Sukses

Pemanfaatan Optimal Gas Perlu Dukungan Konsistensi Kebijakan Pemerintah

Hal yang diharapkan dari pemanfaatan gas bumi adalah pertumbuhan dari penggunanya. Namun data yang ada, sampai sejauh ini growth dari industri justru turun.

Liputan6.com, Jakarta Sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemanfaatan gas terus didorong setiap tahun. Ini mengingat gas bumi dinilai memiliki peran strategis di masa transisi energi, sehingga perlu dimobilisasi untuk menjadi energi transisi.

Pengembangan infrastruktur menjadi kunci agar pemanfaatan gas bumi ke depan lebih optimal. Untuk itu, perlu dukungan dari konsistensi kebijakan pemerintah.

Hal itu diungkapkan Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute; Aris Mulya Azof, Chairman Indonesia Gas Society, dan Jamsaton Nababan, Direktur Portofolio dan Pengembangan Bisnis Pupuk Indonesia (Persero) DETalk bertajuk “Mobilisasi Pemanfaatan Gas Bumi Sebagai Energi Transisi” yang digelar Selasa, (27/9/2022).

Komaidi mengatakan yang diharapkan dari pemanfaatan gas bumi adalah pertumbuhan dari penggunanya. Namun data yang ada, sampai sejauh ini growth dari industri justru turun.

“Kalau growth saja turun, bagaimana pemerintah bisa mendapatkan penerimaan pajaknya. Ini akan mengancam ekosistem industri gas itu sendiri. Jadi helikopter viewnya perlu lebih tinggi lagi,” ujar Komaidi.

Dia menambahkan sektor gas memiliki peran penting, sehingga perlu lebih bijaksana lagi dalam pengelolaannya.

Jika kemudian ujungnya industri gas tidak berkembang, ke depan bergantung pada impor, sehingga biaya ekonominya bisa lebih besar.

“Bukan sesuatu yang haram apabila pemerintah melakukan review terhadap kebijakan yang sudah diimplementasikan,” kata Komaidi.

Aris Mulya Azof, mengatakan berdasarkan bauran energi nasional secara umum pemanfaaatan gas di Indonesia diharapkan terus meningkat.

Jika pada 2020 minyak dan batu bara dominan dalam bauran energi nasional, maka pada 2050 kontribusinya akan menurun. Disisi lain, kontribusi gas akan meningkat, dan EBT meningkat signifikan.

“Ini harapan pemerintah ke depan. Gas masih merupakan energi yang dibutuhkan sampai menuju Net Zero Emission pada 2060,” kata Aris yang juga menjabat sebagai Senior Vice President Downstream, Gas, and Renewable Energy PT Pertamina (Persero).

Menurut dia, kebutuhan gas per sektor diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya. Namun dari pemanfaatan gas selalu bertolak belakang dengan suplai.

Karena dari sisi hulu, produksi gas nasional terus menurun, meski penurunannya lebih lambat dibanding minyak bumi.

Melalui regulasi yang telah ditetapkan, pemerintah berupaya menciptakan iklim yang baik bagi seluruh pihak. Diantaranya melalui PP Nomor 40 Tahun 2016. Permen ESDM 8/2020, Kepmen ESDM 134/2020, hingga Kepmen ESDM 135/2021.

 

2 dari 3 halaman

Kunci Penyerapan Gas

Infrastruktur, kata Aris, menjadi kunci dalam pemanfaatan gas. Penyerapan gas dalam negeri berbanding lurus dengan perkembangan infrastruktur gas.

Sejak 2010-2017, infrastruktur pipa gas bertambah 3.321 km dan bertambah lagi hingga 3.183 km berdasarkan rencana induk infrastruktur gas bumi nasional periode 2017-2031.

“Total kebutuhan Capex untuk pembangunan infrastruktur gas bumi nasional sesuai Masterplan Pertamina Group sebesar USD 1,2 miliar setiap tahunnya,” ungkap Aris.

Dia menambahkan untuk langkah pengembangan pemanfaatan gas di sektor hulu, yang perlu didorong adalah peningkatan produksi migas melalui penyelesaian proyek proyek migas strategis, membuat iklim investais migas yang lebih menarik untuk mengundang investor, melakukan penawaran WK migas konvesional dan non komvensional, penggunaan EOR dan peningkatan keandalan fasilitas produksi migas.

Di sektor hilir akselerasi pembangunan infra dan pembukaan wilayah baru untuk meningkatkan pemanfaatan gas bumi, skema pembangunan infrastruktur dan kebijakan harga gas buymi yang tepat, jaminan keekonomian dalam pengembangan infrastruktur dan kepastian hukum.

“Di sektor regulasi kebijakan harga gas bumi tertentu harus selalu dievaluasi untuk dapat menghitung efek berantai dari nilai tambah sesuai yang diharapkan oleh pemerintah dan industri,” kata Aris.

Sementara itu, Jamsaton, mengungkapkan pada proses produksi pupuk, gas merupakan salah satu bahan bakunya. Rencana kedepan, Pupuk Indonesia sedang mengembangkan tiga proyek strategis, yakni di Palembang, Sumatera Selatan; Papua Barat dan Blok Masela, Yamdena.

Ketiga proyek tersebut akan tuntas dan mulai beroperasi masing-masing pada 2025, 2027 dan 2028. “Ke depan akan terjadi peningkatan kebutuhan gas dari 833 MMscfd pada 2022 menjadi 1.215 MMscfd pada 2028 saat ketiga proyek beroperasi. Kita masih shortage gas,” kata Jamsaton.

Dia mengungkapkan, secara bisnis pupuk indonesia harus antisipasi kondisi global, yaitu bagaimana produk yang dihasilkan tidak menciptakan emisi, atau lebih green. Untuk itu, amoniak yang dihasilkan akan didesain sejak sekarang untuk menjadi blue amonia.

Program kita ke depan amoniak ini akan menjadi salah satu alternatif bahan baku, atau bahan bakar power plant, ini sudah terjadi di jepang dan korea, karena dianggap ramah lingkungan. Harga HPP blue amonia lebih tinggi. Tapi karena menyangkut lingkungan maka harganya tetap akan atraktif.

“Di samping power plant, amonnia bisa untuk bahan bakar kapal maupun mobil. Saat ini yang visible adalah untuk bahan bakar transportasi laut,” kata Jamsaton.

 

3 dari 3 halaman

Surplus Gas

Sekretaris SKK Migas, Taslim Z Yunus yang menjadi keynote speaker dalam DETalk, mengungkapkan Indonesia diberikan banyak cekungan sedimen yang menghasilkan gas, tapi energi terbesar yang digunakan masih minyak, sehingga gas banyak yang stranded.

“Kita surplus dalam gas. Surplus produksi gas meyebabkan sekitar 30 persen produksi gas domestik di ekspor ke luar negeri. Walaupun surplus menyumbang bagi penerimaan negara, tapi menunjukkan serapan gas domestik belum optimal,” ungkap Taslim.

Menurut Taslim, lebih dari 50 persen penemuan sumur eksplorasi dalam satu dekade terakhir lebih banyak gas. Rata-rata 70 persen rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) merupakan pengembangan lapangan gas.

“Berdasarkan BP outlook 2021, reserves to production gas Indonesia dua kali lebih besar dibandingkan minyak bumi,” katanya.

Dia menambahkan tantangan pengelolaan gas bumi di Indonesia adalah geopolitik dunia dan volatilitas harga gas global, perizinan yang rumit, kebutuhan gas bumi cenderung stagnan, dan infrastruktur gas yang tidak terintegrasi.

“Peningkatan kebutuhan LNG dunia dan volatilitas harga gas dunia, kondisi geopolitik dunia terutama perang Rusia-Ukraina yang berkelanjutan dan pengurangan pasokan gas dari Rusia kepada negara-negara Eropa berdampak terhadap tingginya permintaan LNG yang berdampak terhadap meningkatnya harga spot LNG yang dapat menyentuh US$60 per MMbtu untuk pengiriman pada periode winter,” ungkap Taslim.

Taslim mengatakan beberapa kebutuhan perbaikan fiskal terms sangat mendesak. Usulan perbaikan fiskal antara lain, peningkatan split KKKS yang signifikan, pembebasan BPT yang diinvestasikan di Indonesia, pemberlakukan prinsip assured & discharged, pembebasan pajak tidak langsung, penetapan DMO price hingga 100% ICP, dan implementasi UU 2/2020 atas penyesuaian tarif pajak penghasilan.

“Serta pembebasan biaya peanfaatan BMN hulu migas dan kilang LNG badak,” katanya.

Dia menambahkan sembilan paket stimulus hulu migas dalam rangka memperbaiki iklim investasi hulu migas, enam sudah disetujui. Yang belum disetujui adalah menghapuskan biaya pemanfaatan kilang LNG badak, pembebasan branch profit taax (BPT) apabila reinvestasi profit (dividen) ke indonesia, dukungan dari kementrian yang membina industri pendukung hulu migas seperti industri baja, rig, dan service bagi industri penunjang kegiatan hulu migas.

“Kalau semua disetujui maka visi SKK Migas untuk produksi satu juta bopd dan 12 Bcfd gas pada 2030 bisa tercapai,” kata Taslim.

Video Terkini