial yang berbasis kolaborasi.
Advertisement
Di sisi lain, penetrasi keuangan di Indonesia masih rendah. Sehingga baik penyedia jasa keuangan konvensional maupun fintech, keduanya memiliki potensi tumbuh yang sama besarnya.
“Saya lihat ke depannya lebih ke arah kolaborasi. Jadi akan saling support untuk membuat ekosistemnya. Pemerintah juga canangkan financial inclusion yang berbasis kolaborasi,” kata Kemal dalam Money Buzz - Emergence of Fintech Industry in Indonesia, Selasa (27/9/2022).
Informasi saja, pemerintah tengah mendorong industri perbankan untuk melakukan open banking dengan digitalisasi. Open banking dirancang untuk mendorong persaingan dan inovasi di sektor jasa keuangan, mendorong hadirnya produk digital baru, pengalaman pengguna yang lebih baik, dan pilihan pengguna yang lebih hebat.
Open banking memungkinkan bank untuk menghasilkan pendapatan baru dari model bisnis platform dan bermitra dengan startup dan perusahaan teknologi untuk mengakses customer baru, berbagi data, dan berkolaborasi menciptakan produk digital baru.
“Jadi kalau lihat dari regulasi dan penetrasi pasar yang masih rendah, saya lihat untuk Indonesia lebih ke arah kolaborasi,” imbuh Kemal memungkasi.
Waktunya Untung, Fintech Sudah Tak Zaman ‘Bakar Uang’
Sebelumnya, teknologi finansial (financial technology/fintech) kini kian menjamur di Indonesia. Inovasi keuangan modern yang mengandalkan teknologi ini digemari masyarakat lantaran cukup mudah diakses. Namun, seperti perusahaan teknologi pada umumnya, fintech acap disoroti lantaran biaya operasioalnya yang tinggi dan gemar ‘bakar uang’.
Research Analyst at Ashmore Asset Management Indonesia, Kemal Razindyaswara menilai, bakar uang pada awal berdirinya perusahaan merupakan hal lumrah. Namun, perlu dicatat kapan perusahaan harus berhenti bakar uang untuk mendulang cuan.
Menurut dia, pada tahap awal perusahaan akan investasi. Baik untuk membuka cabang, mempekerjakan karyawan, dan investasi ke sistem yang digunakan, termasuk untuk marketing. Sementara mereka belum memiliki pemasukan lantaran belum memperoleh pelanggan.
"Jadi kita harus mengerti, di early stage itu umum ada yang namanya bakar duit. Tapi ini enggak bisa selamanya. Bisnis itu bukan charity, tapi harus untung. Jadi ke depannya kita enggak bisa lihat dari sisi opex, tapi customer harus bisa (sampai) menggunakan produknya,” ujar Kemal dalam Money Buzz - Emergence of Fintech Industry in Indonesia, Selasa (27/9/2022).
Kemal mencermati, tren bakar uang oleh fintech ini menjamur dalam dua tahun terakhir. Menurut dia, hal itu juga didukung kondisi makro, di mana likuiditas uang beredar cukup besar selama pandemi Covid-19. Sehingga banyak uang yang masuk untuk investasi.
Termasuk oleh perusahaan modal ventura yang bidik perusahaan rintisan (startup) untuk mendanai ekspansi mereka. Namun, yang terjadi hari ini adalah sebaliknya, sehingga fintech perlu melakukan rasionalisasi dalam mengelola biaya operasional mereka.
“Banyak uang yang lari ke investasi. Banyak perusahaan modal ventura investasi ke startup yang ingin ekspansi. Namun 8-9 bulan terakhir tren itu berbalik. Sehingga sudah bukan saatnya bakar uang,” imbuh Kemal.
Advertisement
Image Bank Terlalu Kuno, Anak Muda Lebih Pilih Fintech
Sebelumnya, Regional Vice President, Head of FSI COE, Asia Pacific & Japan at SAP, Bambang Moerwanto, industri perbankan konvensional patut mencermati perkembangan perusahaan financial technology alias fintech yang kini makin menjamur.
Pasalnya, Ia melihat adanya beberapa generasi muda saat ini yang cenderung antipati terhadap pelayanan yang diberikan kebanyakan bank konvensional. Itu lantaran layanan di bank terkesan kurang bisa menjamah kebutuhan mereka sebagai nasabah.
"Saya bilang kenapa orang-orang sick sama bank, karena mereka melihat bank itu tidak personalized service ke customer," kata Bambang di sela-sela acara Financial Industry Editors Forum 2022 yang digelar IBM di Singapura, ditulis Kamis (2/6/2022).
Di sisi lain, biaya operasional bank pun relatif lebih high cost dibanding sebuah perusahaan fintech. Selain itu, kaum milenial bakal meninggalkan bank yang secara image terkesan kuno.
"Image itu interesting, jangan sampai hilang. Kan biasanya anak muda pingin interaksi sama yang cool, enggak mau yang kuno. Ya kan 50 persen dari South East Asia population fall between generation Z dan Y," ungkapnya.
"Umur 9-40 tahun itu generasi yang born as a digital generation. Mereka mau sesuatu yang cool," tegas Bambang.
Kendati begitu, Ia tak ingin kehadiran fintech membuat bank jadi tergusur. Keduanya penting untuk mendukung sektor jasa keuangan, dimana bank sudah memiliki standar operasional yang lebih jelas dan diatur oleh pemerintah.
"Jadi untuk fintech sama bank bisa berjalan bareng-bareng. Menurut saya biarkan saja fintech to be stand alone. It has to be a separate entity, karena fleksibilitas itu harus tetap ada," tukas Bambang.
Fintech Berhasil Dobrak Sistem Perbankan karena Lebih Manjakan Nasabah
Revolusi digital yang terjadi saat ini dinilai bakal mengancam industri perbankan yang telah eksis sejak zaman Kekaisaran Romawi.
Khususnya bagi bank-bank tradisional yang belum banyak beradaptasi terhadap layanan digital yang menawarkan kemudahan bagi para penggunanya, seperti yang disuguhkan perusahaan financial technology alias fintech.
Regional Vice President, Head of FSI COE, Asia Pacific & Japan at SAP Bambang Moerwanto menilai, fintech tampaknya bisa lebih mengerti apa kebutuhan costumer dibanding bank, yang cakupan bisnisnya terlalu luas.
"Makanya fintech itu kalau term saya, saya bilang unbundling the actual banking system. Jadi mereka itu is really niche in specific area, dan mereka do it very well," kata Bambang di sela-sela acara Financial Industry Editors Forum 2022 yang digelar IBM di Singapura, Rabu (1/6/2022).
Bambang mengatakan, bank cenderung terlalu sibuk dengan lingkup bisnisnya yang terlalu luas, sehingga tidak bisa menjamah kebutuhan nasabah secara lebih spesifik.
"Mungkin ada beberapa survei bilang, salah satu yang diinginkan dari customer adalah hyper personalization. Si bank harus tahu benar kebutuhan customer apa. Tapi bank karena terlalu banyak yang mau digarap maka enggak bisa seperti itu," tuturnya.
Advertisement
Tantangan Perbankan
Dia lantas memaparkan beberapa tantangan bagi industri perbankan. Pertama, bila tak mau beradaptasi lebih lanjut dengan perkembangan teknologi, bisnis mereka bisa tak berlanjut ke depan.
"Mereka sebenarnya challenge-nya ada baggage legacy yang membikin mereka itu susah untuk manuver dibandingkan sama fintech dan startup yang gak ada legacy burden. Sistem yang mungkin sudah seharusnya diganti," bebernya.
Kedua, jika dilihat dari struktur e-banking saat ini, bank juga melayani berbagai tipe pelanggan, mulai dari sektor korporat, ritel, hingga nasabah individual.
"Tapi problem dari bank kebanyakan adalah mereka itu jalan sendiri, jadi creates more complexity. Untuk mereka gerak semakin susah dibanding sama fintech company, fintech kan lebih flat dari organisasi dan hirarki," tandasnya.